BAB 2

812 Words
    “Tidak usah buatkan aku sarapan! Aku benci bau masakanmu.” Adrian membanting piring berisi nasi goreng yang baru saja aku masak. Aku diam di samping meja makan sambil menghapus air mata yang mulai menetes.     “Air matamu tidak akan merubah apapun, jadi berhentilah menangis! Kau membuatku semakin muak saja.” Dia menyambar tas kantornya dan keluar sambil membanting pintu dengan kencang.Aku merosot jatuh ke lantai sambil masih sesenggukan menahan sesak di d**a. Dia sebenci itu denganku. Aku membersihkan pecahan piring dan nasi goreng yang berantakan di lantai sambil sesekali menyeka air mata yang anehnya tidak mau berhenti.     Hari ini seperti biasanya,  aku menghabiskan waktu di dalam apartemen.  Karena setiap hari Adrian akan mengunci pintunya dari luar. Dia tidak mengizinkan aku keluar dari apartemen ini. Tidak memperbolehkan aku bergaul dengan teman-temanku seperti dulu. Hanya jendela tempatku melepas penat.  Disana aku bisa menikmati indahnya kota Jakarta  dan ada balkon tempatku menjemur pakaian.Ponselku bergetar,  ada nama adiku disana.  Aku segera mengangkatnya panik. Aku sedikit paranoid setiap manerima telpon darinya.  Takut keadaan adik kecilku memburuk.     “Halo Dik,  ada apa?” Ucapku memburu.  Dika adalah adikku yang besar. Dia sudah duduk di bangku kuliah sekarang.  Dan selama aku menikah dengan Adrian dia bertugas menjaga Reka adiku yang paling kecil.  Kondisi kesehatannya tidak terlalu baik. Jadi dia butuh pengawasan yang ekstra.     “Gak papa mbak,  cuma mau tahu keadaan mba Lisa aja. Gimana mbak,  jadi pengantin baru?  Ada manis-manisnya gitu yah?” Dia terkekeh disebrang sana dan aku menekan dadaku menahan sesak.     “Iya gitu deh.” Jawabku lelah sambil berusaha menahan getaran di suaraku.     “Reka sehat kan? Gimana kesehatannya pasca operasi kemarin?” Aku mengalihkan pembahasan pengantin baru yang pasti akan dilanjutkan Dika.     “Sehat mbak Alhamdulillah. Kali ini tolong bahagia ya mbak! Berhenti mikirin kebahagiaan kami sampai mbak lupa buat bahagia.”Aku mencoba tertawa walau mungkin terdengar aneh.     “Mbak selalu bahagia kok,  jaga adik kamu baik-baik ya Dik! Mbak tutup dulu telfonnya. Assalamu'alaikum.”     “Iya mbak,  wa'alaikumsalam.”     “Cewe cantik kalau nangis jadi jelek.” Aku menghapus air mata di pipiku dan mencari asal suara barusan.Di balkon sebelah ada seorang laki-laki sedang bersandar pada tembok, memperhatikanku sambil tersenyum. Aku segera merapikan jemuran bajuku dan masuk ke dalam rumah.     “Nona jangan takut,  aku bukan orang jahat!” Teriaknya. *** Adrian pov.     Menikah dengan perempuan yang paling aku benci di muka bumi ini adalah seperti masuk kedalam lubang kesengsaraan.  Setiap hari harus melihat wajah jeleknya. Rasanya aku ingin pindah planet saja daripada setiap hari harus berinteraksi dengan orang yang ku benci.     Dia adalah teman dari pacarku sendiri. Tapi entah kenapa sejak awal bertemu dengannya aku sudah tidak menyukainya. Dia gadis yang sedikit aneh menurutku.  Suka menyendiri dan jarang bicara. Gaya berpakaiannya juga norak. Mungkin aku sudah melakukan penghianatan pada negara di kehidupan sebelumnya,  sehingga aku harus dihukum dengan menikahi wanita paling tidak aku inginkan di dunia ini.     Terlebih lagi alasanyya menikah denganku yang membuatku ingin sekali menenggelamkannya di rawa-rawa.  Apalagi kalau bukan Uang, gadis miskin itu tentu saja tergiur dengan tawaran uang dari ibuku yang entah kenapa mau saja ditipu oleh tampang sok baikknya itu. Tapi lihat saja,  dia tentu saja akan mendapatkan pelajaran karena telah berani bermain-main denganku.     “Kenapa ngelamun gitu?” Nah yang ini kekasihku.  Wanita paling baik dan lembut yang pernah aku kenal. Namanya Nancy. Aku pertama kali bertemu dengannya ketika ada acara penggalangan dana di alun-alun kota untuk anak-anak terlantar di sebuah Panti Asuhan.  Dia berdiri dengan berani di bawah terik matahari mencari donatur. Sejak saat itu,  aku jatuh Cinta padanya. Wanita yang penuh pengertian dan menawan.  Bahkan teman-temanku iri ketika aku memperkenalkan dia pada mereka. Pokoknya dia adalah kekasih yang membanggakan.     “Gak papa sayang,  cuma males pulang aja ada dia.”  Kataku jujur. Dia menghembuskan nafasnya pelan. Aku sangat tahu semua ini juga berat untuknya. Tapi dia adalah gadisku yang kuat dan pemberani.  Dia bahkan datang  ke resepsi pernikahanku dengan berani.     “Bagaimanapun dia istri kamu.” Ucapnya lirih. Tunggu dulu,  aku tidak suka nada bicaranya. Seolah menyuruh aku untuk menerima perempuan itu.  Tidak akan pernah terjadi!  Sampai kapanpun. Lebih baik aku mati dar ipada harus menerimanya.     “Dia hanya menjadi istriku dalam status bukan dalam artian yang sebenarnya. Aku tetep mau kamu yang akan menemaniku sampai tua nanti.” Ucapku tegas tanpa mau dibantah.     “Baby,  mama kamu gak bakalan setuju. Kamu tahu sendiri dia sangat tidak menyukai aku.  Entah apa kesalahanku padanya.” Aku menatapnya lekat dan mengusap rambut halus yang terlepas dari jepitan rambutnya sehingga sedikit menutupi dahinya.     “Pelan-pelan,  kita coba yakinkan mama aku,  oke!  Ada aku bersamamu, jadi jangan pernah takut! Kamu tahu aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Senyumnya terbit. Itu adalah bagian yang paling aku suka darinya. Sangat elegan,  lembut dan hangat. Bahkan sampai menyentuh kedalaman hatiku.     “Iyah,  ayok kita coba!”  Ucapnya lembut sambil memeluk lenganku dan bergelayut manja di pundakku seperti biasanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD