Bab 3

1405 Words
        Theo menatap jendela yang mengarah pada halaman belakang rumah. Keadaan luar tampak gelap gulita. Mendadak saja dunia terasa begitu suram bagi Theo. Terlebih dunianya sendiri.                Pengakuan Katarina beberapa hari yang lalu masih membuat Theo terguncang. Rasanya sangat sulit dipercaya jika Katarina hamil dan Theo akan menjadi seorang ayah.  Seharusnya itu adalah berita membahagiakan bagi mereka berdua. Tapi, yang Theo rasakan saat ini adalah rasa takut. Theo ketakutan hingga berharap jika kabar itu adalah dusta.                Bukannya Theo ingin kabur dari tanggungjawab atas kehamilan Katarina. Theo hanya tidak siap. Karena menikah dan membesarkan seorang anak bukanlah hal yang mudah. Theo masih belum mampan secara finansial. Namun, bukan berarti Theo tidak mencintai Katarina dan ingin meninggalkan perempuan itu. Demi Tuhan, Theo berani bersumpah jika dirinya sangat mencintai Katarina. Theo pun merasa sangat berat hati lari dari tanggungjawab atas perbuatannya. Theo merasa seperti pengecut. Membayangkan jika Katarina harus membesarkan buah hati mereka seorang diri sungguh menyiksa batin Theo. Tapi, Theo pun takut untuk melakukan hal yang benar dengan menikahi Katarina. Theo memang seorang pengecut.                Andai Katarina setuju untuk menggugurkan janin itu dan memulai semuanya dari awal, Theo pasti akan berjanji untuk menikahi Katarina nantinya. Ya, nantinya. Karena menikah dalam waktu dekat bukanlah perioritas Theo.                 Theo menarik napas dalam lalu mengembuskannya segera. Dadanya terasa begitu sesak dan berat.                Theo mengambil ponsel yang berada di atas meja. Ingin sekali Theo menghubungi Katarina dan kembali membujuk perempuan itu untuk menggugurkan kandungannya, tapi, Theo sangat tahu jika Katarina tidak akan berubah pikiran dengan mudah. Dan Theo tidak ingin lagi bertengkar dengan Katarina. Selain itu, Theo pun tidak mau merasakan rasa bersalah terus menerus hanya karena membujuk Katarina untuk melakukan aborsi.                Alih-alih menghubungi nomor Katarina, Theo malah mendial nomor Ares, kakaknya. Dalam dering ketiga panggilannya langsung diangkat oleh Ares.                “Ada apa?” tanya Ares di seberang panggilan.                “Lo lagi sibuk?”                “Nggak juga. Malah, gue saat ini gue sedang beristirahat setelah seharian sibuk di kantor. Ada apa? Tumben banget lo telepon gue.”                Theo tersenyum samar. “Nggak ada apa-apa,” dustanya. “Kangen aja.”                “Kangen?” tanya Ares terdengar bingung. “Apa lo sedang mabuk?”                “Nggak, Bang. Gue nggak sedang mabuk.”                “Lo yakin?”                “Iya,” jawab Theo. “Lo nggak ada rencana buat balik ke Jakarta?”                “Kerjaan gue sedang numpuk.”                “Oh,” balas Theo. “Gue pikir lo bakal pulang ke Jakarta dalam waktu dekat.”                “Nggak. Mungkin bulan depan gue balik. Atau bulan depannya lagi,” ucap Ares. “Apa Mama sama Papa baik-baik saja?”                Saat ini Ares tengah bekerja di salah satu perusahaan di Bali. Hal itu membuat Ares jarang pulang ke Jakarta. Terakhir Ares ke Jakarta itu mungkin sekitar empat bulan yang lalu. Ares selalu beralasan jika dirinya sangat sibuk dengan perusahaan tempatnya bekerja. Entah kenapa Theo agak meragukan ucapan kakaknya itu.                “Mereka baik,” jawab Theo.                “Syukurlah,” balas Ares.                Untuk sesaat mereka berdua sama-sama diam. Theo sendiri tengah mempertimbangkan haruskah dirinya bercerita kepada Ares mengenai keadaan Katarina. Karena toh Ares mengenal Katarina. Selain itu Theo juga membutuhkan seseorang untuk diajak bercerita. Dan Theo berharap Ares adalah orang yang tepat.                “Theo, ada apa?” tanya Ares di ujung telepon dengan nada was-was.                Theo menarik napas dalam. Degupan jantungnya terasa menyiksa ketika mengingat jika dirinya melakukan hal yang buruk kepada Katarina.                “Theo?” panggil Ares lagi.                “Katarina hamil,” kata Theo pelan.                “Oh,” balas Ares berjeda. “Jadi, kapan kalian menikah?”                “Gue ..., gue nggak akan menikah dengan Katarina.”                “Dia bukan hamil anak lo? Dia selingkuh?” tanya Ares terdengar bingung.                “Dia hamil anak gue, tapi gue ..., gue nggak bisa....” Theo tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Entah mengapa Theo semakin merasa bersalah kepada Katarina. Juga, ia sangat malu kepada dirinya sendiri karena menjadi seorang pengecut dengan lari dari tanggungjawab.                “Kenapa nggak bisa?”                “Gue belum mapan, Bang. Gue belum punya rumah. Gue masih pakai mobil bokap. Mana bisa gue menanggung hidup Katarina dan bayi kami,” kata Theo dengan putus asa. “Gue—”                “Stop,” potong Ares. “Apa Katarina nuntut lo buat jadi kaya sebelum menikah dengannya?”                Theo menghela napas dalam lalu menggelengkan kepala. “Nggak. Dia hanya ingin kami menikah,” jawabnya lesu.                “Lalu kenapa lo menjadikan materi sebagai alasan buat lo nggak mau menikahinya?” tanya Ares terdengar dingin. “Apa sebenarnya lo nggak cinta sama Katarina? Apa lo hanya main-main aja sama dia? Setelah lo puas dengan dia lalu lo buang dia gitu aja? Jadi, dia nggak berharga? Apa—“                “Gue cinta sama dia!” potong Theo marah. “Gue hanya takut.”                Terdengar dengusan tawa mengejek dari ujung telepon. “Takut?” tanya Ares dengan nada tidak percaya. “How old are you, Theo? Dua belas tahun? Berhenti bikin lelucon murahan seperti itu!” Ares terdengar marah yang membuat Theo terdiam. “Lo udah bukan anak belasan tahun, Theo. Lo nggak bisa seenaknya aja lari dari tanggungjawab!”                “Tapi, Bang, gue—”                “Lo apa? Takut? Apa lo bisa bayangin setakut apa Katarina saat ini? Dia sedang hamil di luar nikah, Theo. Hamil anak lo. Dan dia sendirian. Jadi, apa rasa takut lo sebanding dengan apa yang dirasakan oleh Katarina?”                Theo terdiam. Ia berusaha mencerna ucapan kakaknya yang memang benar adanya. Saat ini, dibandingkan dengan dirinya, Katarina pasti jauh lebih takut. Theo merasa sangat egois hanya karena takut dirinya tega meninggalkan Katarina begitu saja.                “Gue tunggu kabar baik dari lo, Theo,” kata Ares sebelum mematikan sambungan telepon mereka.                Theo mengusap wajahnya dengan gusar. Menikah dan membesarkan seorang anak memanglah bukan hal yang mudah. Tapi, rasanya memang sangat salah jika Theo harus meninggalkan Katarina hanya karena takut. Theo harus segera memperbaiki hubungannya dengan Katarina. ***                Katarina menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia dapat melihat betapa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Wajahnya tampak lesu dan tidak bersemangat. Tanpa sadar kini ia mengelus perutnya yang berisi janin. Seorang bayi tanpa ayah. Fakta itu membuat ulu hatinya nyeri.                Katarina menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ia mengulanginya beberapa kali untuk mengembalikan detak jantungnya yang tadinya berdegup kencang. Setelah ia merasa baik-baik saja, akhirnya Katarina mengangguk ke arah bayangannya di cermin lalu berderap keluar dari kamar mandi.                Saat ini Katarina sedang berada di kantor. Jika tidak ingat bahwa Katarina membutuhkan uang untuk menghidupi dirinya dan bayinya kelak, Katarina mungkin akan resign karena dirinya merasa sangat stres dan frustrasi karena putus dari Theo dan juga karena hamil di luar nikah. Situasinya saat ini sungguh sedang buruk.                “Katarina,” panggil suara dari arah belakang Katarina. Dilihatnya seorang wanita berambut pendek tengah berjalan ke arahnya. “Kamu sudah kirim proposal kerja sama kepada Hansel Archad?”                “Sudah, Bu. Tinggal menunggu balasan emailnya saja.”                “Oke. Nanti kabarin, ya.”                “Baik, Bu.”                Setelah itu atasan Katarina itu berjalan meninggalkan Katarina menuju ruangannya. Ketika Katarina hendak kembali ke mejanya, tiba-tiba saja ponsel Katarina bergetar. Dengan malas Katarina mengambil ponsel dari dalam saku celananya dan menatap layar yang saat ini tengah menampilkan nama Theo di sana. Katarina diam sejenak menatap nama tersebut terpampang di layar. Lalu, dengan tidak yakin ia mengangkat panggilan dari mantan pacarnya itu.                “Halo,” sapa Katarina agak was-was.                “Hai,” balas Theo dengan suara lembut. “Apa kamu sibuk?”                “Hah?”                “Mau makan siang di luar? Biar aku jemput.”                 Katarina diam. Ia bingung dan tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Rasanya agak seperti mimpi mendengar Theo mengucapkan kalimat tersebut. Juga, ajakan Theo itu menumbuhkan harapan bagi Katarina mengenai hubungan mereka berdua. Namun, Katarina pun takut untuk berharap karena bisa saja itu adalah harapan kosong. Katarina takut kembali jatuh.                “Katarina?” panggil Theo lagi dengan hati-hati. “Bagaimana?”                “Sebenarnya ada apa, Theo?” tanya Katarina waspada.                “Ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Theo.                Katarina kembali diam. Ia merasa tidak seharusnya dirinya langsung mengiyakan ataup menolak ajakan Theo itu. Katarina butuh berpikir.                “Aku mohon,” ucap Theo lagi memelas.                “Aku sibuk,” kata Katarina. “Kalau mau, nanti malam saja.”                “Oke. Aku jemput di kost, ya?”                “Nggak perlu. Kita ketemu di luar aja.”                Setelah mengucapkan itu Katarina langsung memutuskan sambungan telepon mereka. Kini jantungnya berdegup hebat. Katarina hanya bisa berharap apa pun yang ingin Theo bicarakan adalah hal baik. Karena, Katarina sudah tidak sanggup lagi menerima kekecewaan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD