Pagi-pagi sekali Yura pergi ke kamar mandi belakang, hanya ada 1 kamar mandi di rumah Hadi. Yura ingin segera pergi ke kantor karena tidak ingin bertatap muka dengan semua penghuni rumah ini.
Begitu tiba di depan kamar mandi, hati dan mata Yura kembali dibuat pilu saat melihat
Amira tersenyum riang bergelayut mesra di lengan Malik. Mereka keluar dari
kamar mandi dengan balutan handuk yang melilit di tubuhnya dengan rambut yang
sama-sama basah.
Ada banyak bekas kiss mark di leher Malik dan Amira, bukti nyata bahwa sepanjang
malam mereka menikmati indahnya malam pertama, sementara Yura hanya menangis
meratapi takdirnya.
“Eh, Kak Yura, mau ke kamar mandi juga.” Amira sengaja menyandarkan kepalanya ke
lengan Malik saat melihat Yura, seolah ingin menunjukkan jika Malik adalah
miliknya.
Yura segera berpaling karena tidak ingin mereka melihat matanya yang sembab karena
sepanjang malam hanya menangis. Dapat dipastikan suara Yura akan bergetar jika
menjawab pertanyaan Amira yang hanya sekedar basa basi.
“Kalau gitu, aku duluan, Kak.”
Yura segera masuk ke kamar mandi setelah Malik dan Amira berjalan melewatinya.
“Kayaknya Yura nangis, deh. Tuh, matanya sampai bengkak, ‘kek gitu.” Samar-samar Yura mendengar suara Malik dari balik pintu kamar mandi.
“Kalau kamu yang jadi nikah sama Kak Yura, bisa-bisa aku yang nangis kejer karena
patah hati.”
“Udah, ‘lah nggak usah bahas dia, kita gulat ranjang lagi, yuk!”
Yura mengepalkan tangannya dengan erat mendengar obrolan Malik dan Amira yang sama sekali
tidak merasa bersalah, hatinya semakin sakit melihat mereka sama sekali tidak mempedulikan
perasaannya yang terluka karena perbuatan
mereka.
***
“Kok, tega banget ‘sih Amira merebut calon suami Kakaknya sendiri?”
“Iya, nggak punya hati banget. Kalau aku jadi Yura, bakal kubejek-bejek ‘tuh si Amira
dan Malik biar tahu rasa.”
“Wajar, ‘sih kalau calon suami Yura kecantol sama Amira, ‘kan Amira jauh lebih
cantik dari Yura. Aku sebagai laki-laki pasti juga bakal lebih milih Amira yang
lebih cantik ketimbang Yura.”
“Dasar, semua cowok emang mata keranjang.”
“Iya, lebih mentingin fisik daripada sifat.”
Saat Yura memarkir sepeda motor, samar-samar ia mendengar para karyawan ekspedisi sedang membicarakan dirinya.
Obrolan mereka membuat hati Yura semakin lara.
Yura berjalan melewati gerombolan orang yang menatapnya dengan tatapan iba sambil
berbisik. Hal itu membuat Yura merasa semakin tidak nyaman dan tidak punya muka berdiri di
hadapan mereka.
Wulan menghampiri Yura, lalu menyeretnya hingga ke tempat yang jauh dari keramaian karyawan.
“Yura, ‘kok bisa ‘sih Amira yang nikah sama calon suamimu?” Wulan yang merupakan sahabat Yura bertanya tanpa basa basi.
“Udah takdirnya mereka nikah,” Yura berusaha bersikap tegar, meski sebenarnya sudah tidak punya muka menahan rasa malu.
“Yura, kamu ‘kok sabar gini ‘sih! Ini matamu sampai sembab gini, pasti karena kebanyakan menangis, ‘kan. Kok, tega banget ‘sih Amira merebut calon suami kamu? Aku sumpahin mereka nggak bakal punya keturunan, melarat sampai tujuh turunan dan pernikahan mereka nggak akan pernah bahagia karena udah bangun rumah tangga di atas penderitaan kamu.” Wulan terus nyerocos seperti petasan yang meleduk-leduk saking emosinya melihat Yura dicampakkan begitu saja.
“Udah, ‘lah nggak usah dibahas,” ocehan Wulan hanya membuat Yura semakin malu dan pusing.
“Gimana nggak dibahas, dia udah bikin kamu malu. Seluruh Indonesia ‘tuh sekarang lagi
ngomongin masalah kamu.”
“Maksud kamu apa?” Tanya Yura dengan kening berkerut penarasan.
“Malik yang batalin pernikahan kalian dan milih nikah sama Amira lagi viral sekarang di sosmed. Para netizen banyak yang nyumpahi mereka.”
“Apa!!” Yura sangat terkejut dan semakin shock mendengar pernyataan Wulan. Kenapa hal paling memalukan dalam hidup Yura malah tersebar seindonesia.
Wulan menyodorkan HP-Nya pada Yura yang sedang menayangkan video berupa foto dan video ijab qabul Amira dan Malik, sedangkan Yura hanya menunduk dengan wajah murung.
“Siapa yang tega nyebarin berita ini?” tanya Yura dengan suara bergetar menahan tangis.
“Siapa lagi kalau bukan Amira lewat akun bodongnya.” Ujar Wulan sambil berkacak pinggang.
“Tega banget ‘sih dia.”
“Dia, ‘kan konten kreator, bisa dapat banyak uang ‘lah dia karena viral.”
Dada Yura semakin sesak, tanpa terasa air matanya kembali menetes. ”Tega sekali Amira padaku, demi mendapatkan uang, dia rela mempermalukan dirinya dan saudaranya sendiri, apalagi setelah merebut tunanganku.”
“Yura, yang sabar, ya!” Wulan menarik Yura yang menangis tersedu-sedu, kemudian memeluknya dengan erat. Yura sangat malu karena banyak orang mengetahui aib yang ingin ia tutup rapat-rapat.
Sejak kecil Yura selalu mengalah dan memberikan apa pun miliknya yang Amira minta, termasuk menyerahkan calon suaminya. Namun, Amira sepertinya masih belum puas melukai harga diri dan perasaan Yura.
***
Yura mengitari gang-gang kecil dengan mengendarai sepeda motor matic untuk mengirim paket, ia tetap berkeliling mengerjakan tugasnya sebagai seorang kurir meski rasa lapar dan pusing mendera, sejak kemarin Yura belum makan dan minum apa pun. Selera makannya hilang entah ke mana.
Penglihatan Yura mulai buram, bumi terasa berputar hingga detik kemudian semuanya berubah menjadi gelap.
BRAAAKKK
***
“Hey, bangun.”
Yura mengerjapkan mata saat percikan air membasahi wajahnya, perlahan matanya mulai terbuka, ada beberapa orang yang berkerumun mengelilinginya.
“Aku ada di mana?” Tanya Yura sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut nyeri.
“Kamu ada di pos, tadi aku lihat kamu pingsan di pinggir jalan, makanya langsung aku bawa ke sini. Ini, kamu minum dulu.”Seorang Pemuda tampan memberi Yura sebotol air minum.
“Terima kasih.” Yura beringsut duduk, kemudian meneguk sedikit air minum untuk menghilangkan dahaganya.
“Rumah kamu di mana? Biar kuantar pulang!” Seorang pemuda tampan menawari Yura bantuan.
“Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri, aku bawa motor ‘kok.” Yura menolak, sebab jika dia mengantar, lalu siapa yang akan membawa motornya pulang.
“Motor apa?” tanya pemuda itu dengan kening berkerut.
“Motor matic.”
“Tapi, waktu aku nemuin kamu pingsan, aku nggak lihat ada motor di dekat kamu.”
“Yang benar, Mas.” Yura terlonjak kaget, rasa panik seketika menjalar di sekujur tubuhnya.
Yura pun beranjak dan mondar-mandir ke sana kemari dengan tubuh gemetar sambil memindai jalan raya mencari keberadaan motornya.
“Motorku hilang.” Kedua tangan Yura meremas kepalanya karena bingung harus berbuat apa.
“Motor merk apa?”
“Motor matic warna putih, ada banyak paket yang belum kuantar. Ya Tuhan, apa lagi ini.” Yura yang kebingungan hanya bisa mengibas-ngibaskan tangannya secara random.
Yura merosot tak berdaya sembari menutupi wajahnya. Air matanya bercucuran dengan deras menangisi nasibnya yang sangat buruk. Ada rasa sakit yang luar biasa menghujam jauh ke dalam hati Yura. Kenapa dunia ini sangat kejam dan tidak pernah berpihak padanya, kebahagiaannya direnggut tanpa belas kasihan.
Yura sangat tertekan dengan semua masalah yang dihadapinya, motor itu satu-satunya kendaraan yang Yura miliki untuk bekerja, apalagi banyak paket yang belum ia antar ke konsumen. Bosnya pasti akan sangat marah jika tahu masalah ini.
***
“Kok, bisa kamu teledor begini? Reputasi ekspedisi bisa rusak gara-gara kelalaianmu. Kamu harus ganti rugi semua barang yang sudah kamu hilangkan. Otak kamu itu di taruh di mana sampai motor dan barang-barang ekspedisi hilang. Pantas saja kamu ditinggal kawin.” Atasan Yura meraung-raung dengan keras sambil menunjuk-nunjuk dan
memelototi Yura,
“Saya akan mengganti semua kerugian yang saya buat, Pak.” Yura mencoba untuk menahan amarah yang bergemuruh di hatinya, meski kata-kata Pak Hardi yang tajam semakin membuat hatinya semakin kacau dan terluka.
“Dalam waktu 3 hari, uangnya 30 juta sudah harus ada di tanganku.”
“Tapi, Pak! Nominal barang yang hilang nggak lebih dari 15 juta, kenapa uang yang harus saya ganti 30 juta.” Yura semakin shock mendengar kecaman Pak Hardi, Yura sangat bingung dan frustasi, di mana ia harus mencari uang 30 juta dalam waktu 3 hari.
“Otak itu jangan kamu taruh di dengkul. Kamu itu harus ganti biaya keterlambatan dan denda barang yang sudah kamu hilangkan.”
“Tapi, kenapa dendanya bisa lebih dari 2 kali lipat, Pak.”
“Emang sebesar itu kerugian perusahaan ini. Jadi, dalam 3 hari kamu harus sudah bayar
semuanya.”
“Pak, tolong beri saya keringanan!” Yura memohon, berharap Pak Hardi mau meringankan
bebannya.
“Nggak bisa. Itu sudah mutlak harga yang harus kamu bayar.”
“Beri saya waktu lebih, Pak. Dari mana saya dapat uang sebanyak itu dalam waktu 3
hari?”
“Pokoknya, uang 30 juta harus kamu bayar dalam waktu 3 hari. Kalau dalam jangka 3 hari kamu nggak bisa balikin uangnya, maka aku akan jembloskan kamu ke dalam penjara.”
Yura yang sudah putus asa hanya bisa menunduk pasrah, tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi.
Di mana aku harus mencari uang 30 juta untuk mengganti semua barang-barang yang sudah aku hilangkan.
“Jangan diam saja, kamu harus bisa mengganti uangnya tepat waktu.”
“Akan saya usahakan, Pak.” Mata Yura sudah berkaca-kaca, ia tidak ingin menumpahkan air matanya di hadapan Pak Hardi. Yura pun berbalik hendak pergi.
“Tunggu.” Langkah Yura terhenti, panggilan Hardi membuatnya terpaksa menghadap padanya lagi.
“Ada apa lagi, Pak?” Tanya Yura dengan suara bergetar menahan tangis.
“Aku akan berikan waktu 3 bulan untuk kamu mengganti rugi, tapi dengan syarat...”
“Syarat?? Apa??”
“Kamu harus mau tidur denganku.”
JLEB
“Apa!” Yura terhenyak kaget, tawaran gila Pak Hardi benar-benar menusuk jantungnya.
“Hanya satu malam, bagaimana?”
Yura menatap Hardi yang tersenyum menjijikkan dengan tatapan penuh luka bercampur marah, d**a Yura kembang-kempis menahan amarah yang menyelimuti hatinya.
“Anda pikir saya wanita macam apa? Saya masih punya harga diri, Pak”
“Halah, nggak usah munafik. Kamu pasti berangan-angan melakukan malam pertama dengan calon suamimu tapi malah gagal kan, harusnya kamu bersyukur aku mau menggantikan posisinya.”
Yura sudah tidak sanggup lagi mendengar hinaan dan kecaman pria b***t itu. Yura pun berbalik pergi dengan langkah mantap, kemudian membanting pintu dengan sangat keras.
***
Yura berjalan terseok-seok di tengah gelapnya malam, air mata mengalir dengan deras membasahi pipi mewakili penderitaan hatinya. Yura tidak tahu harus pulang ke mana lagi, rumah yang selama ini ia tinggali terasa seperti neraka yang membuat dadanya sesak. Yura sudah tidak ingin bertemu dengan keluarga yang hanya bisa memberinya luka hati.
“Ya Tuhan, di mana keadilanmu? Hatiku sakit sekali, aku udah nggak sanggup hidup lagi.”
Keputusasaan menuntun langkah Yura pergi ke tengah jalan raya. Ia menutup mata rapat-ratap saat melihat sebuah mobil melaju dengan kencang ke arahnya. Yura berharap kematian akan mengakhiri segala penderitaan dalam hidupnya.
BRAAAAKKKK
Yura berjingkat kaget dan segera membuka mata saat mendengar suara dentuman keras yang memekakkan telinga, sementara badannya terasa baik-baik saja padahal ia berharap mati tertabrak mobil.
Mata Yura melebar sempurna saat melihat mobil yang tadi dilihat ringsek menabrak tiang besar karena menghindari Yura yang melakukan percobaan bunuh diri. Yura pun berlari menghampiri mobil tersebut, ada seorang pria yang sudah tidak sadarkan diri dengan kepala tertelungkup di kemudi.
“Ya Tuhan, apa dia mati?” Yura semakin stres dan bingung, setelah ditinggal nikah, motor dan barang-barang hilang, sekarang malah membuat orang lain celaka.