BAB 3

1121 Words
    Hari ini subuh sekali Suamiku sudah pergi. Seperti biasa,  dia tidak memberitahuku mau kemana atau sekedar berpamitan. Ku hembuskan nafas pelan. Sebenarnya hatiku sangat lelah menghadapi sikapnya,  tapi aku sudah menerima apapun konsekuensinya dari awal.     “Kamu tetangga baru yah?” Aku terlonjak kaget mendengar laki-laki di sebelah kembali mengajakku berbicara.     “Iyah.” Jawabku singkat.  Ku percepat kegiatan menjemur pakaian,  ingin segera masuk dan tidak perlu menanggapinya terlalu lama.     “Namaku Dima,salam kenal.  Kamu siapa?” Ucapnya ramah.  Sebenarnya mungkin dia bukan orang jahat,  tapi aku takut Adrian marah jika aku berkomunikasi dengan orang luar.     “Lisa.” Ujarku singkat kemudian beranjak masuk membawa ember tempat cucian tadi.     “Salam kenal Lisaaaa..” Masih kudengar teriakannya dari luar.  Tanpa sadar aku tersenyum,  dia sepertinya pribadi yang ceria terlihat dari nada bicaranya. Mungkin saja aku boleh sedikit berharap bisa memiliki seorang teman seperti dia. Ku hembuskan nafas pelan,  seandainya aku berhak mengharapkan sesuatu.     Brakk!!     Adrian masuk dengan raut wajah kesal.  Dia berjalan mengabaikanku menuju kamarnya.     “Lisa, dimana kau letakan dasiku yang berwarna maroon?” Teriaknya dari dalam kamar. Ku hembuskan nafas pelan sambil berjalan menghampirinya.     Dia sedang mengacak-acak lemari yang susah payah aku rapikan.  Ku buka laci bawah dan memberikan dasi yang dia cari tanpa berbicara sedikitpun.  Kemarin dia mengatakan sangat membenci suaraku, dan tidak ingin mendengarnya lagi.     “Apa seperti ini kelakuanmu kepada suami?” Aku menatapnya heran.      “Apa aku terlihat seperti tembok dimatamu?  Kalau aku bertanya jawab! Jangan diam saja seperti orang bisu!” Benarkan,  aku salah lagi. Dimatanya aku tidak pernah benar.     “Sebenarnya apa maumu?” Entah kekuatan darimana aku berani mengatakan ini. Dia menaikan satu alisnya sambil memandangku tidak suka.     “Kau bilang tidak suka suaraku,  karena itu aku tidak berbicara.  Katakan padaku apa yang harus aku lakukan?  Aku tahu aku salah,  tapi kamusudah keterlaluan.” Air mataku sudah ada dipelupuk mata. Dia menghembuskan nafasnya kasar, sambil memandang penuh kebencian.     “Kalau sadar kau salah kenapa tidak menolaknya?” Ucapnya dingin. “KENAPA KAU MENGHANCURKAN HIDUPKU!” Teriaknya.     “Aku tidak bisa menolaknya.” Dia tertawa mengejek sambil bersedekap memandangku.     “Kenapa?  Uang yang diberikan ibuku terlalu menyilaukan?  Begitu kan?” Aku memandangnya penuh kesakitan. Menjelaskannya pun aku rasa akan percuma.     “Ayo kita buat perjanjian.” Entah darimana asalnya hingga akhirnya aku mengucapkan kalimat itu. Ku hapus segera air mata yang mulai menetes.     “Kalau kau mengurungku disini bagaimana aku bisa mengganti uangmu? Biarkan aku bekerja dan aku akan mengganti uangmu sedikit demi sedikit. Aku tidak akan mengusik kehidupan pribadimu,  begitu juga kau tidak boleh mengusik kehidupan pribadiku. Ayo kita jalani hidup kita masing-masing! Sampai kau berhasil meyakinkan ibumu dengan pilihanmu. Maka kita akhiri semuanya. Bagaimana? Aku akan bantu meyakinkan ibumu tentang Nancy juga agar semua cepat selesai.” dia tampak berfikir menatapku.     “Baiklah,  tapi aku butuh hitam diatas putih untuk memastikan kau tidak akan ingkar.” Aku mengangguk.     “Baik,  kau buat perjanjiannya, aku akan menandatanganinya.” Ucapku mantap.  Sebaiknya memang seperti ini,  aku tidak suka terus menerus bertengkar dengannya.     “Baiklah,  aku harus pergi sekarang.  Nanti malam aku bawa surat perjanjiannya.” Ujarnya sambil melangkah dengan tergesa. Ku hembuskan nafas lega. Yang harus aku fikirkan sekarang adalah bagaimana mencari pekerjaan.  Karena aku harus mendapatkannya sesegera mungkin. ***     Setelah aku fikir lebih dalam,  ide Lisa ada benarnya juga.  Tapi tentu saja aku tidak boleh lengah menghadapi sifat liciknya,  harus ada hitam diatas putih untuk memastikan bahwa dia tidak akan ingkar dengan perjanjian itu.     “Baby,  kita sudah hampir terlambat.” Suara lembut itu membuatku tersenyum.  Dia tampak cemas menungguku mengambil dasi yang tertinggal.     “Iya sayang,  ayok!” Dia tersenyum lembut.  Aku melajukan mobil dengan cepat,  hari ini ada acara amal di dekat panti asuhan tempat Nancy sering berkunjung. Dan pacarku yang manis ini ingin aku mengenakan dasi maroon,  agar serasi dengan setelan bajunya.  Padahal dia sudah memberitahuku dari kemarin tapi aku lupa,  karena buru-buru ingin keluar dari apartemen itu. Entahlah,  berada satu atap dengan perempuan itu membuatku kesal.     Suasana di tempat amal sudah ramai ketika kami sampai. Seperti biasa, gadisku tampak begitu riang dan tersenyum lebar melihat anak-anak panti berlarian dengan pakaian terbaik mereka. Panti asuhan kasih ibu memang sudah seperti rumah kedua bagi Nancy.  Gadisku yang baik hati ini,  kerap kali menghabiskan waktu liburnya di tempat itu. Untuk sekedar mengajak anak-anak bermain atau mengajari mereka beberapa mata pelajaran. Dan sekarang panti asuhan itu,  sedang melakukan acara amal yang memang selalu diadakan setiap tahun sekali untuk menarik lebih banyak donatur.  Aku adalah salah satu donatur tetap disini.  Sebenarnya mereka tidak kekurangan hal apapun,  tapi mengingat kebutuhan anak panti yang semakin lama semakin besar,  perlu ada donatur baru untuk memastikan mereka tidak kekurangan.     “Baby,  kenalin ini Dino. Dia temanku dari aku masih kuliah.  Dino kenalin ini Adrian kekasihku.” Kami bersalaman dan entah kenapa aku seperti pernah melihat laki-laki ini tapi dimana.     “Dino.”     “Rian.” Ucap kami hampir bersamaan. Dia menatapku seperti menyelidik,  aku sedikit tidak suka dengan itu.  Terlebih lagi Nancy menggandeng tangannya menuju stand para panitia setelah sebelumnya berpamitan denganku. Aku sendiri tidak mengerti,  tapi seperti ada aura persaingan di dalam dirinya.     “Adrian! Kamu disini? Lisa mana?”     Deg! Suara itu?  Aku berbalik dan benar saja ada ibuku berdiri dibelakang dengan setelan rapi dan elegan seperti biasanya. Aku tersenyum padanya dan dia mendekat.     “Baby,  ayo ke stand sebelah sana,  disini panas.” Suara Nancy membuat kerutan di dahi ibuku semakin jelas terlihat. Wanita itu menghampiriku dan langsung terdiam melihat siapa yang ada di hadapanku.     “Tan-tante!” Ucapnya gugup.  Aku seperti kehilangan suaraku entah kemana. Ibuku memandang dasi yang aku kenakan kemudian berganti melihat kemeja yang Nancy kenakan.     “Jadi seperti ini kelakuanmu? Dan kau perempuan murahan,  harus berapa kali saya katakan. Jangan dekati anakku! Dia sudah beristri. Apa sudah menjadi hobby mu merusak rumah tangga orang lain?” Aku benar-benar tidak habis fikir bagaimna ibuku bisa berbicara sekasar ini pada Nancy.     “Mama cukup!” Ucapku sedikit berteriak. Aku lihat beberapa orang di sekeliling sudah melihat ke arah kami karena suara ibuku yang sedikit keras tadi.  Nancy sudah berkaca-kaca dengan wajah merah padam menanggung malu. Ibuku benar-benar sudah keterlaluan.     “Jadi kamu bentak mama demi belain perempuan ini?” Ucap ibuku pelan tapi syarat makna kebencian.     “Bukan seperti itu ma,  mak-”     “Dia bahkan membuat kamu jadi anak durhaka Adrian, dan kau masih membelanya?” Ku hembuskan nafas lelah,  jika ada yang lebih sulit dari soal matematika,  itu adalah berdebat dengan ibuku.  Dia sangat pandai membalikan keadaan seolah aku yang sangat bersalah.     “Tidak pa-pa Adrian,  biar aku pergi saja.  Kau pulanglah bersama mamamu.” Ucap Nancy serak sambil berjalan meninggalkan kami.     “Baguslah kalau kamu tahu diri!” Ucap ibuku lagi.     “Mah,  tolong jangan seperti ini!” ***            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD