Daniel, si calon Sugar Daddy

1404 Words
Sebuah gelas dilemparkan ke dinding. Entah yang keberapa, tapi pecahan kacanya sudah banyak berserak di lantai. Menggema dan membuat bising. Lemparannya berasal dari seorang laki-laki tinggi di pojok ruangan. Tatapannya kosong, tapi tubuhnya terus bergerak mencari benda yang bisa dirusak. Namanya Daniel Park. Pria usia dua enam dengan tatto di punggung juga tangan kiri. Wajahnya perpaduan asia dan eropa, berambut kecoklatan dengan mata besar seperti rusa. Ia tidak sedang mabuk, tapi tingkahnya selalu begitu. Sejak dihukum ayahnya untuk tidak keluar sementara waktu, perilakunya semakin menjadi. Dua bulan lalu, Daniel terlibat dalam sebuah perkelahian yang berujung pada pembunuhan. Salah satu lawannya mati karena tebasan pedang panjang. Walau terbukti tidak bersalah, tapi ayah Daniel tetap bersikeras agar anaknya bersembunyi dulu. Maklum, selama ini keluarganya terlibat dalam perdagangan senjata api juga pencucian uang. Jadi, tidak boleh ada yang memancing perhatian publik. Di situlah Daniel merasa kecewa karena harus mengorbankan kebebasannya. Di sisi lain, ia juga tidak bisa melawan karena ayahnya terlalu kejam. Emosinya berakhir ke benda-benda di apartement. Setiap hari kalau sedang emosi, semua barang di sana akan dirusaki. Tidak terbatas barang pecah belah, tapi juga elektronik. Penjaga Daniel tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya perlu mengganti semua itu setiap minggu. Uang bukan masalah, asal tuan mudanya tidak keluar, itu sudah lebih dari cukup. -- “Berapa uang yang aku miliki?” tanya Daniel pada Jim, bodyguard yang selalu ada di ruang tamu apartement. Selain mengawasinya, Daniel bisa disuruh apa saja, bahkan menggosok toilet sekalipun. “Cukup banyak, bisa membeli dua hingga tiga unit rumah di tengah kota,” kata Jim mendekat untuk memperlihatkan isi debet lewat ponselnya. Selama ini Daniel juga bekerja di bawah ayahnya. Semua gaji juga upahnya selalu diberi tepat waktu. Tentu saja, jumlahnya jauh lebih fantastis daripada pegawai biasa. Ia anak sekaligus pewaris bisnis kotor sang ayah. “Aku akan pakai sepertiganya. Transfer ke akunku sekarang.” Daniel melempar ponsel mahalnya seperti sebuah mainan harga puluhan ribu. Tanpa banyak tanya, Jim menurut saja. Akun Daniel memang selalu kosong. Demi menghindari pajak, ia mengisi akun perusahaan cangkang dan mentransfernya ke rekening pribadi saat butuh saja. “Kalau boleh tahu, untuk apa?” Jim memberanikan dirinya. Setiap transaksi harus dilakukan hati-hati untuk menghindari otoritas jasa keuangan. “Membeli perempuan. Lama-lama aku bisa sakit jiwa kalau dikurung terus-terusan. Aku tahu ayah pernah ikut lelang tahun lalu. Perempuannya cukup cantik, jadi aku penasaran.” Daniel tertawa sinis. Jim terkejut, tidak menyangka kalau tuannya yang anti dengan wanita tiba-tiba saja ingin. Selama ini, sekalipun punya kesempatan, Daniel tidak pernah mau berhubungan dengan yang namanya perempuan. Uang banyak, tampang oke, tapi kalau sudah urusan ranjang, selalu menolak. Dalam hal ini, Daniel dipengaruhi oleh almarhum ibunya. Bukan hal baik, melainkan buruk. Siapapun wanitanya, ia akan menganggap semua sama. Tumbuh jadi anak broken home juga lingkungan penuh kriminalitas membuat pertumbuhannya mengarah ke hal buruk. Jim curiga kalau wanita yang nantinya datang justru akan disiksa. Tapi sebagai bawahan ia bisa apa? Seburuk apapun, semoga tidak ada mayat yang harus diurus. “Ini, menangkan lelangnya untukku. Aku pakai nama ayah agar lebih gampang.” Daniel mengulurkan ponselnya pada Jim. Harus ada yang pergi ke sana dan menawar, tentu saja bukan dia. Masa persembunyiannya belum berakhir. “Baik, ada lagi?” tanya Jim melirik tuannya yang masih berpikir. “Tidak ada. Hanya pastikan kamu bawa wanita itu pulang. Satu lagi, jangan beritahu siapapun.” Daniel meringis, menepuk-nepuk leher bodyguardnya itu cukup kencang. Memang sering ada sedikit kekerasan seperti itu. Wajar karena yang dijaga adalah anak seorang mafia senjata. Jim sendiri pernah dijadikan samsak kalau ayah Daniel sedang marah. Tapi belakangan, tidak terjadi lagi karena pekerjaannya sudah beralih fungsi. “Paling tidak, anda harus lihat foto wanitanya.” “Tidak usah, yang penting dia perempuan. Mau jelek sekalipun aku tidak peduli. Memangnya dia mau dinikahi atau apa?” decih Daniel berlalu pergi. Namun baru beberapa langkah dari sana, tangannya dengan terampil mengambil gelas baru di atas meja. Tanpa pikir panjang, benda itu dilempar. Tidak tanggung-tanggung kali ini ia arahkan ke televisi di ruang tamu. Alhasil televisinya pecah, gelasnya pun begitu. Jim hanya menghembuskan napas panjang. Masih sebulan, tapi pengeluaran untuk pengrusakan setara dengan setengah gajinya dalam sebulan. Tidak terbayang kalau ada perempuan di sana. Apa benar tidak akan berbahaya? -- Lelang perawan itu diadakan sangat tertutup. Mila menyamarkan pertemuan sebagai seminar biasa. Ia menyewa ruang hotel untuk memajang Jane di kursi sedang para pelelang akan melihatnya dari monitor besar. Tidak ada buka baju di tempat atau memperlihatkan hal lain. Mila berusaha sebaik mungkin agar Jane tidak merasa rendah. Untuk itu, ia memasang cermin satu arah di mana Jane tidak akan melihat audience. Jim tiba paling akhir. Ia membawa member card milik ayah Daniel untuk masuk ke dalam. Entah sejak kapan Daniel merencanakan semua ini, tapi pasti sudah lama. Mengingat semua sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Untuk menjaga privasi satu dengan yang lain, pelelang diwajibkan memakai topeng. Bahkan Mila sendiri juga memakainya untuk terhindar dari jepretan foto iseng. “Cantik juga,” gumam Jim menatap wajah Jane dari monitor dengan pandangan iba. Kelihatan sekali kalau gadis itu hanya sosok polos yang putus asa. Butuh uang tidak seberapa, tapi tubuh juga mentalnya dijual dan dibiarkan rusak. Proses lelang akhirnya dimulai. Mila membukanya dengan harga standart kemudian lama-lama melambung tinggi. Para p****************g itu nampaknya tahu benar dengan barang bagus. Rela merogoh kocek sedalam jurang hanya untuk menyeret gadis tidak berdaya di atas ranjang. Jim sengaja menunggu, tidak buru-buru mengangkat tongkat nomornya untuk ikut menawar. Moment paling tepat adalah di akhir. Di mana semua orang lelah dan mulai menghitung kemampuan dompet masing-masing. Yang jadi masalah di sini, Jim tidak boleh gagal. Uang sepertiga di rekening Daniel terlalu besar disaingi oleh pria lain. “Lima ratus.” Jim mengangkat tongkat nomornya tinggi-tinggi. Dengan jumlah segitu, tidak mungkin ada yang menyaingi. Orang di bawahnya hanya memberi tiga ratus. Selisihnya terlalu besar untuk diungguli. Semua orang langsung terdiam. Mungkin kesal dengan hasil akhir yang tidak seimbang. Hanya orang gila yang mau membeli keperawanan seharga lima ratus juta. Tiga ratus saja sudah tidak masuk akal. Berhubung suasana makin tidak kondusif, Mila mengakhiri pelelangan itu dengan ketukan palu. Tanda acara telah berakhir. Peraturan harus tetap dipatuhi. Selama tidak melanggar, siapapun bisa memasang tarif paling tinggi. Di balik kaca itu, Jane diam-diam gemetar. Bekerja seumur hiduppun, tidak mungkin menghasilkan uang setengah milyar. Ini hanya perlu tidur terlentang dan membiarkan pria menaikinya sebentar. “Bersiaplah, kamu harus ikut pria itu,” kata Mila langsung menghampiri Jane yang masih termenung di kursinya. Tanpa banyak omong, Mila menarik Jane ke belakang untuk mengambil tas juga ponsel. Tangan gadis itu langsung serasa kebas. Jantungnya seakan siap meledak. Lemas sekaligus bingung karena sebentar lagi dibawa pergi oleh orang asing. Wajahnya juga tidak terlihat karena bersembunyi di balik topeng. “Terus berhubungan denganku agar uang bagianmu bisa aku transfer.” Mila berbisik, mengambil sisir untuk membuat Jane jauh lebih rapi. “Tersenyum, jangan buat kecewa. Kamu adalah gadis termahal yang pernah aku jual.” Jane mengangguk kaku. Ia kemudian mengekori Mila keluar lewat pintu samping. Di sana, Jim sudah menunggu dengan mobil Civic hitam. Jas juga topengnya sudah dicopot. Hanya menyisakan kaos. Wajah Jim sedikit seram. Alisnya tebal juga ada sedikit luka di pinggiran pipinya. Umurnya lewat tiga puluh karena ada sedikit keriput di pinggiran mata. Tidak buruk, tapi Jane tidak suka. “Masuk, kita tidak boleh terlambat,” kata Jim memberi isyarat pada Mila agar mendorong Jane untuk bergerak lebih cepat. Jane menahan napas, melangkahkan kakinya ke kursi penumpang. Begitu duduk, ia seperti masuk ke sebuah dunia baru. Asing dan mengerikan. Setelah itu, Jim terlihat berbincang sebentar dengan Mila di luar. Mungkin menyelesaikan pembayaran. Tak lama, mereka terlihat selesai. Jim masuk sedang Mila mendekat ke sisi jendela mobil di mana Jane duduk. “Jane, nanti kalau sempat telepon aku.” Ia mengatakan kalimat terakhirnya sebelum berakhir pergi dari sana. Begitu dingin, berbeda dengan yang pertama. Jane specchless, mulai berpikir yang tidak-tidak. Semua janji manis Mila mungkin hanyalah sebuah kebohongan. Lima ratus juta adalah jumlah yang terlalu besar untuk dibagi. Mustahil kalau pekerjaannya hanya menemani tidur. Bagaimana kalau ia dijadikan b***k seumur hidup? “Dengarkan saranku kalau kamu mau keluar hidup-hidup. Apapun yang terjadi padamu, terima saja. Lakukan tanpa perlu bertanya. Oh ya, yang kamu layani bukan aku, tapi bosku,” kata Jim sesaat setelah mobil yang mereka tumpangi bergerak pergi dari parkiran hotel. Bos? Batin Jane mengepalkan tangannya yang dipenuhi keringat dingin. Kalau bawahannya saja seseram ini, lalu atasannya bagaimana? Jangan-jangan sudah tua dengan banyak tatto di seluruh tubuhnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD