Bab 2

1084 Words
        Katarina meraba perutnya yang entah mengapa kini terasa lebih besar dari biasanya. Padahal, jika dilihat langsung, tidak ada perubahan yang berarti pada perutnya. Mungkin karena sekarang ia tahu jika ada janin di dalam sana. Janin yang nantinya akan bertumbuh menjadi bayi.                “Ayah kamu hanya takut. Kamu nggak sendiri. Ada Ibu di sini,” kata Katarina lirih kepada janin di dalam perutnya. Dadanya terasa sesak dan nyeri. Membayangkan tidak ada Theo di sisinya terasa bergitu menyiksa dan menakutkan. Dan Katarina tidak yakin akan dapat menemukan orang yang mau menerimanya juga menerima bayi yang dikandungnya. “Kamu baik-baik di dalam sana, ya. Ibu akan mempertahankanmu bagaimanapun caranya.”                Mendadak saja air mata mulai berjatuhan dari kedua bola mata Katarina. Ia merasakan kesedihan yang luar biasa. Bagaimana bisa dirinya membesarkan seorang anak? Dirinya saja bahkan belum becus mengurus dirinya sendiri. Lalu, bagaimana caranya Katarina untuk mengatakan kehamilannya ini kepada kedua orang tuanya? Ditambah, Theo tidak mau bertanggung jawab atas bayi ini.                Jika Ibu dan Ayahnya tahu Katarina mengandung di luar nikah, mereka berdua pasti akan sangat terpukul dan malu. Katarina membawa aib ke dalam keluarganya. Katarina merasa bagaikan beban untuk kedua orang tuanya. Bagaimana bisa Katarina seceroboh ini?                Pintu kamar Katarina diketuk.                “Katarina?” panggil suara dari arah luar kamarnya. “Lo di dalam?”                Itu adalah suara milik Gina, teman satu kostnya. Juga teman satu kantornya.                “Iya, Gina. Ada apa?” tanya Katarina tanpa beranjak dari tempat tidurnya.                “Lo sibuk nggak? Keluar yuk?”                Katarina diam sesaat. Ia menimbang-nimbang haruskah dirinya pergi ke luar untuk sekadar menyegarkan pikirannya atau lebih baik berdiam diri di kamarnya, meratapi nasib buruknya.                “Katarina?” panggil Gina lagi.                Katarina menarik napas dalam. Lalu, ia menganggukkan kepala. “Oke,” katanya. “Gue ganti baju dulu.”                Mungkin, Katarina memang membutuhkan udara segar. Karena, lama kelamaan ia merasa lehernya seperti tercekik karena terus-terusan berada di kamar ini dengan pikiran yang semrawut. Katarina butuh pengalihan pikiran. Dan siapa tahu pergi bersama dengan Gina bisa membuatnya lebih santai. *** “Kayaknya hari ini Theo nggak ngapel,” kata Gina seraya menyedot iced milk tea miliknya.                Katarina diam sesaat, lalu ia menganggukkan kepala menjawab ucapan Gina.                “Kenapa? Kalian berantem, ya?” tanya Gina.                Katarina menarik napas dalam. “Kami udah putus,” jawabnya mencoba terlihat biasa saja meskipun dalam hatinya seolah ada yang retak.                “Astaga, beneran?” Gina menatap Katarina dengan tatapan kaget, tak percaya.                “Iya,” jawab Katarina lirih.                           “Lo nggak apa-apa?” Katarina diam sesaat. Hatinya remuk karena putus dari Theo. Juga, karena pria itu tidak mau bertanggungjawab atas apa yang telah mereka berdua perbuat. Kalau boleh dibilang, saat ini Katarina dalam keadaan hancur sehancur-hancurnya. Tapi, tidak mungkin Katarina menceritakan hal tersebut kepada Gina. Dengan memaksakan sebuah senyuman, Katarina mengangguk. “Gue baik-baik saja,” katanya berbohong. “Lo yakin?” tanya Gina tampak tidak percaya dengan ucapan Katarina. Katarina menganggukkan kepala. “Lo tahu kan, kalau nangis ataupun sedih ketika habis putus itu adalah hal yang sangat wajar?” ucap Gina. “Jadi, gue nggak akan menghakimi lo kalau misal lo melakukan kedua hal itu. Atau, mungkin salah satu dari kedua hal itu.” “Gue beneran nggak apa-apa, Gin,” kata Katarina dengan seulas senyum tipis. Gina memberikan tatapan simpatik kepada Katarina. “Jika lo butuh teman buat cerita atau apa pun, gue akan selalu siap. Oke?” katanya. “Thanks,” balas Katarina. “Untuk sekarang, kalau bisa tolong jangan ingatkan gue soal Theo.” “Oke,” ucap Gina tersenyum lebar. “Kalau gitu gimana kalau kita belanja baju? Belanja bisa bikin lo lupa sama Theo kan?” Katarina mengangguk kecil. “Tentu aja,” balasnya. Kemudian setelah selesai menyantap cemilan dan minuman yang mereka pesan, mereka berdua langsung pergi ke salah satu toko baju yang ada di mal tempat mereka menongkrong. Katarina berusaha sebaik mungkin untuk mengabaikan ingatan tentang Theo ataupun janin di perutnya. Katarina ingin menikmati malam ini tanpa beban pikiran. “Lihat deh, lucu,” ucap Gina menempelkan dress selutut berwarna kuning pastel. Dress itu memiliki lengan agak mengembung. Bagian rok memiliki beberapa lapisan kain yang membuat rok sedikit mengembang. “Terlalu imut kalau lo yang pake, Gin,” balas Katarina. Gina terkekeh pelan. Perempuan itu mengembalikan gaun tersebut ke gantungan lalu mengambil gaun yang lain dari tempat yang sama. “Kalau ini gimana?” tanyanya. Katarina mengamati dress berwarna merah hati yang ditunjukkan oleh Gina. Dress itu tampak cantik dengan corak bunga dan daun di bagian roknya. Dress itu tampak sederhana namun indah. “Bagus,” kata Katarina sambil menganggukkan kepala. “Oke. Gue coba dulu, ya,” balas Gina terdengar senang. “Lo juga cari dress dong. Masak gue doang yang semangat belanja.” “Iya, Gin. Ini gue juga lagi nyari baju yang bagus kok.” Gina tersenyum senang ke arah Katarina lalu setelah itu dia melesat ke ruang ganti untuk mencoba dress yang diambilnya tadi. Katarina sendiri memilih untuk duduk di sofa yang disediakan menunggu Gina mencoba dress pilihannya tadi. Katarina merasa tidak begitu bersemangat untuk memilih pakaian. Padahal Katarina ingin sekali mengalihkan pikirannya dengan berbelanja. Tapi, entah kenapa Katarina merasa kehilangan selera untuk sekadar melihat-lihat baju. Katarina mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Ia membuka aplikasi wasap, berharap nama Theo muncul di layar. Namun, tidak. Pria itu tidak menghubunginya sama sekali. Meskipun Katarina tahu Theo tidak menginginkan bayi di dalam perutnya, tapi Katarina tidak bisa mengenyahkan harapan kecil di dalam hatinya jika siapa tahu Theo berubah pikiran. Katarina merasa bodoh berharap seperti itu. Tapi, bagaimana lagi, Katarina masih mencintai Theo. Ia masih ingin hubungan mereka baik-baik saja. Juga, ia ingin bayinya lahir dengan status yang jelas. Kini Katarina benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Katarina menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Bayangan akan ekspresi kecewa di wajah kedua orang tuanya tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Sontak saja Katarina merasakan denyutan tidak mengenakan pada rongga dadanya. Bagaimana bisa Katarina melakukan hal memalukan seperti ini? Tiba-tiba saja Katarina memikirkan ucapan Theo tentang menggugurkan janin yang ada di dalam perutnya. Katarina hanya tinggal melakukan hal tersebut lalu masalahnya akan beres. Kedua orang tuanya tidak akan tahu jika Katarina hamil. Theo pun akan kembali lagi kepada Katarina. Dan semuanya akan kembali baik-baik saja. Kecuali hati nurani Katarina yang sangat tahu betul jika hal itu salah. Katarina pasti akan dihantui perbuatan itu seumur hidupnya. Apa Katarina siap menanggung rasa bersalah seumur hidupnya karena menggugurkan janin di dalam perutnya? Apakah hal itu benar-benar layak untuk dilakukan? Katarina tahu betul jawaban untuk kedua pertanyaan itu. Tidak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD