Rencana Perjodohan

1506 Words
Dunia terasa seperti dihantam gempa bagi Qiran. Bagaimana tidak? Dia terpaksa menjadi tukang cuci piring akibat tak mampu membayar nasi yang sudah dia makan di restoran. Sungguh dia tak punya uang sepeser pun saat ini karena kartu kredit dan kartu Atm-nya dibekukan. Bahkan saat dia hendak keluar hotel, mobilnya pun sudah tak ada diparkiran. Menurut informasi,mobil itu dibawa oleh mobil derek dengan alasan tak mampu membayar. Memalukan. Dia sangat yakin ini ulah sang papi yang memblokir semua keuangannya juga mengambil mobilnya atas nama lissing. "Arggghhhh..." Geramnya kesal sambil tak sengaja membenturkan piring ke wastafel. TRANG... Sungguh dia terkejut mendengar suara itu, dan dia pun segera tersentak kemudian mengusap-usap lembut piring yang harganya masih lebih murah dibandingkan dengan piring di rumahnya. Tak hanya itu dia juga ditegur karena kesalahannya. "Hei itu piring mahal. Kau tak akan mampu membayarnya. Jangankan bayar piring, bayar sepiring nasi aja ga mampu." Sindir salah seorang karyawati bertubuh gempal. Ingin sekali dia berteriak bahwa dia adalah putri dari Martin Iskandar seorang pengacara terkenal di Indonesia. Tapi di saat seperti ini siapa yang mau percaya? Qiran pun akhirnya memilih diam dan segera menyelesaikan pekerjaannya dengan wajah kesal. Setelah hari menjelang sore akhirnya perkerjaan menjijikkan ini selesai. Ini adalah pengalaman pertama baginya mencuci piring. Jangankan di rumah, bermimpi pun tak pernah. Dia ingin segera pergi dari restoran terkutuk tersebut.Tubuhnya terasa begitu pegal dan lesu. Rasanya nasi yang dia makan entah lari ke mana. KRIUUKK... Suara perutnya benar-benar memberi pertanda bahwa dia lapar. Qiran mengusap perutnya dengan hati yang begitu sedih. Tak menyangka nasibnya se sial ini. "Hiks... Ahhhh... Aku lapar lagi, tapi mau makan apa?" Ucapnya menangis sambil membuka dompet yang hanya berisi uang kricik yang berbunyi nyaring. "Masa aku pulang? Gengsi dong!!! Yang ada Papi akan marah lagi sama aku...." Ucapnya bermonolog. Dia pun duduk di pinggir jalan. Tepat di atas batu jalanan yang memanjang beriring dengan jalan raya. Dia menatap sedih ke arah beberapa pedagang keliling yang menjajakan makanan. Air matanya pun kembali meleleh. "Papi tega banget matiin kartu kredit ma ATM... Emang dia ga takut apa anaknya jadi gelandangan? Hiks... Bete!!!" Ucapnya bermonolog. Akhirnya dia memutuskan untuk menghentikan sebuah taksi. Dia berharap seseorang yang dia tuju bisa membantunya. Sesampainya di depan rumah besar yang cukup mewah, mobil taksi itu dia berhentikan. Dia segera turun dari taksi tersebut. "Pak, tunggu dulu ya saya mau ambil uang." Ucapnya meminta pada sang supir taksi dengan tangan yang digabung di depan d**a. Sang sopir pun mendengus kesal. Baru kali ini mendapat penumpang yang tak bawa uang sama sekali saat pergi. Sedangkan Qiran berlari menuju rumah besar itu menunggu sahabat yang dia harapkan bisa menampungnya. TING... NONG... TING... NONG... Berkali-kali Qiran menekan bel. Sungguh dia tak enak kepada sopir taksi yang menunggunya lama. Lagi-lagi dia hanya bisa menengok ke arah supir taksi dengan wajah memelas. Akhirnya... CEKLEK... "Qiran?" Ucap Citra sambil melirik ke arah taksi. Tampak sekali citra terkejut melihat kedatangan Qiran. Karena biasanya Qiran akan memesan hotel saat kabur dari rumah. "Lo kabur lagi?" Ucapnya kembali. Membuat Qiran mengangguk. "Gue pinjem duit Lo dong, 200rb buat bayar taksi." Ucap Qiran. "Lah emang Lo ga punya duit?" Tanya Citra bingung, karena selama ini yang selalu bergaya hidup mewah hanya Qiran. "ATM sama kartu kredit gue dibekukan. Please dong, gue juga mau numpang di rumah Lo boleh kan?" Tanya Qiran melas. Jujur saja hanya Citra harapan terakhirnya. Dia bingung harus kemana karena selama ini dia tak punya teman, yang ada musuh karena kelakuannya yang usil. Mendengar penuturan sahabatnya membuat Citra ketakutan. Bagaimana mungkin dia menampung Qiran yang kere, dia saja selama ini mau jadi pesuruh Qiran demi uang jajan lebih untuk ke salon mewah. "No... No... No... Lo mending pulang aja." Ucap Cinta segera menutup pintu rumahnya. Dia tak peduli teriakan Qiran yang memaksanya membuka pintu. BRAK... BRAK... BRAK... "Cit, Lo tega banget sama gue. Selama ini Lo enak jadi temen gue. Giliran gue susah Lo begini. Cit... Buka pintunya!!! Shit... Bastard (sialan)!!!" Akhirnya Qiran pun kembali ke taksi yang sudah merubah argonya lebih tinggi karena terlalu lama menunggu. Sungguh sial nasibnya, dalam kondisi terombang-ambing seperti ini, perut lapar, tak punya teman, juga tak punya uang. "Argonya jadi 235.000 neng..." Ucap sang supir. "Hah? Tadi bukannya cuma 183.000?" Ucap Qiran terkejut. "Kan tadi Argonya tetap jalan sambil nunggu Neng..." Ucap sang supir sedikit kesal. Qiran pun memijit kepalanya yang pening. Sungguh malang nasibnya saat ini. Dia pun memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya. Mungkin ini adalah pilihan buruk. Tapi memang tak ada pilihan yang lebih baik. Dia hanya perlu menebalkan telinganya saat sang raja mengamuk dan marah-marah padanya. Sudah biasa bukan? "Pak anterin saya ke alamat ini ya?" Ucapnya memberikan kertas bertuliskan alamat rumahnya. Sang supir pun mengerutkan keningnya saat membaca alamat tersebut. Karena pasalnya lokasi itu adalah tempat perkumpulan kediaman orang berduit tebal. Yang benar saja perempuan ini mau pergi ke sana. Bayar taksi saja tak mampu, bahkan tak berhasil meminjam uang. "Udah Pak anter saja ke sana. Nanti saya bayar di sana." Ucap Qiran dengan nada juteknya. Biarlah, dia tak peduli jika sang supir berpikir dia akan menjual diri pada orang kaya. Karena dengan kondisi acak-acakan plus bau asem seperti ini tak akan ada yang percaya bahwa dia putri seorang pengacara terkenal. Sang supir pun mengendarai taksinya menuju alamat yang di tunjukkan. Sesekali pria paruh baya itu menoleh ke arah sang gadis melalui kaca spion di atas kepalanya. Sejujurnya dia iba melihat sang gadis yang tampak menangis tersedu. Entah masalah berat apa yang dialami oleh gadis itu. Bahkan pria itu berpikir bahwa sang gadis akan menjual diri. Tepat seperti apa yang dipikirkan Qiran tadi. Qiran sadar selama perjalanan sang supir selalu mencuri pandang ke arahnya dengan wajah iba. Tapi ya sudahlah, biarkan saja pria itu mau berpikir apa. Dan akhirnya alamat yang dia tuju pun sampai. "Klakson aja Pak..." Ucap Qiran pada sang supir. Sang supir pun melakukan apa yang diminta oleh penumpangnya. Selanjutnya pintu gerbang pun terbuka. Sedangkan Qiran segera membuka kaca jendelanya membuat para penjaga mempersilakan masuk taksi tersebut. "Tunggu sebentar ya Pak." Ucap Qiran turun dari taksi tersebut dan berjalan menuju pintu utama. Tapi belum sampai di depan pintu, rupanya sang Papi sudah membuka pintu dan keluar ke arah teras. "Kau pulang juga akhirnya." Ucap Martin pada putrinya. Qiran mendengus sebal. Gadis itu seolah tak punya sopan santun kepada orang tuanya sendiri. Jangankan mencium punggung tangan ayah kandungnya,meminta uang pun tanpa bicara. Gadis itu menengadahkan tangan sambil menggerakkan jari. Martin hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sang putri. Dia mengerti apa yang dimaksud oleh Qiran. Pria itu pun segera berjalan ke arah taksi yang menunggu putrinya membayar argo. Tanpa bertanya Martin segera merogoh lima lembar uang berwarna pink cantik di dompet dan memberikan uang itu kepada sang supir. "Ambil saja kembaliannya." Ucap Martin. "Terima kasih Pak." Ucap sang supir berbinar bahagia mendapatkan rejeki nomplok. "Segera mandi. Papi ingin bicara." Ucap Martin kemudian meninggalkan putrinya. Sedangkan Qiran hanya menurut sambil mengerutkan keningnya karena bingung. Sungguh luar biasa. Hari ini benar-benar di luar dugaannya karena biasanya sang Papi akan mengamuk saat dia pulang ke rumah setelah beberapa hari minggat. "Ugh asem banget... Papi ga marah karena ga tahan sama bau badan aku kali ya?" Ucap Qiran mengendus-endus ketiaknya. Menghirup aroma asam bercampur polusi. Selesai mandi Qiran enggan menemui papinya. Dia memilih untuk berbaring di ranjang yang dia rindukan. Menikmati dinginnya AC yang terasa begitu nikmat setelah seharian mencuci piring di restoran. Baru beberapa saat menikmati waktu tiba-tiba saja pintu kamarnya dibuka. Rupanya sang Papi membuka pintu kamarnya dengan kunci cadangan. Karena enggan berdebat membuatnya berpura-pura sudah tertidur. "Papi tahu kau pura-pura tidur. Cepat bangun! Papi mau bicara." Ucap Martin menarik lengan putrinya. "Apa sih Pi? Aku ngantuk ah..." Ucap Qiran kembali merebahkan tubuhnya. "Bisa ga sih sekali aja kamu tidak membangkang?" Ucap Martin menahan emosi. Sungguh kali ini dia akan melakukan apa yang dikatakan Rayza. Dia tidak boleh berkata kasar jika ingin kepribadian putrinya lebih baik. "Bisa tapi... Kembalikan mobil aku, aktifkan ATM sama kartu kredit aku." Ucap Qiran bernegosiasi. Jujur saja hal ini membuat kepala Martin mendidih. Putrinya benar-benar anak yang sulit diatur. Bahkan dia sempat berpikir jika seandainya Rayza melihat betapa keras kepalanya Qiran, mungkin Rayza akan berpikir 1000 kali untuk menikah dengan gadis ini. "Oke karena kamu memberikan syarat Papi pun punya syarat." "Kok gitu sih, sama anak aja pake syarat. Tega banget jadi orang tua." Ucap Qiran menolak. "Yang namanya perjanjian harus menguntungkan satu sama lain, tidak bisa hanya menguntungkan satu pihak saja. Kalo ga mau juga ga apa-apa. Papi pergi dulu ya." Ucap Martin berpura-pura tak peduli. Dia sudah sangat yakin dengan ucapan Rayza yang menyatakan bahwa putrinya akan menuruti segala kemauannya demi uang. Karena gadis itu tak bisa hidup tanpa uang. "Tunggu!" Ucap Qiran membuat Martin kembali membalikkan tubuhnya. "Apa lagi?" Ucap Martin datar. "Apa syaratnya?" Qiran bicara dengan sangat ragu terlihat dari setiap kata yang terbata-bata saat diucapkan. "Kau harus mau dijodohkan dengan pilihan Papi." Ucap Martin serius. "Apa??? Dijodohkan???" Qiran terpekik saat mengetahui rencana perjodohan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD