Penasaran

1113 Words
Tanpa sadar Martin meneteskan air mata saat mengingat masa lalu kelamnya. Sungguh hatinya masih luka sampai saat ini. Bahkan waktu 19 tahun pun tak mampu menutup luka hatinya. "Ada apa dengan anda?" Rayza kembali bertanya karena Martin masih diam membisu dengan air mata yang terus mengalir. "Ah... Tidak apa-apa." Ucap Martin terkejut dan langsung mengusap air matanya. Sedangkan Rayza menatap sendu calon ayah mertuanya. Dia tak menyangka Martin bisa menangis hingga matanya memerah dan bengkak. "Jangan membohongi perasaan anda. Jika anda bersedia, silahkan bercerita kepada saya." Ucap Rayza menawarkan diri. "Saya baik-baik saja. Saya hanya rindu pada Qiran. Saya terharu Qiran bisa memasak senikmat ini." Ucap Martin kembali meneteskan air matanya. "Rasanya saya harus banyak-banyak berterima kasih kepada anda." Ucap Martin tersenyum. "Anda berlebihan Pak. Owh ya. Sudah lama anda tidak memastikan kondisi kesehatan jantung anda. Mari saya periksa." Ucap Rayza mengalihkan pembicaraan. Sungguh dia merasa tak enak hati setia ada seseorang yang memujinya. Karena hal itu sangat tidak baik untuk kesehatan jantung Rayza yang selalu berdebar berlebihan setiap ada yang memuji. Rayza pun segera meng-on kan EKG. Dia bersiap untuk memeriksa kondisi jantung calon ayah mertuanya. Kemudian mengajak ayah mertuanya untuk berbaring. Setelahnya Rayza pun mengecek kondisi jantung Martin dan menuliskan vitamin pada resep untuk kesehatan jantung ayah mertuanya. "Lho resepnya?" Tanya Martin saat melihat Rayza menyimpan resep itu pada sakunya. "Nanti saya yang tebus." Ucap Rayza singkat. "Hahaha. Kau tak perlu repot-repot Nak. Saya memang sudah tua, tapi saya masih sanggup membeli vitamin untuk kesehatan saya sendiri." Ucap Martin tertawa. "Maaf jika anda merasa terhina akan sikap saya. Tapi sungguh saya tak bermaksud seperti itu." Ucap Rayza menatap Martin dengan tatapan bersalahnya. "Kau terlalu serius Nak. Jangan terlalu sering mengucapkan kata maaf. Kau juga perlu menjaga harga dirimu." Ucap Martin menepuk bahu Rayza. Membuat calon menantunya merasa canggung. "Maaf." Lagi-lagi Rayza mengucapkan kata itu. "Baru saja saya mengatakan, kau kembali bilang maaf." Ucap Martin. "Saya bingung harus seperti apa." Ucap Rayza terkekeh. "Bersikaplah santai. Seperti bersama keluarga mu. Kau sudah ku anggap sebagai putraku." Ucap Martin mengusap punggung lebar Rayza. Dan Rayza merasa seperti berada di dekat ayahnya. Perlakuan Martin dan Raynand ayah kandungnya begitu sama. Sama-sama menyayangi Rayza. "Terima kasih." Ucap Rayza mengangguk. "Kapan kita akan pergi ke kampus Qiran?" Tanya Martin. "Saya mengikuti waktu luang anda." Ucap Rayza formal membuat Martin terkekeh. "Baru saja ku katakan bahwa kau sudah ku anggap sebagai putraku sendiri. Mana ada seorang ayah dan putranya berbicara dengan kata saya dan anda. Mulai hari ini tak ada lagi kata saya dan anda. Biasakan panggil Papi, sama seperti Qiran." Ucap Martin. "Baik... Papi." Ucap Rayza canggung karena merasa tidak terbiasa. "Kau harus terbiasa Nak." Ucap Martin menepuk bahu Rayza. Rayza pun menampilkan senyuman terbaik di wajahnya. "Owh ya. Kau ada waktu hari ini? Bagaimana kalau kita ke kampus Qiran sekarang saja." Ucap Martin. "Baiklah. Urusan jadwal praktek saya bisa kondisikan. Sebentar saya hubungi bagian administrasi terlebih dahulu." Ucap Rayza meraih gagang telepon. Tapi saat akan menekan angka extension bagian administrasi gerakannya terhenti. "Lalu anda sendiri bagaimana? Apa tidak mengganggu waktu kerja anda?" Tanya Rayza masih mengucapkan kata anda karena belum terbiasa. Hal itu membuat Martin mendengus kesal. "Huh... Lagi-lagi kau mengucapkan kata anda. Papi... Kau mengerti? Pa... Pi... Kau harus terbiasa. Jika tidak... Papi akan memukul b****g mu." Ucap Martin kesal. Ucapan Martin membuat Rayza tersenyum. Sungguh kalimat bar-bar itu sama seperti yang sering diucapkan Qiran. "Maaf... Maksudku begitu. Papi." Ucap Rayza. "Lagi-lagi kata maaf." Ucap Martin kembali mendengus. Rayza pun merasa serba salah saat ini. "Siap Papi." Ucapnya berdiri tegak dengan posisi hormat. Seperti komandan yang sedang memimpin upacara. Hal itu sukses membuat Martin tertawa. Rayza pun tersenyum canggung. "Katanya mau menghubungi bagian administrasi?" Ucap Martin mengingatkan Rayza. "Oh iya... Ma... Ekhem... Sebentar saya akan menghubungi bagian administrasi terlebih dahulu." Ucap Rayza hampir saja mengucapkan kata maaf. Rayza mulai menekan angka, lalu menghubungi bagian administrasi untuk menggeser jam prakteknya. Setelah itu mereka bergegas ke mobil Rayza untuk pergi ke kampus Qiran. Sepanjang perjalanan mereka berbincang dengan sangat akrab. Dan pembicaraan mereka tak jauh dari seputar Qiran. Sikapnya, kebiasaannya, hobinya dan apapun tentang Qiran. Bahkan masa kecil Qiran yang lucu. "Owh ya soal ceritamu tentang lamaran mu pada Qiran belum kita lanjutkan. Sungguh Papi penasaran." Ucap Martin menatap Rayza yang fokus menyetir. Rayza pun menoleh sekilas kepada calon ayah mertuanya. Kemudian kembali fokus ke depan. Tapi jantungnya berdebar tak karuan karena malu. Bahkan rona merah pun menghiasi wajah hingga daun telinganya. "Rayza malu menceritakannya." Ucap Rayza jujur. "Ayolah Papi penasaran." Martin mulai merayu. "Tapi tolong jangan tertawakan aku lagi." Ucap Rayza. "Papi tak akan menertawakan dirimu lagi. Bahkan Papi malah berniat membantumu menentukan tema dan momen yang pas." Ucap Martin semangat. "Terima kasih. Tapi sepertinya tidak perlu." Ucap Rayza menolak. "Kau belum berpengalaman. Biar begini saya adalah pria yang romantis. Ya... Walaupun endingnya saya ditinggalkan demi pria lain." Ucap Martin. "Jangan membahas hal yang membuat kondisi jantung anda memburuk. Semua sudah takdir. Papi harus ikhlas." Ucap Rayza meneduhkan hati Martin. Rayza paham hal itu sangat menguras emosi calon ayah mertuanya. "Maka dari itu. Lebih baik kau ceritakan tentang lamaranmu pada Qiran." Ucap Martin. "Baiklah. Apakah Papi percaya kalau saya mengajak Qiran menikah sudah dua kali dan dua kali ditolak?" Ucap Rayza terkekeh karena malu. Dia tak menyangka selama ini dikejar wanita tapi disaat mencintai wanita malah ditolak. "Wah kau membuat Papi semakin penasaran dengan ceritamu. Lanjutkan." Ucap Martin. "Yang pertama saat saya terpesona akan kecantikan Qiran. Saat itu dia meledek saya dengan berkata Terpesona heh? Lalu saya jawab Ya, kamu cantik. Mari menikah. Tapi dia malah menganggap saya becanda. Saat saya berusaha meyakinkan dia malah marah. Lalu yang ke dua saat dia bercerita tentang masalahnya di kampus. Saya mengatakan Bagaimana kalau aku bilang kamu adalah calon istriku. Sekalian pulangnya kita ke rumah orang tua kamu. Aku akan melamar kamu. Dan buat teman-teman kamu menyesal sudah membully kamu. Aku rasa si Citra teman kamu itu akan malu. Kita nikah yuk. Tapi dia malah marah dan memukuliku dengan guling. Haah..." Ucap Rayza bercerita panjang lebah diakhiri dengan hembusan nafas panjang. Sedangkan Martin menyimak dengan seksama. "Baiklah. Nanti Papi bantu. Kau cukup siapkan mental mu saat menyatakan cinta." Ucap Martin. Rayza pun tersenyum. "Wah ga kerasa kita sudah sampai." Ucap Rayza kemudian memarkirkan mobilnya. Mereka pun bergegas ke ruang rektor. Dan saat itu pula ada seseorang yang memanggilnya. "Abang Rayza." Ucap seseorang membuat Rayza menoleh ke belakang. "Satria? Kau kuliah di sini?" Ucap Rayza melihat putra dari sahabat ayahnya. "Iya. Abang ada perlu apa ke sini?" Tanya Satria penasaran melihat Rayza yang masih menggunakan jas putih kebanggaan datang ke kampus tempat dia menimba ilmu. Apalagi di samping Rayza ada sosok pria lain yang dia taksir berusia sekitar 60 tahunan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD