2. Adegan 21+ ???

1937 Words
Setelah menunggu selama hampir satu jam lagi dalam kondisi masih mengenakan gaun pengantin, Vio begitu lega ketika akhirnya melihat pintu kamar terbuka dan Ryota muncul. Dalam waktu singkat ia akan segera terbebas dari kurungan menyiksa yang membuatnya pegal karena sulit bergerak. Gaun super mewah ini terlalu berat, panjang, dan membuat Vio sesak. Ulah siapa lagi kalau bukan Tita. Entah mengapa gadis itu senang sekali memilihkan gaun pengantin yang membuat pemakainya cantik menawan, tetapi tersiksa lahir batin. Diamatinya sang pujaan hati yang kini telah resmi menyandang status sebagai suaminya. Pria itu tampak demikian gagah. Setelan yang Ryota kenakan hari ini membuat ketampanannya semakin meningkat. Meski sebenarnya tanpa berdandan pun, Ryota memang sudah tampan. Jelas saja! Kalau tidak, mana mungkin pria itu bisa menarik perhatian Vio pada pandangan pertama, bukan? "Udah selesai?" Ryota melirik sekilas ke arah Vio dan mengangguk kecil. Sikap kaku Ryota cukup membuat Vio canggung, tapi gadis ini tidak gentar. Mereka hanya belum terbiasa saja. Memang selama ini nyatanya ia dan Ryota tidak akrab, hanya saling kenal karena pria itu sudah bekerja pada ayahnya sejak tujuh tahun lalu. Itu saja. "Abis ngobrol sama siapa?" Vio mencoba bertanya lagi. Alih-alih menjawab pertanyaan Vio, Ryota balas bertanya. "Kenapa belum tidur?" "Tunggu kamu." Bukan Vio namanya kalau mudah menyerah. Ia kembali mengajukan pertanyaan yang sama. "Kamu tadi ngobrol sama siapa sampai lama gini?" "Harusnya langsung tidur. Tidak perlu tunggu saya." Lagi-lagi jawaban pengalihan. Vio tidak berkecil hati. Mungkin Ryota memang seperti ini. Toh sosok Ryota yang selama ini Vio tahu memang terkesan kaku dan misterius, cenderung menarik diri dari orang lain, pendiam, serta dingin. Vio yakin dalam beberapa bulan ia akan bisa mengobrol santai dengan Ryota layaknya pasangan normal. Vio bangkit perlahan dan mendekat ke arah Ryota yang sedang melepas jas, rompi, dan dasinya. Ia tersenyum canggung di depan Ryota sambil berbalik menunjukkan punggungnya. "Masalahnya aku nggak bisa buka gaun ini." Seketika Ryota mengernyit. "Bukannya tadi ada teman-teman kamu di sini?" "Iya." "Kenapa tidak minta tolong mereka?" tanyanya dengan nada tidak suka. Vio memasang wajah memelas dan menjawab apa adanya. "Mereka nggak mau tolongin." Ryota mengangkat sebelah alisnya. "Alasannya?" Vio meringis. Haruskah ia menceritakan semua kegilaan ketiga sahabatnya? Lebih baik tidak karena itu akan membuatnya malu sendiri. "Mereka bilang biar tunggu kamu." "Jadi kamu mau saya yang bukakan gaun itu?" tanya Ryota tidak percaya. "Mau nggak mau.” Vio mengangguk canggung. “Kecuali kamu bisa cariin orang lain untuk bukain." Ryota mengembuskan napas lelah kemudian berjalan menuju lemari pakaian. "Coba kemari!" Vio terlihat bingung, tetapi mendekat juga. "Hadap ke dinding!" Ryota menunjuk sisi dinding yang membentuk sudut dengan lemari. Kembali Vio mematuhi kata-kata Ryota, meski kepalanya penuh tanya. Apa yang akan suaminya lakukan? Apakah adegan yang Mia gembar-gemborkan akan segera terjadi sekarang juga? Bukankah seharusnya mereka mengawali adegan itu dengan mandi bersama, atau setidaknya saling tatap mungkin? Kenapa ia malah diminta mojok dan menghadap tembok pula? Atau jangan-jangan …, Ryota ini …? Cepat-cepat Vio menggeleng untuk menghalau pikirannya yang melantur. Saat itu juga Vio merasakan tangan kokoh melingkari perutnya lalu menariknya sedikit ke belakang hingga punggungnya membentur tubuh bidang Ryota. "Saya hanya akan bantu buka tali dan pengaitnya. Selebihnya kamu urus sendiri," ujar Ryota kaku. Tangannya mencoba mengurai tali berukuran kecil yang silang-menyilang membentuk simpul rumit sepanjang pinggang hingga batas punggung. Belum lagi kait-kait kecil di sisi kiri kanan jalur tali. Kalau boleh, ingin rasanya Ryota menggunting saja tali-tali ini. Menit-menit berlalu dan Ryota masih berkutat dengan ikatan-ikatan itu, sementara Vio sejak tadi terus menerus menahan napas. Setiap kali tangan Ryota bersentuhan dengan pinggangnya, degup jantung Vio semakin menggila. Apalagi ketika Vio merasakan ikatan gaunnya mulai mengendur. Kepalanya sudah berkelana, sibuk memikirkan skenario yang akan terjadi setelah ini. Belum apa-apa wajahnya sudah merona. Tiba-tiba saja Ryota meraih tangan kanan Vio dan menuntunnya untuk menahan bagian depan gaun gadis itu. Ia sendiri menoleh ke samping dan berujar dalam. "Pegangi!” Ucapan Ryota menyadarkan lamunan Vio. Belum sempat ia mencerna, Ryo sudah berjalan menjauh. “Jangan turunkan sebelum saya masuk ke kamar mandi." Vio mengerjap bingung. Jadi seperti ini saja adegannya? "Kamu mau mandi?" tanya Vio bingung sambil memegangi bagian depan gaunnya agar tidak sampai meluncur turun. "Badan saya lengket karena keringat," sahut Ryota di depan pintu kamar mandi. "Mandi di sini?" tanya Vio bodoh. "Haruskah saya mandi di toilet lain?" sindir Ryota tajam. "Bukan begitu.” Cepat-cepat Vio menggeleng. Tidak mungkin juga ia meminta Ryota menumpang mandi di kamar lain, atau ke kamar mandi di lobi. Hanya saja …. “Tapi aku juga mau mandi." Ryota menatap Vio tajam, terlihat sedikit kesal. "Seharusnya kamu mandi sejak tadi. Saya sudah beri kamu waktu yang sangat cukup." Vio meringis. "Maaf. Kamu mandi duluan aja." "Saya tunggu di luar.” Ryota menjauh dari kamar mandi, menyambar ponselnya yang tadi ia simpan di dekat meja rias, lalu melangkah menuju pintu. Sebelum keluar, Ryota berpesan. “Nanti saya kembali. Tolong jangan terlalu lama karena saya sudah sangat lelah hari ini. Dan saya mau kamu sudah berpakaian saat saya kembali." Ditinggalkan seperti itu oleh suaminya, Vio termangu. Kenapa sikap Ryota kaku sekali? Apa harus sampai keluar kamar saat Vio mandi? Namun, mengingat wajah lelah Ryota, Vio sadar ia harus bergegas. Ia tidak ingin Ryota kembali ke kamar dan mendapati dirinya belum selesai lalu bertambah jengkel. Untunglah Ryota memberi Vio waktu sekitar 30 menit dan itu sangat cukup. Saat Ryota kembali, Vio sudah berpakaian lengkap. Pakaian tidur maksudnya, bukan satu set perlengkapan pelajaran matematika, hadiah dari sahabat lucknutnya. Vio hanya bisa terheran-heran ketika Ryota melewatinya begitu saja. Tidak ada basa-basinya sama sekali. Sambil menunggu Ryota selesai mandi, Vio duduk manis di atas tempat tidur, bersandar pada kepala ranjang dengan kaki diluruskan, sementara mata dan jarinya sibuk menjelajah layar ponsel. Melihat story teman-temannya di dunia maya yang semuanya menyoroti pesta pernikahan Vio dan Ryota. Vio asik membalas ucapan-ucapan selamat yang ditujukan padanya sampai tidak sadar Ryota sudah keluar dari kamar mandi. "Kamu sedang apa?" Suara Ryota mengejutkan Vio. Maklum saja, hotel kelas atas semacam ini tentu pintunya tidak berdecit atau berdebam seperti di losmen-losmen. Masih untung kamar mandi di sini berpintu, meski transparan. Transparan! Seketika Vio tersadar. Pantas saja Ryota memilih keluar saat dia mandi tadi. Mungkin karena pria itu tidak ingin mengintip saat Vio mandi. Rupa-rupanya pria ini sopan sekali. Pikiran itu membuat Vio mengulum senyum diam-diam. "Tunggu kamu." "Kenapa tidak tidur?" "Nggak bisa." "Tidurlah. Hari ini pasti sangat melelahkan untuk kamu." "Kamu mau ke mana?" tanya Vio ketika punggung Ryota menjauh. "Tidur," balasnya datar. Satu pengetahuan baru yang Vio pelajari. Ryota suka berbicara tanpa menatap lawan bicaranya. "Kenapa nggak tidur di sini?" tanya Vio heran. Tempat tidur sebesar ini mau diapakan kalau tidak digunakan main silat berdua? Belum lagi malam ini judulnya malam pertama, bukan? Mana ada pengantin wanita melewati malam panas sendirian di ranjang? Harus ada pengantin prianya baru jadi panas, bukan? Ryota membaringkan tubuhnya di sofa bed yang ada dekat televisi. "Silakan kamu saja." Hening setelahnya. Namun, Vio tidak bisa tidur. Merasakan ada sosok lain berada satu ruangan dengannya membuat Vio merasakan sensasi berbeda. Belum pernah seumur hidupnya ia tidur bersama pria, meski sekarang kasusnya ia di tempat tidur dan Ryota di sofa bed. "Ryota?" panggil Vio lirih. "Hm?" gumaman malas terdengar menjawab panggilan Vio. "Kamu keberatan dengan pernikahan ini?" "Keberatan atau tidak, memangnya saya bisa apa?" Deg! Apakah maksudnya Ryota memang keberatan? Pikiran itu mulai mengganggu Vio. "Kenapa nggak menolak dari awal?" "Dan membiarkan kamu kehilangan semua?" Jawaban tenang Ryota menampar Vio. Kenapa tidak pernah terpikir olehnya selama ini? Kenapa ia mengira Ryota senang-senang saja diminta menikahinya? Kenapa juga ia baru bertanya sekarang? Jika memang alasan Ryota menikahinya hanya karena terpaksa, Vio akan merasa sangat bersalah. "Harusnya kamu bilang. Pasti ada jalan lain,” ujar Vio berlagak bijak. “Lagi pula aku juga nggak terlalu peduli sama warisan Papa." "Sudahlah. Semua sudah terjadi. Kita jalani saja," sahut Ryota datar. Perasaan Vio mulai tidak karuan. Perlahan ia beringsut duduk, mencuri pandang pada Ryota di keremangan cahaya kamar. Dilihatnya pria itu berbaring terlentang dengan sebelah tangan menutupi matanya. "Ryota?" panggil Vio lagi. Pikirnya Ryota akan mengabaikan, tapi ternyata pria itu tetap merespon. "Hm?" "Boleh tanya sesuatu?" "Apa?" Sesungguhnya banyak sekali yang ingin Vio tanyakan. Bahkan ia baru sadar kalau dirinya tidak tahu apa-apa tentang sosok suaminya ini. "Nggak jadi. Besok aja." "Katakan saja. Belum tentu besok saya ada waktu meladeni pertanyaan kamu." Vio tercekat. Dinginnya perkataan Ryota membuat mata Vio terbuka jika pernikahan ini mungkin sebuah kesalahan. Dia yang terlalu tidak peka selama ini. Salahkan dia yang terlalu berbunga ketika mendengar akan menikah dengan Ryota hingga buta terhadap kenyataan. "Kamu benci aku?" tanyanya takut. "Kenapa harus?" "Aku nggak tahu. Cuma kepikiran aja." "Kenapa bisa muncul pemikiran semacam itu?" Suara dingin Ryota membuat Vio bergidik tiba-tiba. "Takut aja kamu merasa terpaksa menikahi aku." "Terpaksa iya, benci tidak," jawab Ryota jujur. Dan sebuah pemikiran baru melintas dalam benak Vio. "Kamu punya pacar?" "Kenapa mau tahu?" Vio terdiam. Kenapa dia ingin tahu? Vio tidak bisa menjawab. Ryota menurunkan tangan yang menutupi matanya, menoleh sebentar ke arah Vio. "Tenang saja. Saya punya kekasih atau tidak, pernikahan ini akan tetap berjalan seperti keinginan almarhum papa kamu." "Jadi kalau bukan keinginan Papa, kita nggak mungkin menikah?" Tiba-tiba saja Vio ingin menangis. "Adakah alasan lain untuk kita menikah selain itu?" "Kamu benar." Vio mengangguk pasrah. Hatinya sakit menyadari bahwa dirinya tidak diinginkan. Melihat Vio termangu, Ryota menegur. "Sudah, jangan banyak berpikir. Jalani saja hidup kamu seperti biasa. Pernikahan ini hanya status saja, tidak akan mengubah apa-apa. Jadi tidak perlu dianggap penting." Vio masih tetap termangu. "Sekarang tidur, sudah sangat malam." Usai mengucapkan itu, Ryota berbalik menghadap sandaran sofa bed, hingga Vio hanya bisa menatap punggungnya. Jauh setelah Ryota terlelap, Vio masih terjaga. Dipandanginya sosok Ryota yang kini berbaring terlentang. Sosok yang ia kira akan bisa jadi tempatnya bersandar menggantikan ayahnya, ternyata begitu tidak terjangkau. Entah dorongan dari mana, Vio meraih selimut dan membawanya ke dekat Ryota. Diselimutinya pria itu, kemudian berjongkok di sebelah sofa bed, memandangi wajah lelap suaminya. "Aku harap pelan-pelan kita bisa dekat,” bisik Vio lirih. Lalu dengan takut-takut, tangannya terangkat untuk membelai wajah Ryota. “Dan kalau mungkin, kalau nggak terlalu ketinggian mimpiku ini, aku berharap suatu saat kamu juga bisa merasakan rasa yang sama dengan aku." Di akhir ucapannya, Vio tersentak. Pergelangan tangannya dicekal oleh Ryota. Lalu dalam sekejap pria itu bangkit kemudian berguling sambil mendorongnya. Tiba-tiba saja Vio sudah terdorong ke lantai, berbaring lurus dengan mata membelalak, sementara sosok Ryota ada di atasnya. "Siapa?" desis Ryota dengan nada mengancam. Vio gemetar ketakutan lalu berbisik lirih. "Ini aku ..., Vio." Ada desahan lega yang lepas dari bibir pria itu. Seketika Ryota melepaskan cekalan tangannya kemudian bangkit berdiri. "Mau apa?" Vio masih terlihat ketakutan. Sorot mata Ryota sesaat tadi begitu menakutkan. "Cuma mau kasih selimut. Ini dingin." "Tidak usah, kamu pakai saja.” Alih-alih mengucap terima kasih, Ryota malah menolaknya mentah-mentah. "Maaf bikin kamu bangun," bisik Vio lirih. Ryota mengulurkan tangan untuk membantu Vio berdiri. "Tolong jangan pernah diam-diam menyentuh saya lagi seperti tadi, kamu bisa berada dalam bahaya." "Maaf.” Vio mengangguk kaku. “Tapi kenapa reaksi kamu begitu?" "Saya sudah terlatih untuk begitu. Hidup sebagai pengawal papa kamu mengharuskan saya untuk selalu siaga." "Oke.” Vio mengerti. Ryota memang asisten sekaligus pengawal pribadi almarhum ayahnya. Sebagai seorang aktivis dan politikus, Devan Brajamusti kerap berada dalam bahaya, itulah sebabnya pria itu butuh pengawalan ketat. “Aku nggak akan kagetin kamu lagi." Ryota tidak menanggapi lagi kata-kata Vio. Ia hanya berjalan menjauh, mengambil minum, kemudian menyambar jaket. "Kamu mau ke mana?" tanya Vio heran. "Keluar." "Ini masih tengah malam." "Saya tidak bisa tidur lagi. Kamu saja lanjutkan tidur." "Boleh aku ikut?" Entah keberanian dari mana yang membuat Vio bertanya demikian. "Tidak. Saya ingin sendiri.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD