Demi Sesuap Nasi

1208 Words
"Yang dilihat orang lain saat kita berjalan, jalananannya lurus. Tapi mereka tidak tau apa yang kita lalui untuk bisa mendapatkan sebuah kebahagiaan. Bahkan kelok sembilan masih belum seberapa." ****** Hemat, hemat dan hemat. Sekarang kata itu menjadi mantra jika mata Katrina melihat berbagai barang mewah yang biasa ia beli. Gadis itu harus pintar mengatur uangnya yang tersisa beberapa lembar ratusan ribu. Katrina harus membeli kebutuhan makan, pakaian, dan keperluan sekolah. Biasanya dia selalu mendapat jatah lima hingga sepuluh juta satu bulan. Tapi sekarang? Katrina tidak bisa mendapatkan uang itu. Sebenarnya uang itu masuk ke rekeningnya, tapi Katrina sudah berjanji pada dirinya sendiri supaya tidak menggunakan uang papanya. Katrina ingin membuktikan bahwa ia bisa mandiri dan bisa lebih baik dari Ber. Seperti sekarang ini, dia terpaksa menolak ajakan Cellyn untuk belanja ke mall. "Udah gak papa gue yang bayarin. Gue tau lo pasti butuh baju baru. Coba lihat baju lo yang ada di apartemen cuma tiga potong. Tiga potong Katrina." Cellyn mengurut hidungnya lalu menghempaskan badannya ke kasur. Saat ini ia ada di apartemen Katrina bersama Edel dan Naya. "Kalau lo nggak mau gratis, anggap aja itu pinjeman Kat," ucap Edel meyakinkan. Naya melompat-lompat di kasurnya sambil mengambil posisi seperti menembak sesuatu. "Setidaknya lo jangan dekil-dekil amat kalau kabur dari rumah." Katrina memutar bola matanya. Naya benar, tapi apa tidak ada pilihan kata yang tepat selain dekil? "Gue bisa nyuci bajunya kalau selesai pakai. Please, bantu gue guys. Gue harus hilangin hobi gue buat belanja dan hamburin uang. Kalian tau sendiri kan gue udah nggak nerima uang dari bokap?" "Salah lo sih. Kalau gue ya diterima aja." Naya akhirnya berhenti dari kegiatannya dan menendang kakinya ke arah Katrina. "Anjir kaki lo." Katrina menghempaskan kaki Naya yang seenaknya ada di atas kepalanya. Edel sedari tadi hanya memperhatikan tingkah kedua sahabatnya. Kasihan juga melihat Katrina seperti ini. Anak seorang pemilik rumah sakit di Jakarta yang sangat terkenal dan bahkan cabangnya ada di Singapura, tapi membeli baju tak mampu. "Terserah lo sih Kat. Gue nyaranin supaya lo cari kerja sampingan." Ketiganya melotot. "Apa?" tanya mereka serempak. "Cari kerja? Katrina kerja?" ulang Cellyn. "Mana bisa Del. Dia kan pegang lap piring aja mau muntah," tambah Naya. "Punya sahabat durhaka banget sih," cibik Katrina. "Cari yang simpel aja. Kerja di toko buku misalnya? Kan bisa paruh waktu." Katrina membulatkan matanya tidak percaya atas saran yang diberikan Edel. "Gue ke perpustakaan sekolah aja nggak pernah. Ini mau kerja di toko buku gimana ceritanya?" "Ya terus di mana lagi?" Edel beranjak dari duduknya. "Mau ke mana lo?" tanya Cellyn. Naya juga berdiri. "Gue ikut dong." "Cari kerjaan buat Katrina. Mumpung Papa gue pulang malem, gue bisa sedikit telat pulang." "Are you serious? Kenapa harus sekarang juga?" protes Katrina. "Ya lo mau nunggu sampai uang lo habis?" tanya Edel jengah. "Nggak gitu juga sih. Tapi gue kan belum ada persiapan apa-apa." "Mau diapain tetep cantikan gue Kat. Ayo dong jangan lelet." Naya mengibaskan rambutnya. Untung saja Naya sahabatnya sejak sebelas tahun ini. Kalau tidak, sudah Katrina tendang ke pluto. "Fine, ayo," ucap Katrina lesu.  Mereka akhirnya pergi menggunakan mobil Naya. Dan seperti biasa, Naya tidak mau digantikan mengemudi karena cewek itu akan mabuk saat duduk di kursi penumpang. ***** Dua jam mereke berkeliling di sekitar monas. Mencari toko atau kafe dan semacamnya yang membuka lowongan pekerjaan paruh waktu. Ternyata tidak semudah itu mendapatkan pekerjaan paruh waktu di Jakarta. Tidak seperti di film-film yang dengan mudah bisa didapatkan. Katrina belajar satu hal. Hidup ternyata tidak seindah drama. Jika di drama pemeran utama bisa mendapatkan apapun dengan mudah. Maka di kehidupan nyata, harus berusaha keras untuk mendapatkannya. Perut Katrina berbunyi tanda lapar. Naya langsung bersorak senang karena artinya mereka akan berhenti dan makan di restoran. "Kok mobilnya berhenti sih Nay?" tanya Cellyn bingung. "Mau apa lagi sih lo Nay?" Katrina pasrah jika sahabat satunya itu bertidak di luar kendali. "Makan lah. Emangnya mau ngapain lagi berhenti di kafe. Mau belajar? Ogah banget." Naya langsung turun dari mobil. Diikuti Katrina, Edel dan Cellyn. Seketika mata Katrina membulat. Kafe yang dimaksud Naya adalah kafe yang menjual makanan termahal di Jakarta. Apa Naya mengajak Katrina ke sini untuk jadi gembel? Bisa-bisa uang untuk seminggu ke depan bisa ludes dalam hitungan menit. "Gak deh Nay. Gue makan mie instan aja di indomarket." Katrina berbalik namun Naya mencegah tangannya. "Tenang gue traktir. Ngirit sih boleh, tapi makanan penting kali. Ntar kalau lo lebih kurus dari gue bahaya. Predikat cewek terseksi bisa pindah ke lo." "Kita juga kan?" Cellyn menunjuk dirinya sendiri dan Edel. Naya menggeleng. "Kalian uangnya banyak bisa beli sendiri." Yah, setidaknya Katrina bersyukur mempunyai sahabat seperti mereka. Walaupun cara mereka berbeda untuk mengungkapkan kepeduliannya, tapi mereka sahabat terbaik Katrina. Pelayan mengarahkan ke meja yang kosong. Mereka berempat memesan makanan masing-masing. Katrina memandang sekitar. Ia biasa ke sini bersama keluarga besarnya. Dan tempat ini tidak disukainya. Mereka menunjukkan seberapa hebat diri masing-masing. Sedangkan Katrina tersudut karena ia tidak mempunyai sesuatu yang bisa ia banggakan. "Habis ini pulang ya, capek." Cellyn merengek. Memang dia tidak bisa terlalu lelah atau tipusnya akan kambuh. "Yaudah besok aja cari lagi," tambah Edel. "Makasih ya kalian mau nemenin gue cari kerja." "Kayak sama siapa sih bilang terima kasih segala. Biasanya juga lo paling ngeselin. Jangan diem gini dong. Mana Katrina yang dulu?" Naya menoel-noel pipi tirus Katrina. "U tayangggg." Katrina memeluk ketiga sahabatnya. Beberapa pengunjung nampak tak acuh walau ada yang melihat mereka sebagian. Setengah jam mereka habiskan berbicang-bincang di sini. Tidak ada yang menarik sampai percakapan dua orang terdengar oleh mereka. "Emang ke mana karyawan lama lo?" "Keluar, katanya gak kuat sama orang-orang di sana. Dia pendiem gitu. Mungkin lain kali gue harus cari yang sedikit bar-bar supaya nggak pakai acara keluar gara-gara lingkungan kayak gitu." Sebuah ide gila terlintas di kepala Naya. Dia mendekati dua orang itu lalu membisikkan sesuatu. "Oke, di mana teman kamu?" Naya menunjuk ke arah Katrina. Sinyal merah langsung memenuhi kepala Katrina. Pasti Naya sedang melakukan aksi anehnya. Satu cowok kira-kira berusia dua puluh tahunan menghampiri Katrina. Sedangkan satu orang cowok lagi masih duduk dan tertawa ke arah Katrina sambil menilai penampilan gadis itu. "Mbak lagi cari kerja?" tanya cowok itu. "Oh iya, panggil saja Tian." Cowok itu mengukurkan tangannya dan Katrina menjabatnya. "Mau kerja di bengkel mobil saya? Gajinya lumayan lho Mbak. Lima juta perbulan, Mbak mau? Boleh paruh waktu. Tapi nanti pulangnya sampai jam sembilan malam. Kata teman Mbak, pasti Mbak mau. Soalnya Mbak bar-bar kata dia." Cowok bernama Tian itu menunjuk Naya yang sudah tersenyum senang tanpa merasa berdosa. "Gue memang sering disebut bar-bar. Tapi gue nggak lebih dari itu," kata Katrina tajam. Ia bahkan tidak peduli dengan bahasanya yang kurang sopan. Bisa saja Tian berubah pikiran karena perkataan Katrina. Namun cowok itu malah tersenyum. "Lo diterima di bengkel gue. Kapanpun lo mulai kerja gue tunggu. Gue suka karyawan yang begini. Sepertinya lo akan cocok kerja di sana." Bahasa Tian berubah seperti Katrina menggunakan lo-gue. Tian suka jika karyawannya seperti itu. Lebih friendly dan tidak akan canggung kepada pembeli seperti yang dulu-dulu. Bengkel yang Tian maksud juga bukan sembarang bengkel. Bengkel itu termasuk bengkel tersukses di Jakarta. Pelanggannya pun orang yang berkelas. Dan Tian butuh orang seperti Katrina. Cewek itu tidak akan baper seperti karyawan yang lainnya. "Terima aja Kat," bisik Cellyn. "Kat ini kesempatan lo," tambah Edel. Katrina tau dia memang butuh pekerjaan. Tapi kenapa harus di bengkel coba? Apa tidak ada yang lebih elit? "Bagaimana? Lo mau nggak? Gue seneng kalau lo mau kerja di sana." Tian semakin membuat Katrina delima. "Oke gue mau kerja di bengkel lo." Keputusan Katrina disambut kegirangan ketiga sahabatnya. "Jam kerjanya setelah lo pulang sekolah aja. Ini kartu nama gue. Ada alamat bengkelnya juga." Katrina menerimanya dan menatap Tian datar. "Besok gue masuk." "Senang bekerja sama."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD