3. Manusia Kaku

2846 Words
Malam pertama yang Vio impi-impikan nyatanya berakhir berantakan. Setelah ditinggalkan sendiri oleh suaminya, Vio nyaris tidak berhasil tidur sama sekali. Alhasil, baru juga waktu menunjukkan pukul enam pagi, Vio sudah mengirim pesan di grup chat. . Vio: Hellow! Vio: Wake up fellas! . Sayangnya, mungkin hanya Vio yang mengalami sulit tidur, sementara ketiga sahabatnya malah terlelap bahagia. Setelah hampir tiga jam berlalu, barulah satu per satu pesan balasan bermunculan menanggapi panggilan Vio tadi. . Mia: Apaan penganten baru? Vio: butuh bantuan nih mbak Ry: ehhh ada hawa2 seger nih Mia: eh bener juga Mia: seger2 gimana gitu Vio: ledek aja terus Ry: kirim foto dong Vio: buat? Ry: pengen tau muka vio seglowing  apa setelah mencicip sensasi terlarang Vio: dasar gilà! mèsum aja terus itu otak! . Dalam hati Vio mendongkol. Andai mereka tahu kejadian semalam, pastilah tidak akan ada yang berani menggodanya seperti saat ini. . Tita: vio kenapa pagi2 udah panggil2? Mia: tau nih! emang laki lo enggak ngoceh pagi2 bukannya asik nempel sama dia malah rame chat2 gini. Ry: ciee yang dimarahin suami gara2 asik chat sama kita Mia: eh minta dipotong gajinya ni anak Ry: jangan dong mbak cantik kesayangan ry, nanti ry mati lemas kalo kurang makan Vio: makan aja yang dipikirin Ry: ih vio kok marah2 sih? Ry: pengantin baru pantang marah Ry: nanti auranya jelek Vio: gimana ga marah kalo ngadepinnya makhluk kayak kalian ini Vio: orang minta tolong malah diledek Tita: minta tolong apa vi? Ry: butuh bantuan apa sayangku Mia: jangan bilang lo minta tolong dibangunin karena nggak kuat bangun sendiri abis melewati malam panjang penuh dosa. . Sontak Vio mendelik membaca chat Mia yang tanpa saringan itu.  . Ry: ngga dosa kali mbak Ry: kan udah sah Mia: oh iya bener juga Tita: vio mau minta tolong apa? Vio: enggak jadi Tita: kenapa? Vio: males Ry: yah jangan ngambek dong cantik Mia: yang bener nih Mia: jadi minta tolong ngga Mia: kalo ngga jadi gue mau tempur lagi . Vio kembali mendelik horor. Mia ini entah sudah berapa tahun menikah, tetapi tingkahnya masih selalu seperti pengantin baru saja. Bikin Vio yang pengantin baru sungguhan malah iri. . Ry: mbak ih! Ry: malu dong Mia: apa sih? Ry: masa mau tempur bilang2 Mia: sirik aja Tita: vi … Tita: vio …. Ry: viooo Mia: yah ngambek . Vio tertawa geli melihat kepanikan para sahabatnya. . Vio: abis kalian nyebelin Vio: orang lagi serius mau minta tolong malah ngeledek aja terus Tita: maafin ya vi Tita: vio mau minta tolong apa? Vio: ada kenalan desainer yang jago rombak ruangan dalam waktu kilat? Tita: vio mau rombak apa? Vio: kamar tidur Mia: kamar lo? Vio: bukan Vio: kamar utama di sayap timur Mia: buat? Vio: kamar aku sama ryota mbak Ry: emang vio sama babang ryo belum punya kamar bareng? Vio: belum Mia: kirain udah siapin kamar dari kapan tau . Sejujurnya Vio baru terpikir subuh tadi. Awalnya ia kira soal urusan tidur pasti mudah diatur. Ia tinggal menyeret Ryota ke kamarnya dan semua beres. Namun, mengingat kejadian semalam, rasanya akan sulit. Vio harus menyiapkan kamar khusus untuk mereka. Ia harus lebih dulu berinisiatif agar perlahan mereka bisa menjalani kehidupan pernikahan yang normal. . Tita: aku ada kenalan vi Mia: freya? Tita: iya mba Mia: emang dia ngga sibuk? Tita: coba aku tanyain ya Mia: kalo kepepet suruh si ry aja Mia: percuma dia belajar interior kalo ngga dipraktekin Vio: gue ngga iklas kalo dia yang urus Vio: ancur yang ada Ry: jahatnya Vio: beresin dulu kuliah lo, baru gue bersedia pake jasa lo Ry: sombong Ry: asal tau aja, jasa pro mahal loh Ry: apalagi minta kilat Vio: gue ngga peduli soal harga Vio yang penting hasilnya Tita: vi aku udah kontak orangnya. namanya mba freya Vio: kerjanya bagus? Mia: ngga usah diraguin lagi Tita: mba freya sering dapet penghargaan internasional . Vio yakin kalau orang bernama Freya ini pastilah pernah menjadi klien Tita dan Mia, karena keduanya mengenal wanita itu. Dan kalau Mia memuji seseorang hebat, pastilah memang benar demikian karena wanita itu jarang memberi pujian. . Vio: mantap Ry: ih rasain loh, mahal pasti Vio: bodo amat! Vio: lo udah bilang gue butuh kilat? Tita: udah Tita: mba freya bilang bisa dan tanya mau ketemuan di mana? Vio: kasih alamat kantornya aja, nanti gue yang datengin. . Akhirnya, dengan semangat pejuang tangguh, keesokan harinya Vio langsung mendatangi studio desain milik Freya, berkonsultasi, lalu memboyong wanita itu untuk melakukan keajaiban di kamar yang akan ditempatinya bersama Ryota. Tita terbukti tidak salah merekomendasikan orang. Tangan ajaib Freya mampu menyulap kamar kosong itu menjadi elegan dan mewah hanya dalam waktu dua hari saja. *** “Sedang apa di sini?” Suara berat bernada dingin milik Ryota menginterupsi kesibukan yang terjadi di kamar pria itu.  Dua perempuan dan tiga lelaki berseragam pelayan yang kebetulan sedang berada di sana, sontak menghentikan kegiatan mereka. Saat dulu masih berstatus sebagai kepala staf keamanan di kediaman keluarga Brajamusti saja Ryota memang sudah disegani. Kemudian ketika Ryota naik pangkat menjadi asisten sekaligus pengawal pribadi almarhum Devan Brajamusti, pria itu semakin disegani. Apalagi sekarang ketika pria itu resmi menjadi menantu di keluarga ini.   Hanya Vio yang tetap santai dan tidak terpengaruh dengan sikap dingin Ryota. “Lagi beres-beresin barang kamu.” “Untuk apa?” Alih-alih terlihat rapi, kamarnya malah tampak carut-marut. “Supaya gampang diangkutnya," jawab Vio sambil tangannya terus sibuk memindahkan isi rak buku Ryota ke dalam sebuah dus.  Ryota berjalan tergesa ke lemari pakaian lalu menatap nanar ketika menemukan separuh isinya raib. “Barang saya berpindah ke mana?” “Ya, ampun panik gitu!" Vio terkekeh pelan. "Tenang aja, aku cuma mau pindahin barang-barang kamu ke kamar kita.” Memang, semua ini adalah gagasan Vio. Titah langsung dari nyonya rumah jelas tidak terbantahkan meski sebenarnya para pelayan cukup ragu dengan keputusan Vio. Pasalnya, mereka sangat tahu jika Ryota paling tidak suka ada orang yang masuk ke kamarnya. Bahkan selama ini, pria itu selalu merapikan kamarnya sendiri, tidak pernah tersentuh oleh pelayan. Ryota memicingkan mata. “Kamar kita?” Vio mengangguk kecil. “Sejak kapan ada istilah ‘kamar kita’?” “Sejak kita nikah, dong!” ucap Vio bangga. Baru empat hari menyandang status baru, tapi Vio sudah demikian terbiasa, seolah ia memang telah menunggu momen ini seumur hidupnya. Lebay! “Siapa bilang saya mau pindah dari kamar ini dan bersedia tidur sekamar dengan kamu?” “Loh?” Sontak Vio celingukan, khawatir para pelayan mendengar perkataan Ryota. Namun ajaib, kamar Ryota ternyata sudah kosong. Entah sejak kapan para pelayan meninggalkan mereka. “Saya akan tetap tidur di sini," putus Ryota tegas. "Kembalikan lagi barang-barang saya yang sudah sempat dipindahkan.” “Tapi kita kan udah nikah,” protes Vio tidak terima. “Saya sudah bilang, kita akan tetap menjalani kehidupan masing-masing seperti biasa, seolah tidak ada apa-apa. Dan itu termasuk tidak perlu tidur bersama di kamar yang sama.” “Tapi bakal aneh dilihat semua pekerja di rumah ini.” “Apa masalahnya? Saya tidak peduli.” “Setidaknya pindahlah ke rumah utama, jangan tetap tidur di paviliun pegawai kayak sekarang ini,” pinta Vio. Ia tidak ingin mereka digunjingkan.  “Buat saya tidak masalah," balas Ryota keras kepala.  “Aku yang masalah!" Vio mengentakkan kaki tanpa sadar. Jengkel dengan penolakan keras Ryota yang dirasa berlebihan. "Nanti aku dibilang cewek kejam yang biarin suaminya tetap tidur di paviliun pegawai.” Ucapan Vio membuat Ryota berpikir, ada benarnya juga alasan yang gadis itu sampaikan. Meski setengah hati, akhirnya Ryota bersedia kompromi. “Saya bersedia pindah ke rumah utama asal kamu berjanji kita akan tetap tidur sendiri-sendiri.” “Oke!" sambut Vio cepat. Begini masih lebih baik. "Kamu bisa pakai kamar yang harusnya untuk kita tempati sama-sama, aku bisa tetap di kamar aku yang biasa.” “Terima kasih," ujar Ryota kaku. Sama sekali jauh dari kesan tulus. "Sekarang kamu bisa kembali ke rumah utama, biar saya yang urus sisanya." Vio mengembuskan napas kesal, sadar jika dirinya telah diusir secara halus oleh sang suami. Namun, sebelum berlalu meninggalkan kamar Ryota, Vio tergelitik untuk bertanya. “Ryota …?” panggil Vio ragu. “Ya?”  “Sampai kapan kita akan begini?” tanyanya sedih. Belum apa-apa Vio sudah memiliki firasat kalau kehidupan pernikahannya akan miris. “Seterusnya,” jawab Ryota tanpa ragu. Seketika Vio ingin menangis karena jengkel. “Terus gimana dengan acara honeymoon kita?” “Lupakan saja. Tidak akan ada honeymoon.” “Tapi tiket dan semua akomodasinya?” Suara Vio mulai terdengar meninggi. Bagaimana tidak jengkel mengingat usaha besar yang dilakoninya demi merencanakan bulan madu nan sempurna? Belum lagi biaya yang juga besar pastinya.  “Batalkan saja,” sahut Ryota tidak peduli. Refleks Vio mengentakkan kakinya. Lagi. Kebiasaan yang selalu ia sembunyikan dari pandangan orang lain, kecuali almarhum ayahnya. Citra diri yang beredar di luar sana adalah Vio ini perempuan anggun, bijaksana dan berpembawaan tenang, padahal kenyataannya ia ini cenderung manja, ketus, berani, dan sedikit meledak-ledak. Hanya kecerdasannya yang merupakan sebuah kenyataan. “Mana bisa dibatalkan? Itu buat tiga hari lagi!” seru Vio kesal. Matanya mulai dihiasi binar-binar kaca, dan hidungnya mulai dipenuhi slime alami. “Kamu bisa tetap pergi sendiri kalau mau. Anggap saja acara liburan. Atau kamu bisa ajak orang lain untuk menemani,” usul Ryota tanpa hati. “Aku maunya pergi sama kamu!” tuntut Vio keras kepala. “Saya tidak bisa. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.” “Kamu itu udah diaturin buat cuti!”  “Saya menolak cuti.” “Aku nggak mau tau! Pokoknya kita tetap harus pergi! Biar pun kamu bilang kita enggak akan hidup kayak pasangan menikah, enggak masalah. Tapi kita masih bisa jadi teman. Teman kan boleh liburan bareng!” “Terserah kamu." Menanggapi Vio yang bertingkah seperti bocah ngambek, Ryota tetap tenang dan datar. "Saya sudah bilang kalau saya tidak akan pergi.” Kali ini Vio mengentakkan kaki kuat-kuat lalu melanjutkan kekesalannya dengan membanting dus berisi buku-buku Ryota yang sejak tadi masih ia pegangi. Setelah itu ia melangkah kasar menuju pintu. "Tolong jaga sikap kamu," tegur Ryota sebelum Vio menghilang. "Banyak pelayan di sini dan mereka semua bisa melihat tingkah kamu." Tepat di ambang pintu Vio menoleh ke belakang dan melotot sengit. "Bodo amat!" *** “Pagi …,” sapa Vio lembut tepat di dekat telinga Ryota. Jangan dulu berpikir jika mereka baru saja melewati malam indah bersama! Setelah perdebatan tentang pindah kamar, mereka sepakat untuk mematuhi kesepakatan. Vio di kamarnya yang biasa dan Ryota di kamar pengantin mereka.  Bisikan lembut Vio membuat Ryota seketika melonjak. Matanya menatap nanar dan suaranya terdengar demikian ketus ketika bertanya. “Sedang apa kamu di sini?” “Bangunin kamu.” “Saya bisa bangun sendiri.” “Aku tau. Pengin aja.” Vio yang awalnya hanya berlutut di sisi tempat tidur, kini malah berpindah dengan berani dan duduk tepat di dekat Ryota. Ia menunjuk nampan di atas nakas. “Suka kopi, kan?” “Hm.” Ryota mengangguk kecil. “Ini aku udah buatin. Tapi sebelumnya minum air putih dulu, oke?” Vio mengambil gelas berisi air putih dan menyerahkannya ke tangan Ryota. Meski canggung, Ryota tidak bisa menolak. “Kamu tidak perlu repot-repot seperti ini.” Sikap ketus Ryota sama sekali tidak membuat Vio tersinggung. Ia sudah bertekad untuk memenangkan hati Ryota, bagaimana pun caranya. Dan satu hal yang Vio yakini akan menumbuhkan perasaan cinta di antara mereka adalah kedekatan dan keterbiasaan. “Repot apanya. Cuma bikin kopi doang.” Vio mengedik santai. Mengambil kembali gelas berisi air putih yang tinggal tersisa setengah kemudian menukarnya dengan cangkir kopi. “Semalam pulang jam berapa?” Ryota diam. Memilih menyeruput kopi ketimbang menjawab pertanyaan istrinya. “Aku enggak boleh tau?” “Kita sudah sepakat untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing, ingat?” “Inget, kok. Cuma nanya aja apa salahnya? Kalo enggak boleh tau dan enggak mau kasih tau ya udah,” ujar Vio penuh senyum. Ia sudah bertekad untuk tidak akan mudah terpancing lagi dengan sikap menyebalkan Ryota. Vio akan berusaha tetap tampil anggun di depan Ryota seperti yang selama ini ia tunjukkan pada banyak orang. Sikap beringasnya cukup diketahui almarhum papa tercinta juga sahabat lucknutnya. “Jam satu.” Entah mengapa Ryota menjawab juga. “Wah! Malem banget.” Vio pura-pura terkejut. “Mau melarang?” tanya Ryota dengan nada menantang. “Bukan.” Vio mengangkat bahu cuek. “Cuma mau bilang jaga kesehatan. Jangan lupa makan teratur. Itu aja.” Ryota termangu. Pikirnya gadis cerewet ini akan kembali merepet. Satu yang Vio tidak tahu, Ryota cukup mengenal sosoknya lebih dari yang gadis itu pikirkan. Menjadi orang kepercayaan Devan Brajamusti membuat Ryota tahu banyak hal tentang kehidupan pria itu, termasuk sosok putri tercintanya. Jadi Ryota tidak pernah tertipu dengan sosok anggun Vio yang palsu. “Mandi, gih!” ujar Vio mengejutkan Ryota. Untuk hal satu ini, Ryota langsung menurut tanpa berdebat. Lebih cepat memutus interaksi di antara mereka, semakin baik rasanya. Namun, begitu keluar dari kamar mandi, Ryota kembali dibuat terkejut. Gadis itu masih setia di kamar ini, duduk manis di atas tempat tidur yang kini sudah rapi. “Kenapa kamu masih di sini?” “Tungguin kamu mandi.” “Kamu pikir saya anak kecil?” Ryota mengerang kesal. Untung saja ia keluar kamar mandi dalam keadaan memakai handuk, jika tidak Vio pasti bisa melihat segalanya. “Enggaklah. Masa aku nikah sama anak kecil.” “Lalu mau apa?” “Mau tunjukin ini.” Vio menunjuk dua set pakaian milik Ryota yang sudah ia siapkan di atas tempat tidur. “Kamu lebih suka yang mana?” “Violetta, tidak perlu mengurusi saya. Kamu tidak berkewajiban melakukan semua ini.” Ryota mengembuskan napas sambil meraup kasar wajahnya. Ia mulai putus asa untuk membuat Vio mengerti jika di antara mereka ada batasan yang seharusnya tidak boleh dilewati. Entah gadis ini benar-benar d***u atau sesungguhnya bebal, tapi Vio seolah tidak mengerti jika Ryota tidak ingin didekati. Vio terus saja melanggar batas-batas yang sudah Ryota buat sejak awal.  “Tau kok enggak wajib, tapi pengin aja. Dulu aku suka begini ke Papa. Sejak Papa enggak ada, enggak ada lagi yang bisa aku perhatiin. Sekarang ada kamu, jadi aku pikir apa salahnya?” Perkataan Vio membuat Ryota merasa tidak enak. Pada akhinya, ia kalah. “Oke, selama kamu tidak menganggap ini tugas kamu sebagai istri aku.” “Iya, Ryota. Aku ngerti. Aku paham. Aku udah tau banget. Kamu selalu ingetin aku tiap ada kesempatan, mana mungkin aku lupa? Belum ada seminggu kita nikah juga udah nempel banget kata-kata itu di kepala aku.” “Bagus kalau gitu.” “Ya, udah kalo gitu cepetan dipake!” “Kamu kenapa masih di sini?” “Mau pasangan dasi.” Refleks Ryota mendelik kesal. “Biasa aku yang pasangin buat Papa,” gumam Vio dengan ekspresi sedih yang lugu. “Harus sekali kamu terus di sini? Apa kamu selalu mengawasi papa kamu saat tidak berpakaian?” sindir Ryota tajam. “Enggak selalu, tapi lumayan sering. Papa santai-santai aja.” Vio tidak bohong. Melihat sosok ayahnya berganti pakaian sudah jadi hal biasa bagi Vio. Devan yang sudah menduda sejak Vio berusia dua bulan, tidak pernah menikah lagi. Jadi saat Vio beranjak remaja, ia berinisiatif mengerjakan beberapa hal biasa dilakukan oleh seorang istri.  Nah, kalau melihat ayahnya saja Vio tidak keberatan, apalagi melihat suaminya sendiri! Belum lagi sosok Ryota memang demikian menggoda. Tubuh tegap dengan kulit tembaga itu terlihat kokoh dan sanggup memeluk kuat tubuh Vio. Membayangkannya saja membuat Vio mabuk. Ryota kembali mengusap wajahnya. “Tapi saya bukan papa kamu, Violetta!” “Iyalah! Masa aku nikah sama papaku sendiri? Gila aja!” “Percuma debat dengan kamu.” Berdebat dengan gadis ini seakan tidak pernah ada habisnya. Akhirnya, lagi-lagi Ryota yang menyerah kalah. Tolong digarisbawahi! Bukan mengalah tapi menyerah kalah! Ryota memilih mengambil pakaiannya dan membawanya ke kamar mandi, berganti pakaian di dalam meski ada resiko celana panjangnya akan basah. “Cepetan! Nanti sarapannya keburu dingin.” Begitu Ryota keluar dari kamar mandi, Vio langsung mendekat dan memasangkan dasi untuk pria itu. “Jangan bilang kamu juga yang buat sarapannya?” tanya Ryota curiga. “Oh, tentu!” “Papa kamu suka dengan masakan kamu jadi kamu selalu masak untuk beliau, begitu?” Sebelum Vio memasang wajah sedih-sedih lagi, Ryota sudah lebih dulu menebak. “Ih, tau aja!” seru Vio geli. “Kamu harus cobain masakan aku. Nyesel kalo enggak pernah coba.” Pagi ini begitu melelahkan bagi Ryota. Baru saja bangun, bahkan belum mulai mengerjakan apa-apa, tapi rasanya Ryota sudah penat. “Violetta, untuk hari ini saya turuti semua tingkah aneh kamu, tapi besok tidak lagi. Jangan perlakukan saya seperti ini lagi, kamu mengerti?” “Ya, ampun! Apa yang salah sama hidup kamu, sih?” Tanpa sadar Vio menarik simpul dasi yang sudah selesai dibuatnya dengan terlalu kencang hingga mencekik leher Ryota.  “Kendurkan dasinya!” Ryota menepuk pelan tangan Vio. “Saya bisa mati terbunuh di tangan kamu.” “Kenapa jadi orang kaku banget, sih? Dibawa santai aja emangnya enggak bisa?” Dikibaskannya dasi Ryota dengan jengkel lalu mengentakkan kaki dan meninggalkan kamar itu. Lagi-lagi Vio kalah. Tekadnya untuk menjadi anggun dan tenang kembali berantakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD