bc

HIMAWARI

book_age12+
470
FOLLOW
1.6K
READ
drama
sweet
humorous
serious
mystery
like
intro-logo
Blurb

perkenalkan namaku Alina Maheswari, orang orang biasa memanggilku Lili. Kehidupan yang kujalani seperti remaja pada umumnya, disibukkan dengan sekolah dan urusan asmara.

Kukira jalan hidupku akan seperti orang-orang pada umumnya, nyatanya banyak sekali rahasia terungkap yang menyakitiku sedikit demi sedikit. keluarga, teman, saudara bahkan cowok yang hatiku berikan untuknya tak mampu ku percayai lagi saat-saat terberat dalam hidupku hadir menyapa.

Mereka yang kuanggap sebagai pengobat dan pelindung saat badai menerpa tak selebihnya adalah tokoh pencipta luka itu sendiri.

Dari sanalah aku belajar, bahwa tak ada yang perlu aku percaya kecuali diriku sendiri.

chap-preview
Free preview
1
Di awal remaja ini banyak sekali kejadian yang menyapa hariku. Ku kira aku akan kesulitan melewatinya, tapi nyatanya kekhawatiran itu tidak pernah terjadi karena hanya ketakutanku saja. Hidup yang awalnya damai dan terasa biasa saja mendadak menciptakan pilu saat satu persatu rahasia terungkap. Bukan, bukan kebahagiaan yang ku dapatkan melainkan sebaliknya. Hari-hariku tak lagi sama, hidupku juga berjalan diluar kendaliku. Namun dari sana aku belajar bagaimana menyikapi berbagai gejolak yang menganggu batinku, dari sana pula aku tersadar bahwa tak selamanya hidup akan berjalan dengan mulus penuh kebahagiaan dan sesuai keinginan. Terkadang dan tak jarang ada kerikil yang menghalangi. Namun aku bersyukur, kejadian demi kejadian yang ku alami mengajarkan betapa pentingnya mengandalkan diri sendiri. Nyatanya, tak ada yang bisa kita percayai kecuali diri kita sendiri. Alina Maheswari. Aku merapatkan jaket saat angin dan rintik hujan mulai berjatuhan ke bumi, berlari secepat mungkin menuju halte aku berharap disana bisa berteduh sembari menunggu kedatangan bus yang biasanya aku tumpangi. Aroma petrichor akibat air yang membasahi tanah menguarkan aroma khas hujan, aku sendiri merapatkan jaket saat hawa dingin mulai merambat menerpa kulit. Aku menunduk menyapa hujan dengan mengulurkan tangan kananku menerima tetesan air dari atap halte. Suasana sore ini tidak seramai biasanya karena memang aku pulang terlambat setelah melakukan piket seorang diri. Hanya ada beberapa orang yang menunggu bus sepertiku dan sibuk dengan ponsel mereka masing-masing, mungkin mengabari keluarga di rumah karena pulang terlambat akibat terjebak hujan. Dari berita yang kudengar, beberapa wilayah di Jakarta mengalami banjir hingga berakibat beberapa bus terjebak dan harus mencari jalan pintas akibat jalan yang biasa dilewati tergenang air. Mungkin ini salah satu alasan juga kenapa bus tak kunjung datang seperti hari biasanya mengingat sepanjang malam tadi hujan mengguyur ibukota. Menghembuskan nafas pelan aku mencoba merilekskan diri, setelah tadi menjalani praktek olahraga yang tak ringan ditambah piket membersihkan toilet seorang diri membuat tubuhku benar-benar merengek meminta diistirahatkan. Namun apalah daya, aku harus menunda keinginan tersebut mengingat saat ini aku belum sampai rumah. Tin Tin Tin Bunyi klakson mobil mengalihkan perhatianku dari kegiatan mengigiti kuku-kuku jari, aku bangkit berdiri saat melihat mobil yang tak asing berhenti tepat didepan halte. "Ayo masuk Ai, keburu malam," ucap seseorang dibalik kemudi. Aku menengok kanan kiri mengamati keadaan sekitar, takut-takut kejadian ini diketahui salah satu siswa Bintara. "Masuk. Nunggu apalagi," ucap seseorang itu sekali lagi dengan suara lebih keras, mengimbangi suara hujan yang turun semakin deras. Aku masih berdiri di tempat saat Elvan menarik tanganku tak sabar untuk masuk ke mobil dan didudukkan di kursi samping kemudi. "Kenapa gak denger omonganku. Kamu gak tuli kan Ai?" Laki laki itu berbicara dengan gerutuan kasar sebelum mengemudikan mobil meninggalkan halte sekolah. "Kenapa gak telfon minta dijemput? Buat apa kamu punya hp mahal kalau saat-saat begini gak kamu gunain," omel Elvan lagi, kali ini cowok itu menoleh sinis ke arahku. Aku memilih diam karena tak tau harus menjawab apa. Toh kurasa juga percuma saja. "Kenapa diem terus? kamu sakit gigi?" Tak pelak ucapannya itu membuatku terkikik geli yang malah dibalas Elvan dengan hembusan nafas kasar. "Aku gak mau ngrepotin. Kamu pasti capek habis nganter Adel tadi," sindiriku. "Aku naik mobil Ai bukan ngayuh becak yang harus ngeluarin banyak tenaga," balasnya berdecak kesal. "Aku gak bilang kok kamu ngayuh becak," balasku tak kalah menjengkelkan. "Berdebat sama kamu bener-bener buat aku cepet tua," balasnya sekali lagi Aku mengulum senyum geli, membuat Elvan jengkel adalah salah satu kebahagiaan tersendiri buatku. Melihat wajahnya yang ditekuk masam ditambah ekspresi yang hanya bisa kulihat benar- benar merupakan hiburan tersendiri. Kapan lagi aku melihat ketua Basket Bintara berekspresi seperti ini, Elvan yang dikenal diluar adalah Elvan yang tegas dan penuh wibawa bukan Elvan yang menyebalkan sekaligus menggemaskan saat bersamaku seperti sekarang ini. "Maaf ya buat kamu khawatir. Aku beneran gak kepikiran tadi. Jadi lupa hubungin kamu," ucapku merasa bersalah. Aku berusaha merayunya, ini bukan kebohongan karena aku memang tidak ingat untuk membawa ponsel ke sekolah. "Besok-besok gak usah bawa hp. Kamu pakai telepati buat komunikasi sama aku," Balasnya sengit saat mobil berhenti di depan gerbang rumahku. "Gak ah, aku merem aja kamu tau kalau aku belum sampe rumah," ucapku dengan senyum geli diakhir kalimat. "Kamu selalu bikin aku gak bisa marah terlalu lama Ai," Balasnya disertai tangan Elvan yang mengacak rambutku gemas. Aku suka sekali melihat ekspresi wajahnya yang menahan kesal seperti ini. "Sana masuk. Langsung mandi, keramas sekalian biar kamu gak sakit, rambut kamu basah soalnya," sambungnya setelah menyodorkan payung lipat padaku. Aku hanya mengangguk dan mengucap terima kasih sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil mewahnya. ***** Aku sedang mengeringkan rambut dengan handuk saat ketukan pintu kamarku terdengar. Segera aku bangkit berdiri dan memutar kenop untuk membuka pintu yang memang selalu aku kunci dari dalam. "Bella, ada apa?" Tanyaku dengan nada lembut. "Ada temen kakak nunggu di ruang tamu," jawabnya terdengar malu-malu. "Temen kakak siapa?" tanyaku lagi. "Bella gak tau, tapi kayaknya temen sekolah kakak," balas gadis itu mengedikkan bahu tak yakin. "Yaudah sebentar lagi kakak turun," ucapku, berjalan meninggalkan adikku untuk menaruh handuk di kamar mandi dan memilih mengeringkan rambut dengan hair dryer. Setelah selesai aku segera menuju ruang tamu, sedikit heran karena tidak biasanya ada temanku yang datang ke rumah tanpa bilang terlebih dahulu. Itu pun sebenarnya hanya beberapa teman saja yang tahu alamat rumahku. "Loh kok disini?" tanyaku heran, tadi bukannya laki-laki ini sudah pulang ke rumah ya. "Pertanyaan kamu bikin aku ngerasa kayak orang asing Ai," ujar Elvan, kali ini wajahnya benar-benar terlihat kesal. "Lagian kamu kesini gak bilang dulu. Ada apa sih?" Tanyaku lagi kepo. "Gimana aku mau bilang. Hp kamu aja ketinggalan di dasboard mobil aku" ucapnya mengulurkan ponsel milikku yang sudah mati kehabisan batrei. "Oh. Aku lupa" balasku meringis kecil. Salah satu penyakit yang susah ku sembuhkan adalah lupa. "Aku buatkan minum dulu ya. Kayaknya mbak lagi di belakang deh jadi gak tau ada tamu." "Gak usah aku langsung pulang aja. Badanku lengket belum ganti seragam," ucap laki laki itu seraya bangkit dari kursi. "Besok aku jemput ya, inget gak ada penolakan. Udah capek aku ditolak terus," ungkapnya memelas. Kalau sudah begini mana tega aku berkata tidak. "Jam enam ya. Aku gak mau temen-temen lihat yang bisa buat gempar satu sekolah," peringatku serius kali ini. Elvan menoyor kepalaku pelan. "Biarin aja, toh itu yang aku harapkan," balas laki-laki itu enteng. "Gak usah jemput kalau begitu," ucapku kesal, laki-laki kalau dikasih hati belum terima dan malah minta jantung ya begini. "Bercanda ih. Pacarku gemes banget sih kalau lagi kesel begini," ucapnya sembari kedua tangannya menarik pipiku lumayan keras. "Sakit Elvan. Sana pulang," usirku mengibaskan tangan. Sedikit jengekel dengan tangannya yang tidak pernah bisa diam. "Iya ibu ratu. Sampai ketemu besok pagi," ucapnya sebelum berlalu. Aku hanya menggeleng pelan, benar kata orang-orang bahwa lelaki kaku dan dingin pun bisa berubah manja dan banyak tingkah saat merasa nyaman dengan seorang perempuan. Dan itu aku temukan pada Elvan. Cowok itu benar-benar ajaib. "Dia pacar kakak?" Aku memegang dadaku setelah menutup pintu dan hendam berbalik menuju ke kamar. Bella memang seperti ini, suka sekali membuat orang jantungan. "Kamu ngagetin kakak," balasku sengit, bisa bisanya dia sudah berdiri di depanku tanpa aku mendengar langkah kakinya yang mendekat tadi. "Kakak belum jawab pertanyaanku. Apa dia pacar kakak?" tanyanya lagi. "Kamu masih kecil belum boleh tau pacaran," balasku seraya mengandeng tangannya menuju lantai atas. "Abel udah kelas 3 kak, dan sebentar lagi masuk SMA. Kapan kakak berhenti panggil aku anak kecil," ucapnya kesal. "Bagi kakak kamu selalu menjadi adik kecil kakak," ucapku seraya mengacak rambutnya gemas. "Terserah kakak," jengkelenya mendahuluiku menuju kamar atas dengan menghentakkan kedua kakinya kesal. Lucu sekali. ??? Pukul enam aku sudah siap menunggu Elvan di depan gerbang rumahku. Hari ini cuaca mendung ditambah udara yang dingin benar-benar membuatku ingin kembali tidur jika tidak ingat sekolah. "Mendung lagi, padahal pengen sarapan minumnya es teh," gerutuku pelan setelah memasuki mobil Elvan. "Pilek kamu nanti minum es terus," balasnya yang masih fokus pada kemudi. "Aku gak bisa hidup tanpa ngunyah es," ucapku jujur. Salah satu kebiasaan burukku yang belum bisa dihilangkan. "Gigi kamu linu kalau makan es terus, hilangin kebiasaan jelek begitu Ai," nasehatnya yang sudah sering sekali aku dengar. "Kamu gak jemput Adel? Tumben," tanyaku sambil mengunyah sandwich yang tadi sengaja aku siapkan untuk bekal karena tidak sempat sarapan di rumah. "Dia punya sopir yang siap antar jemput," balas Elvan, tangan kirinya yang bebas meraih tanganku untuk menyuapkan makanan yang tadi sudah aku gigit separo. "Biasanya kamu yang antar jemput, sana alih profesi aja jadi sopirnya si Adel," ucapku tak suka, bagaimanapun terkadang aku masih cemburu melihat interaksi Elvan dan Adel yang ku anggap berlebihan. Kerap sekali Elvan lebih mementingkan Adel dari pada aku. Contohnya saat pulang sekolah seperti kemarin. Aku harus mengalah saat Elvan sudah berjanji padaku untuk mengantar pulang harus dibatalkan karena sopir Adel yang tidak bisa menjemput karena terjebak banjir. Alhasil cowok itu lebih memilih mengantarkan sepupunya dari pada aku, walaupun dia masih menjemputku di sekolah tetap saja aku merasa jengkel. "Gemasnya kalau cemburu begini," seloroh Elvan dengan menarik pipi kiriku. "Aku duluan, jangan lupa aku masih marah," ucapku sebelum menutup pintu mobilnya dan berjalan menuju kelas. Tak ku hiraukan teriakannya yang memintaku untuk berhenti. Aku tau ia minta ditunggu biar bisa jalan bareng sampai ke kelas. Namun aku memilih acuh dan melanjutkan langkah, biarkan saja.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
96.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook