2

1742 Words
Aku memasuki kamar saat jarum jam menunjuk angka lima. Sudah sore dan aku harus segera mandi karena menurut jadwal, hari ini mama dan papa akan pulang setelah berlibur honeymoon. Terkadang aku heran, sudah belasan tahun orang tuaku menikah namun setiap tahun sudah ada jadwal rutin mereka untuk liburan berdua. Aku terkadang juga berfikir, mereka sudah cukup lama berumah tangga dan kegiatan seperti itu biasanya hanya dilakukan para pengantin baru tetapi berbeda dengan orang tuaku. Mama dan papa bahkan rela mengambil jatah cuti untuk liburan satu Minggu mereka. Mama selalu bilang padaku, hal seperti itu perlu dilakukan untuk menjaga keharmonisan pasangan suami istri. Aku hanya mengangguk saja karena belum berfikir sampai kesana. Selesai mandi aku menuruni tangga menuju dapur, turut membantu simbok dan mbak Siti yang sedang memasak makanan sesuai dengan permintaan mamaku. "Masak apa mbok?" tanyaku sembari mendudukan p****t di kursi bar. "Sayur lodeh, telur dadar sama kerupuk udang permintaan nyonya. Tambahan perkedel kentang sama sambel permintaan tuan." "Non istirahat aja sana, biar simbok sama Siti yang masak," sambung simbok lagi saat melihat aku bangkit berdiri menuju ke arah perempuan paruh baya itu. "Enggak ah, aku mau bantu masak aja mbok. Sekalian belajar biar pas nikah nanti gak kagok pegang pisau," balasku dengan tawa renyah. Sebenarnya ini hanya alasan, karena aku sendiri sudah mahir memasak bahkan saat masih di sekolah dasar. "Tadi non pulang sore tho? Apa gak capek itu badannya?" "Udah biasa mbok, sini aku bantu potong sayurnya ya," ucapku sembari mengambil beberapa sayur untuk ku kupas terlebih dahulu. Memasak adalah salah satu hal yang ku kuasai. Setiap libur sekolah, dapur akan menjadi kawasan pribadiku. Disini aku bisa bebas bereksperimen menciptakan menu-menu baru, tak jarang juga aku melihat resep dari internet dan hasil makanannya akan aku kirim pada Elvan untuk dicicipi. Selama ini komentar yang ku terima sangat memuaskan membuatku bertambah semangat untuk menguasai makanan yang lainnya juga. Aku juga pernah bercerita padanya, suatu saat nanti aku ingin membuka restoran sendiri dengan menu yang selama ini menjadi andalanku. "Akhirnya matang semua. Mbak mandi aja, ini biar aku pindahin ke meja makan " ucapku pada mbak Siti saat dia sibuk mencuci perkakas bekas memasak kami tadi. "Gapapa non? Kalau begitu mbak kebelakang dulu ya," pamitnya sebelum berlalu dari dapur menuju pavillium belakang. Selesai semua aku memilih menuju kamar untuk menyelesaikan penulisan novelku yang tinggal melanjutkan bagian akhir. Jangan tanya kenapa hariku terasa padat, karena aku memang paling tidak suka diam tanpa melakukan apapun, kecuali saat moodku menurun aku hanya akan memilih diam. Aku selalu mencari kesibukan dan melakukan banyak hobi saat luang seperti sekarang ini. Bunyi ponsel mengalihkan perhatianku dari layar laptop, menggeser tanda hijau aku mengangkat panggilan yang baru saja masuk. "Selamat malam," balasku pada lawan bicara di seberang sana. "Kebiasaan banget harus aku dulu yang hubungin," gerutu Elvan yang masih bisa ku dengar dengar jelas. Aku yakin dia sedang menahan kesal diseberang sana. Tadi sepulang sekolah dia memintaku untuk menelfonnya terlebih dahulu, tapi dasar aku pelupa sampai rumah dan sampai sekarang pun jika dia tidak telfon duluan aku tidak ingat lagi. "Maaf, lupa. Seriusan," aku meringis merasa bersalah, tak sekali dua kali aku melakukan kesalahan seperti ini hingga terkadang membuat Elvan bosan dan memilih tak memedulikan maafku. "Nanti malem jam tujuh aku jemput. Kita makan malam," ucapnya dengan nada tegas. "Van, jangan ngadi-ngadi deh. Nanti malem mama papaku pulang," balasku kesal, tadi pagi aku sudah membicarakan kepulangan mamaku. Dan sekarang dia dengan seenak dengkul mengajakku keluar. Cari penyakit memang. "Astaga Ai, kapan sih kamu nurutin mauku," ucap lelaki itu bosan. "Besok deh aku janji. Malam ini aku beneran gak bisa. Maaf banget ya." "Jangan ingkar. Awas aja kalau bohong gue seret biar lo ikut," ancam Elvan. "Lo gue nihh," ucapku menggoda. Aku dan Elvan memang sudah menyetujui sebelumnya dengan panggilan aku kamu dibanding Lo gue. Bagiku, aku kamu lebih nyaman digunakan mengingat status kami bukan sekedar teman. Aku menaruh ponsel di atas nakas setelah mengucapkan salam dan menyetujui usulnya untuk kami keluar besok. Malam ini sepertinya aku akan tidur dengan nyenyak. ***** Hari Minggu adalah hari yang paling kutunggu-tunggu karena menyenangkan namun juga menjengkelkan karena bersebelahan dengan hari Senin. Pagi ini aku sudah berada di taman, sebelah tanganku memegang selang air untuk aku siramkan pada bunga- bunga peliharaan mama. Bunga disini di d******i bunga mawar merah karena mamaku memang penggila jenis bunga itu. Berawal dari iseng ikut mama berkebun alhasil saat ini mengoleksi bunga menjadi salah satu hobi baruku. "Masuk kak, mandi sana. Di bawah ada cowok ganteng nunggu kakak katanya," Mamaku berteriak dari arah dapur, kontan saja aku langsung menggulung selang air dan masuk kedalam rumah menghampiri mama yang saat ini sibuk memasak. "Siapa ma? Kakak gak ada janji sama siapa-siapa kok," ucapku. "Mama gak tau tapi tadi ngakunya temen kakak. Dia ganteng lho kak," Aku mendengkus. Mama memang pandai menggoda. "Mama suka berondong?" tanyaku asal, karena tak biasanya mama memuji orang seperti ini. Pantas dong aku curiga. Setelah mencuci tangan aku segera menuju ruang tamu, ingin tahu siapa pagi-pagi begini sudah bertamu di rumah orang. Karena memang sebelumnya tak ada yang menghubungiku untuk main ke rumah. "Elvan. Ngapain pagi-pagi bertamu?" Aku mengerutkan kening binggung, pacarku itu sudah rapi dengan sweater hitamnya berbanding terbalik dengan aku yang masih berdaster dan belum mandi. "Ada yang mau ketemu kamu. Udah sana mandi keburu siang," ujar lelaki itu seenaknya. "Isssh, siapa yang mau ketemu. Lagian masak pagi-pagi begini." "Makanya kamu mandi dulu, nanti tau sendiri pas udah sampe." Bukannya menjawab Elvan malah membuatku semakin bingung. Aku tak akan pergi tanpa kejelasan begini. "Aku gak mau mandi kalau kamu gak bilang siapa yang mau ketemu aku," ujarku kesal, apa susahnya sih sebut nama. Kalau pake rahasia begini serius bikin aku kesal. Elvan menghembuskan nafas sejenak sebelum membalas pertayaanku tadi. "Mama aku yang mau ketemu, mangkanya kamu mandi dan dandan yang cantik," Daripada berdebat aku memilih melangkahkan kakiku menuju lantai atas, seperti ucapan Elvan tadi. Aku akan langsung mandi. Tidak mungkin kan bertemu calon mertua dengan keadaan begini. Bisa-bisa belum kenalan aku sudah di blacklist dari calon mantu. Amit-amit. "Aku cantik gak?" Tanyaku pada Elvan, tidak seperti biasanya karena pagi ini aku memilih memakai gaun dengan motif bunga-bunga kecil. Mungkin Elvan heran karena hanya diam saja saat aku mintai pendapat. Apakah aku terlihat aneh? "Aku jelek ya?" ucapku lesu, Elvan masih saja menatapku tanpa mengatakan apapun. "Ehh.. e.. enggak, kamu malah cantik banget dandan feminim begini," ujar lelaki itu setelah mengerjabkan mata beberapa kali. Aku tersipu malu, karena jujur saja Elvan jarang sekali memujiku. Seingatku malah tidak pernah, saat aku meraih juara satu di kelas pun dia hanya diam saja tak mau repot-repot mengucapkan selamat. Memang dasar gak peka. Setelah berpamitan pada mama aku dan Elvan segera menuju mobil. Jujur aku gugup karena ini kali pertama bertemu mama Elvan. Aku takut beliau tak menyukaiku. "Kamu ngapain tegang begitu Ai. Takut ya ketemu calon mertua," goda Elvan yang semakin membuatku berfikir macam-macam. "Eng,.. gak kok. Aku cuma laper aja jadi begini," ujarku gugup, mana mau aku jujur kalau aku memang sedang gugup. Elvan hanya mengangguk mengiyakan dan memilih fokus pada kemudi. Setelah mobil berhenti yang kurasa di depan rumah orang tua Elvan, kami segera turun dan berjalan beriringan menuju rumah tersebut. Rumah ini kelihatan asri dikelilingi banyak bunga dan pohon hijau. Persis seperti rumahku yang lebih cocok dibilang taman karena halaman yang dipenuhi dengan bunga. "Mama," sapa Elvan pada perempuan setengah baya yang membelakangi kami, sepertinya sedang sibuk menata makanan mengigat kami sedang berdiri di depan meja makan. "Loh Elvan, susah sampai ternyata." "Ini toh pacar Elvan. Cantik banget kamu sayang," ucap mama Elvan sembari tersenyum ramah dan langsung mencium kedua belah pipiku. "Sini duduk sayang," sambung beliau lagi dan menarikkan kursi untukku. "Maaf ngrepotin tante," ucapku tak enak merasa tidak sopan karena beliau melayaniku seperti ini. "Tante malah seneng Elvan bawa kamu ke sini. Sudah lama sebenarnya Tante nyuruh anak itu bawa pacarnya ke rumah. Tapi cuma iya-iya aja." "Eh baru ke sampean sekarang. Untungnya hari ini Tante juga libur jadi kita bisa ngobrol lama nanti," lanjut mama Elvan lagi. Aku fikir mama Evan ini tipe ibu-ibu yang ramah dan baik hati, melihat bagaimana sambutan beliau terhadapku dan senyum manis yang tak lepas dari bibirnya. Persis seperti mamaku. Padahal ini pertemuan pertama kami. Kupikir ke dua mama itu akan klop jika dipersatukan. Pasti akan heboh dan ramai. "Ini Tante masak rendang, kata Elvan kamu suka rendang ya?" "Suka Tante. Tapi maaf jadi ngrepotin tente begini." "Tante malah seneng kok masakin kamu. Sama sekali gak ngrepotin." Setelahnya kami sibuk dengan makanan masing-masing. Selesai makan aku membantu mama Elvan membereskan meja makan dan mencuci piring. Sebenarnya Tante Riri sudah melarang ku, tapi tak enak karena aku merasa merepotkan kalau tidak membantu apapun. "Lili sudah kenal lama ya sama anak Tante?" Tanya Tante Riri saat kami duduk berdua di taman belakang. Tante tadi memang memintaku untuk ngobrol dulu membicarakan seputar wanita. Mangkanya Elvan tidak ikut dan memilih masuk kamar, sibuk dengan urusannya sendiri. "Dari kelas satu SMA tan," jawabku. "Berarti belum lama ya. Tapi pacarannya dari kapan kalau Tante boleh tahu?" tanya mama Elvan lagi. Aduh aku takut pembahasan ini akan berlanjut sampai episode-episode berikutnya. "Belum lama sih Tan, baru 3 bulan ini. Tapi kita Deket dari kelas 2 SMA." "Tante seneng deh akhirnya anak Tante bawa pacarnya ke rumah. Tante dulu mikir Elvan ada kelainan karena yang Tante lihat Elvan gak Deket sama cewek manapun. Jadi pikiran Tante udah kemana-mana." Aku tergelak sembari menutup mulutku dengan kedua tangan. Merasa tak enak sebenarnya tapi bagaimanapun aku tak bisa menahan tawa. Jujur saja ucapan Tante Riri membuatku tergelitik. Bagaimana bisa mama Elvan sendiri meragukan anaknya sedangkan Elvan bucin parah padaku. "Lili juga sering denger begitu Tan. Temen-temen dikelas Lili sering ngomongin Elvan. Mereka juga curiga kayak Tante karena Elvan emang kelihatan gak pernah dekat sama cewek. Maaf ya Tan," ucapku tak enak. "Nah kan. Bukan Tante aja berarti yang mikir begitu. Itu anak memang susah bergaul Li. Tante kadang sampe kewalahan menyikapi Elvan." "Dia itu sebenarnya kaku dan gak mudah disentuh. Hanya dengan kita saja anak itu lebih berekspresi dan manja," sambung Tante Riri lagi. Aku membenarkan ucapan beliau, Elvan memang terkenal dengan pribadi dingin dan kaku dilingkungan sekolah. Tak jarang murid yang lain enggan berurusan dengan laki-laki itu karena pembawaannya yang arrogant. Pembicaraan itu berlanjut dan nyambung ke mana-mana. Tante Riri adalah pembicara yang handal, tak heran karena melihat bagaimana Elvan begitu menyayangi mamanya. Beberapa fakta yang bisa ku simpulkan adalah mama Elvan yang memiliki sikap hangat dan ramah berbanding terbalik dengan anaknya yang super duper menjengkelkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD