Melarikan Diri

1483 Words
Sungguh hari ini adalah hari yang paling menyebalkan dalam hidupnya. Demi ATM dan kartu kredit kesayangannya, Qiran mau tidak mau harus rela dijodohkan dengan pria yang bahkan belum dia kenal. Saat ini dia memilih untuk pasrah saat dirias oleh penata rias yang datang sejak sebelum subuh. "Anda sangat mudah untuk dirias. Kulit wajah anda begitu kenyal dan halus sehingga tanpa foundation pun riasannya sudah bagus." Ucap penata rias sibuk bicara sambil memoles wajahnya. Sedangkan Qiran hanya tersenyum sungkan. "Kulit anda juga sangat cantik, warnanya merona alami. Padahal biasanya wanita berkulit putih akan pucat tanpa riasan." Ucapnya kembali. Qiran masih diam membisu malah kali ini dia mendengus sebal. "Tersenyumlah Cantik... Auramu akan keluar jika kau tersenyum." Ucap penata rias yang entah siapa namanya. Qiran sama sekali tidak berminat untuk berkenalan. Ucapan perias tersebut kali ini membuat Nabila sangat kesal. Dia pun segera meninggalkan kamarnya setelah memastikan riasannya sudah selesai. Gadis itu tampak cantik dibalut gaun hitam berbahan brokat. Lekuk tubuhnya tampak sempurna, dengan tetap menampakkan keluguan gadis beranjak dewasa. Nuansa gelombang pada bagian lengan sebatas siku dan lekukan leher Sabrina membuat keanggunannya semakin terpancar. "Wow, ini anak Papi? Kok bisa cantik ya?" Ucap Martin melihat putrinya yang tampak feminim kali ini. Karena biasanya dia hanya melihat penampakan gadis ugal-ugalan dengan celana jins robek di bagian lutut. Pria itu berjalan ke arah Qiran yang masih mengatupkan bibirnya dengan masam. Kemudian mengusap pipi anak gadisnya dengan lembut. "Senyum dong anak Papi... Ayo senyum..." Ucap Martin tersenyum ke arah putrinya. Akhirnya Qiran memberikan senyuman yang sangat manis. Walaupun tampak terpaksa, tapi tetap saja gingsul miliknya seolah menjadi hiasan yang begitu indah di antara bibir pink alami itu. "Gitu dong, kan jadi tambah cantik anak Papi." Ucap Martin mencubit gemas pipi gembil putrinya. Hal itu membuat Qiran memutar bola matanya jengah. "Ayo cepetan pergi, mau ketemu aja ribet banget sih... Mana harus pake baju panas begini. Enakan juga pake kaos ma celana jins." ucap Qiran mengomel. "Udah ga sabar ya mau ketemu cowo ganteng?" Ucap Martin meledek putrinya. Dia baru menyadari menggoda sang putri hingga mengambek adalah hal yang sangat menyenangkan. "Ganteng? Dimana-mana cowo kalo ganteng tuh bisa cari calon istri sendiri bukan dijodohin begini. Apalagi udah tua, paling jelek kaya om-om makanya ga laku." Ucap Qiran kesal karena terus digoda papinya. Gadis itu sesegera mungkin sampai ke kursi penumpang. Kemudian duduk di sana dengan wajah masam dan tangan yang dilipat di depan d**a. Entah dia mau dibawa kemana saat ini dia sudah tak peduli. Yang ada dalam pikirannya hanya demi ATM dan kartu kredit kesayangannya. Sepanjang perjalanan Martin sesekali melirik putrinya yang terus menampilkan wajah kesal dan masam. Dia tahu persis apa yang ada dalam pikiran anak gadisnya. Bocah itu pasti terpaksa melakukan semuanya demi kartu kredit dan atmnya. Tapi Martin sangat yakin dia akan menitipkan kehidupan Qiran pada pria yang tepat. Sesampainya di sebuah restoran mewah. Mereka segera turun dan menempati ruang privat VIP yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Sejujurnya Qiran takjub akan pemandangan di sekitarnya yang dihiasi mawar putih yang cantik. Juga dilengkapi dengan lampu hias berwarna pink yang berkedip lembut. Tapi Qiran tetap menunjukkan wajah masam karena gengsinya yang begitu tinggi. "Bagaimana? Cantik kan?" Ucap Martin menyadari binar takjub dari netra hazel putrinya. "Engga, biasa aja tuh. Lebay banget." Ucap Qiran langsung duduk di kursi cantik berhias sutra dan mawar bernuansa putih dan pink. Baru beberapa saat mereka sampai di tempat yang sudah dipersiapkan, tiba-tiba notifikasi handphone Martin berbunyi. Calon Menantu Martin segera tersenyum melihat notifikasi handphone yang menunjukkan siapa pemanggilnya. Beberapa waktu yang lalu dia memang sengaja mengubah nama kontak Dokter Rayza menjadi calon menantu. Sedikit berlebihan memang tapi dia menyukai julukan itu untuk Rayza. Semua itu karena rasa bahagia yang membuncah saat mendengar Rayza akan membantunya memperbaiki akhlak putrinya. Sungguh itu adalah hal yang paling berharga dalam hidupnya. "Hallo Assalamualaikum..." Ucap Rayza dalam panggilannya. "Wa'alaikum salam, Nak kau di mana?" Ucap Martin antusias. "Maaf Pak, sepertinya saya akan datang terlambat karena ada operasi mendadak." Ucap Rayza dengan nada penyesalannya. "Owh begitu ya, oke tak apa-apa. Kami akan menunggumu." Ucap Martin membuat Qiran mendengus sebal mendengar ucapan Papinya yang rela menunggu lama. "Terima kasih Pak, saya minta maaf. Assalamualaikum..." "Wa'alaikum salam..." Ucap Martin kemudian menutup panggilan teleponnya. "Datang saja ngaret, Papi yakin dia bisa jadi suami yang bertanggung jawab sama aku? Aku sih ga yakin tuh." Sindir Qiran sinis. "Papi yakin karena Papi sangat mengenalnya." Ucap Martin yakin. Qiran hanya memutar matanya dengan jengah. Sungguh dia tak menyangka papinya begitu percaya dengan pria yang bahkan belum dia kenal sama sekali. Sejujurnya Qiran sangat penasaran seperti apa sosok pria yang sudah membuat Papinya bertekuk lutut seperti ini. Bahkan sang Papi sudah tak pernah mengamuk padanya. Satu jam berlalu. Qiran sudah mulai gelisah. Dia merasa begitu suntuk menunggu seseorang yang bahkan tidak dia ketahui seperti apa wujudnya. Apalagi sang Papi tak mengajaknya bicara selama menunggu. Papinya terus sibuk dengan handphonenya. Entah apa yang dilakukan oleh sang papi, Qiran tak peduli. Gadis itu menopang dagunya dengan telapak tangan. Bibirnya terus mengatup kesal walau sesekali mengeluarkan umpatan dengan cara bergumam. Sungguh dia tidak yakin sang pria bisa menjadi suami yang bertanggung jawab. Datang untuk pertemuan penting saja sudah mulur hingga lebih dari satu jam. Belum lagi fisik sang pria yang belum diketahuinya. Dan saat ini dia berpikir dengan usia 30tahun, Qiran yakin pria itu adalah pria bertubuh gempal, hitam dan menyebalkan hingga tak laku-laku. Membayangkan bagaimana wujud suaminya membuat Qiran bergidik ngeri. Dia pun sudah tak peduli akan ATM dan kartu kredit kesayangannya. Sungguh dia tak rela menghabiskan sisa hidupnya dengan pria buruk rupa. Keringat dingin kini membasahi pelipisnya. Sungguh dia harus segera melarikan diri sebelum pria itu datang. Qiran tidak rela melepas masa lajangnya pada seorang pria tua yang tak dicintainya. Hal itu tentu saja membuat Qiran memutar otaknya. Dia harus bisa berpikir cepat agar bisa pergi dan tak menikah dengan pria tua itu. "Papi..." Ucap Qiran gelisah. "Hmmm..." Sang papi hanya bergumam tanpa menoleh pada putrinya. "Aku mau pipis nih..." Ucap Qiran membuat sang papi segera melirik. Qiran sadar sang papi sedang mengintimidasi dirinya melalui sebuah tatapan mata. Tapi Qiran harus bisa meyakinkan Papinya. Bagaimana pun caranya dia harus segera melarikan diri. Tak apa-apa semua ATM dan kartu kredit kesayangannya kembali dibekukan, daripada harus menghabiskan sepanjang sisa hidupnya dengan menikahi pria tua yang jelek. Itu adalah mimpi yang sangat buruk baginya. "Aku ga akan kabur. Aku beneran mau pipis." Ucap Qiran memelas. Namun sayang Martin tak kehilangan ide. Pria itu segera menelpon supir yang menunggu di mobil untuk mengikuti Qiran hingga di depan pintu toilet. Dia tak mungkin melepas Qiran begitu saja mengingat kebiasaan Qiran yang sering melarikan diri darinya. Sedangkan Qiran hanya bisa pasrah berjalan ke toilet dengan dikawal seseorang. Sungguh dia tak menyangka sekarang hidupnya begitu sulit. Tapi di dalam toilet Qiran kembali memutar otaknya. Dan tiba-tiba ada ide yang sangat brilian baginya. Qiran berjalan menuju sang supir yang menunggunya di depan pintu toilet. Dengan wajah melas dia bicara. "Pak Imron, tolong saya mau ga?" Ucap Qiran memelas. "Tolong apa Non?" Ucap Imron khawatir melihat wajah gelisah anak majikannya. "Aku haid Pak, tolong beliin pembalut dong... Aku mau beli sendiri malu... Takut tembus Pak... Hehehe..." Ucap Qiran berbisik. "Ini uangnya... Kembaliannya Bapak ambil aja..." Ucap Qiran menyodorkan selembar kertas berwarna pink cantik. Tanpa pikir panjang pria paruh baya itu segera pergi membelikan pembalut sesuai permintaan anak majikannya. Hal itu membuat Qiran begitu girang. Akhirnya dia menemukan jalan mulus untuk menghindari perjodohan dengan om-om jelek nan tua itu. Dengan mengendap-endap Qiran keluar dari toilet. Beberapa kali dia melirik ke arah Private room, berharap sang Papi tidak curiga. Dan akhirnya dia bisa bernapas lega saat melihat sang papi sedang menelpon seseorang. "Uuhh... Untung Papi lagi serius nelpon... Oke Qiran waktunya beraksi...." Ucapnya menyemangati diri sendiri. Gadis itu berlari cukup kencang menuju pintu keluar restoran. Karena terlalu panik, dia malah menabrak sesuatu yang keras dan hangat. BRUUUKK... Entah apa yang ditabraknya tadi, yang jelas saat ini dia sudah terjatuh di lantai. Bahkan mendarat dengan sangat tidak cantik. "Aaawwww... Aduh..." Ucapnya mengusap pantatnya yang mencium lantai. Sungguh rasanya tulang ekor di dalam sana mau patah. "Hei kau tak apa-apa kan?" Ucap suara bariton yang terdengar begitu merdu di telinga Qiran. Gadis itu pun menoleh ke atas. Menatap pria yang tampak seperti pangeran di siang bolong. Posisinya yang membelakangi cahaya membuat rambut pria itu seperti bersinar. Wajah tampan dengan rahang rupawan dihiasi dengan netra hitam yang kuat. Tak lupa bibir tipis berwarna pink alami menunjukan bahwa dia pria baik-baik yang tidak merokok. Sungguh Qiran terpesona dengan sosok pangeran di hadapannya. Tapi sayang rasa terpesona itu segera memudar saat menyadari pria itu hanya berdiri sambil menonton dirinya yang terjatuh. Dan jelas saja tak ada niat membantunya berdiri. "Kau bisa bangun sendiri kan? Maaf ya... Saya buru-buru." Ucap pria itu tersenyum dan langsung bergerak meninggalkan Qiran yang menanggung malu sendirian. "Arggghhh sial!!!" Geram Qiran terlalu kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD