Bab 14

1320 Words
Ketika Katarina kembali ke rumah keluarga Theo, ia mendapati jika Ares sudah terbang kembali ke Bali. Mama mertuanya bilang jika Ares harus segera kembali ke kantor karena pekerjaannya semakin menumpuk. Hal itu tentu saja membuat Katarina agak terkejut. Pasalnya Ares sama sekali tidak memberinya kabar. Pria itu tidak memberitahu apa-apa kepada Katarina tentang rencana Ares yang akan pulang ke Bali. Meskipun hubungan pernikahan mereka bukan didasari atas rasa cinta, tapi, bukankah seharusnya Ares memberi tahu Katarina jika dia akan kembali ke Bali? “Orang tua kamu sudah sampai Malang?” tanya Armila kepada Katarina. Katarina menganggukkan kepala. “Sudah Tante,” jawabnya dengan senyuman. "Tadi Mama langsung telepon Katarina pas baru sampai Malang." “Kamu bisa panggil aku Mama, Katarina. Dan kamu juga harus menganggap aku ini mamamu sendiri,” kata Armila lagi dengan lembut. Katarina kembali menganggukkan kepala. “Iya, Ma,” balasnya. “Rumah rasanya jadi agak sepi gara-gara nggak ada Theo,” kata Armila mengamati sekitar. Saat ini mereka tengah berada di ruang tengah dengan televisi yang menyala, menampilkan sinetron yang Katarina tidak tahu judulnya. Katarina dapat melihat kerinduan juga kesedihan dari raut wajah mama mertuanya itu. Karena Katarina pun merasakan hal yang sama. “Biasanya dia pulang dari kantor langsung nyamperin Mama dan nanyain hari ini masak apa. Sekarang nggak ada lagi yang nanya kayak gitu ke Mama,” tambahnya. “Mama kangen banget sama Theo.” Armila mengusap air mata yang menetes ke pipinya. “Katarina ju....” Tiba-tiba saja Katarina ingat jika dirinya sudah bukan lagi kekasih Theo, melainkan istri Ares. Apakah boleh dirinya merindukan Theo disaat dirinya sudah menjadi istri orang lain? Lalu, apakah mama mertuanya akan menganggapnya tidak setia kepada Ares jika beliau tahu bahwa Katarina merindukan Theo? Katarina menghadapi dilema yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Katarina memegang tangan Armila, bermaksud menguatkan. Ia merasa tidak bisa mengatakan apa-apa tentang Theo setelah pernikahannya kemarin dengan Ares. Ia tidak menyangka jika menikah dengan Ares membawa dilema seperti ini. “Omong-omong, apa kamu udah makan? Mau Mama bikinin sesuatu?” tanya Armila mencoba untuk tersenyum ke arah Katarina. Katarina balas tersenyum lalu mengangguk. “Theo pernah bilang kalau nasi goreng bikinan Mama enak. Katarina pengen makan itu kalau Mama nggak keberatan,” ucapnya. Ia merasa mama mertuanya butuh melakukan sesuatu agar tidak terlalu mengingat Theo. Senyum Armila melebar. “Oke. Mama bikinin nasi goreng ya,” katanya seraya bangkit dari duduknya. “Katarina bantu ya, Ma?” Katarina menawarkan diri. “Boleh. Ayo,” jawab Armila. Lalu keduanya berjalan menuju dapur untuk memasak nasi goreng. *** Ares mengempaskan diri ke sofa. Ia merasa kecapean setelah seharian di kantor. Belum lagi duka yang masih menyelimutinya karena kepergian Theo. Mendadak saja dunia Ares menjadi kacau balau. Bahkan, ia sampai menikahi Katarina yang notabennya adalah pacar mendiang adiknya. Seumur-umur Ares tidak pernah membayangkan akan menikah tanpa persiapan seperti kemarin. Namun, semua itu memang harus dilakukan. Semuanya demi Theo dan juga anak yang dikandung Katarina. Ares merasa harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh adiknya. Karena saat ini Theo sudah tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sedangkan Katarina memang harus segera menikah sebelum perutnya membesar. Selain itu, bukankah lebih baik Ares lah yang menjadi ayah dari bayi yang dikandung Katarina? Entah kenapa Ares tidak bisa membayangkan pria lain menggendong anak Theo. Ares ingin keluarganya juga bisa membesarkan bayi Katarina kelak. Ya, Ares hanya menginginkan itu. Ares menghela napas dalam. Tadi Ares tidak sempat mengabari Katarina jika dirinya hari ini akan pulang ke Bali. Selain memang tadi ketika Ares hendak berangkat, Katarina sedang tidak ada di rumah. Juga, Ares merasa tidak perlu memberi Katarina kabar. Karena entah mengapa Ares yakin jika Katarina tidak peduli ada atau tidaknya Ares di sana. Ares sendiri masih belum tahu hubungan macam apa yang harus ia jalani bersama dengan Katarina. Karena, toh mereka menikah bukan karena saling jatuh cinta. Namun, apa pun itu, yang pasti Ares akan memenuhi semua kebutuhan Katarina dan juga bayinya kelak. Ya, kira-kira seperti itu. Padahal Ares sudah cukup senang mengetahui bahwa Theo akan menikahi wanita yang dicintainya. Tapi, takdir berkata lain. Karena saat ini wanita yang dicintai adiknya itu malah menjadi istri Ares. “Kenapa lo harus pergi duluan, Theo?” gumam Ares seraya menatap layar televisi yang memantulkan bayangan Ares di sana. “Gue janji akan merawat anak lo dengan baik kelak. Juga ibunya. Hanya itu yang bisa gue lakukan buat lo, Theo. Hanya itu.” Ares mengembuskan napas panjang. Ponsel yang berada di saku celananya bergetar. Segera ia merogoh ponselnya itu lalu mengecek pesan yang baru saja masuk. Mama nyuruh nanyain ke kamu, apa kamu udah sampai Bali dengan selamat? Kamu nggak ngabarin Mama. Mama khawatir. -Katarina- Ares menatap pesan itu untuk beberapa saat. Ketika ia hendak membalas pesan dari Katarina itu, tiba-tiba saja bel rumah berbunyi. Awalnya Ares mengabaikan siapa pun tamu yang berkunjung ke rumahnya. Ares sungguh sedang tidak ingin menemui siapa-siapa. Namun, karena bel tidak kunjung berhenti. Akhirnya dengan terpaksa Ares mengangkat bokongnya lalu menyeret kakinya untuk membukakan pintu. “Ares,” ucap wanita bertubuh tinggi semampai yang saat ini berdiri di depan pintu rumahnya. Wanita itu langsung memeluk Ares dengan erat. “Maafin aku, aku nggak ada di sana buat kamu. Seharusnya aku nggak berangkat ke Amerika. Seharusnya aku ada di Jakarta sama kamu. Aku benar-benar minta maaf,” lanjutnya dengan suara isakan. Ares membalas pelukan wanita yang itu. “Ines,” gumamnya. “Aku benar-benar ikut sedih dengar kabar meninggalnya adik kamu, Res. Kamu dan keluargamu pasti hancur banget. Seharusnya aku ikut kamu ke Jakarta kemarin. I’m so sorry, Ares.” “Terima kasih, Ines,” balas Ares pelan seraya mengusap rambut panjang Ines yang tergerai di punggungnya. “Aku nggak tahu kamu udah balik dari Amerika. Gimana fashion shownya? Lancar?” Ines menarik diri dari pelukan Ares. Ia memukul pelan d**a bidang Ares dengan air mata yang masih mengalir di kedua pipinya. “Kenapa malah nanya kerjaan aku? Harusnya kamu cerita ke aku gimana perasaan kamu. Aku pengen ada buat kamu.” Ares tersenyum tipis lalu kembali menarik Ines ke dalam pelukannya. “Dan sekali lagi, terima kasih, Ines,” katanya. “Makasih udah khawatirin aku.” Ares merasakan kepala Ines mengangguk. “Udah pastilah aku khawatirin kamu. Aku peduli sama kamu, Ares. Aku kan sayang sama kamu. Kalau kamu sedih, aku juga pasti ikut sedih,” ucap Ines. Ines adalah kekasih Ares. Perempuan berusia 29 tahun itu adalah seorang perancang busana. Beberapa hari yang lalu Ines mendapatkan kesempatan untuk memamerkan hasil rancangannya di acara fashion di Amerika. Dan karena hal itu Ines tidak bisa ikut Ares ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan Theo yang tidak pernah terjadi itu. Pernikahan. Mendadak saja Ares sadar jika saat ini statusnya adalah suami orang. Ines masih belum tahu jika Ares sudah menikah dengan Katarina, wanita yang seharusnya menikah dengan Theo. Dan Ares sungguh tidak tahu bagaimana caranya mengatakan hal itu kepada kekasihnya ini. “Ines,” panggil Ares. “Ada yang—” “Kamu udah makan?” potong Ines seraya melepaskan pelukan Ares. “Pasti belum kan? Mau makan di luar sama aku?” tanyanya seraya mencoba menahan diri untuk tidak menangis. Ares mengusap air mata yang berada di pipi Ines. “Kamu mau makan apa?” tanyanya. “Kamu mau makan apa?” Ines balik bertanya. “Ke restoran cepat saji gimana?” Ines menganggukkan kepala. “Boleh. Ayo,” katanya menggenggam tangan Ares dengan erat. Ares menatap Ines dengan tatapan bersalah. Seharusnya ia segera mengatakan kepada Ines tentang pernikahannya dengan Katarina. Namun, mendadak saja Ares takut menyakiti hati Ines. Ares tidak mau membuat Ines terluka. Mungkin Ares bisa memberitahu Ines tentang pernikahannya di lain waktu. Karena selain Ares tidak mau menyakiti Ines, Ares pun sedang tidak ingin bertengkar dengan wanita ini. Ares sedang kewalahan dengan hidupnya yang kacau balau. Jadi, Ares memutuskan untuk mengatakan kepada Ines tentang pernikahannya nanti. Ya, nanti pasti ada waktu yang tepat untuk memberitahukan kabar itu kepada Ines. Ares menganggukkan kepala. “Ayo,” balasnya tersenyum kecil kepada Ines.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD