Bab 4

1119 Words
Katarina menyisir rambut panjangnya. Ia berencana membiarkannya tergerai membingkai wajah tirusnya. Malam ini Katarina berencana untuk menemui Theo di salah satu kafe yang tak jauh dari kostnya. Theo tadi sempat mengirim pesan kepada Katarina untuk menjemputnya. Tapi, Katarina menolak. Katarina tidak mau terjebak kecanggungan yang menyiksa di dalam mobil. Jadi, memang lebih baik mereka bertemu di kafe. Pintu kamar Katarina diketuk. Lalu, seseorang memanggil namanya. “Masuk aja, Gin,” kata Katarina seraya meletakkan sisir ke atas meja lalu berbalik untuk menatap ke arah pintu di mana Gina sudah muncul. “Lo mau pergi keluar?” tanya Gina ketika melihat Katarina yang sudah tampil rapi. “Iya, mau ketemu sama Theo,” jawab Katarina. Gina membelalakkan mata dengan ekspresi terkejut. “Kalian balikan?” tanyanya dengan semangat. Katarina menarik napas dalam. “Nggak,” jawabnya. “Sampai detik ini masih putus.” Gina menganggukkan kepala mengerti. “Gue doain yang terbaik buat kalian deh, pokoknya,” katanya. “Thanks,” balas Katarina tersenyum kecil. “Omong-omong ada apa nyari gue?” “Mau gue ajakin keluar,” kata Gina. “Andrini sama anak-anak ngajakin nongkrong.” “Sori, nggak bisa ikut,” ucap Katarina. “Iya, nggak apa-apa. Kalau gitu, gue mau siap-siap dan pergi nongkrong sama anak-anak,” kata Gina. “Have fun, ya.” Katarina tersenyum lebar ke arah Gina. “Pasti,” ucap Gina. “Oh ya, kalau misal ada hal buruk apa pun itu nanti waktu ketemu sama Theo, jangan sungkan buat hubungin gue, ya?” “Oke,” balas Katarina tersenyum kecil ke arah Gina. “Thank you.” Gina menganggukkan kepala dan balas tersenyum. Lalu, dengan lambaian tangan perempuan itu pergi meninggalkan kamar Katarina. Katarina menarik napas dalam. Entah mengapa Katarina jadi ragu untuk bertemu dengan Theo. Ia takut jika ada hal buruk yang akan terjadi ketika bertemu dengan Theo nanti.   *** Katarina berjalan memasuki kafe yang tampak tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa meja yang terisi di area lantai satu kafe ini. Lalu, di meja yang berada paling ujung Katarina melihat sosok Theo yang juga tengah menatapnya. Tampak sekali pria itu sedang menunggu kedatangan Katarina. Theo melambaikan tangan ke arah Katarina. Lalu, dengan helaan napas dalam dan degup jantung kencang Katarina berjalan ke arah meja di mana Theo berada. “Hai,” sapa Theo menyambut keadatangan Katarina. Katarina hanya tersenyum tipis membalas sapaan Theo itu. “Aku pikir kamu nggak akan datang.” “Jalanan macet,” balas Katarina seraya duduk di kursi yang berhadapan dengan Theo. Theo menganggukkan kepala. “Mau pesan apa?” tanyanya. “Nggak perlu,” jawab Katarina. “Memangnya kamu udah makan?” tanya Theo terdengar khawatir. Katarina tidak menjawab pertanyaan Theo itu. Katarina memang belum makan. Dan sebenarnya ia pun lapar. Tapi, rasanya Katarina tidak akan bisa melahap makanannya ketika membayangkan obrolan apa yang akan mereka lewati. “Bukankah seharusnya kamu makan teratur? Kamu mau aku pesankan spageti? Atau steak?” “Apa yang pengen kamu bicarakan Theo?” tanya Katarina mengabaikan pertanyaan Theo itu. “Kamu yakin nggak mau pesan makanan atau minuman?” Katarina menghela napas dalam. Ia menunduk menatap buku menu yang terbuka yang berada di atas meja. “Iced tea,” katanya. “Eh teh?” tanya Theo yang membuat Katarina mengangguk singkat. “Es teh aja?” “Iya,” jawabnya. “Oke,” kata Theo. Setelah itu Theo memesankan es teh untuk Katarina dan kopi hitam untuk dirinya sendiri. Diam-diam Katarina mengamati Theo yang tampak luar biasa tampan. Theo memiliki alis yang rapi dan bulu mata yang cukup lebat. Matanya yang berwarna cokelat tampak seperti kilauan sinar bulan di lautan. Katarina sangat menyukai mata Theo yang menurutnya indah. Bahkan saat ini menatap pria itu secara diam-diam membuat jantung Katarina berulah. Betapa Katarina sangat mencintai pria di hadapannya ini. “Kamu apa kabar?” tanya Theo kepada Katarina terdengar hati-hati. “Baik,” jawab Katarina. “Seperti yang kamu lihat.” Theo tersenyum kecil lalu menganggukkan kepala. “Syukurlah,” ucapnya tampak lega. Untuk sesaat mereka sama-sama diam. Katarina tidak tahu harus membuka obrolan apa. Theo sendiri pun tampak sedang memikirkan sesuatu untuk diucapkan. Rasanya sungguh aneh terjebak dalam situasi canggung dengan Theo. Karena dulu mereka tidak pernah mengalaminya. Padahal mereka baru tidak bertemu beberapa hari. Pengakuan Katarina mengenai kehamilannya sungguh mengubah apa pun di antara mereka berdua. “Katarina,” ucap Theo terdengar penuh pertimbangan. “Aku sungguh menyesal dengan apa yang pernah aku ucapin. Aku merasa keputusanku kemarin itu gegabah. Aku benar-benar merasa t***l dan bodoh.” Theo menatap Katarina dengan tatapan lembut. “Aku cinta sama kamu, Katarina. Aku sayang banget sama kamu. Nggak seharusnya aku bereaksi berlebihan seperti kemarin. Aku benar-benar minta maaf. Kalau kamu nggak keberatan, aku pengen kita balikan. Bukan hanya balikan. Aku pengen kita menikah,” katanya dengan mata yang berkaca-kaca. “Kita bisa membesarkan bayi kita bersama. Aku pengen hidup bahagia sama kamu. Kalaupun aku menderita, aku pengen ada kamu di sampingku. Apa kamu bersedia?” Tanpa sadar air mata sudah menetes di pipi Katarina. Sungguh, ia tidak menyangka jika Theo mengajaknya bertemu untuk mengatakan hal membahagiakan seperti itu. Katarina sempat berpikir jika Theo akan membujuknya kembali untuk menggugurkan bayi yang ada di dalam perutnya. “Kamu nggak keberatan dengan bayi yang ada di perutku?” tanya Katarina lirih. “Sama sekali nggak,” jawab Theo seraya memegang tangan Katarina yang berada di atas meja. “Aku salah udah minta kamu melakukan hal bodoh seperti kemarin. Aku benar-benar minta maaf, Katarina. Dan sekarang aku pengen memperbaiki kesalahanku itu. Aku ingin kita menikah. Kita bisa membesarkan bayi kita bersama.” “Kamu serius?” tanya terbata-bata. Theo menganggukkan kepala. “Sangat serius. Bahkan, kalau kamu mau, kita bisa menikah besok. Atau mungkin sekarang.” Theo mengusap air mata di pipi Katarina. “Aku nggak akan ninggalin kamu lagi, Katarina. Aku sangat sayang sama kamu.” Katarina yang kini sudah sesenggukkan hanya bisa menganggukkan kepala. Ia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Katarina hanya merasa bersyukur karena Theo mau kembali kepadanya dan mengajaknya untuk menikah sebagai bentuk pertanggungjawaban. Sungguh, hanya itu yang Katarina inginkan. “Kamu mau kan, menikah denganku, Katarina?” tanya Theo menatap Katarina dengan teduh. Katarina kini bisa melihat cinta yang begitu besar dari tatapan mata Theo. Juga dari suaranya yang lembut. Katarina menganggukkan kepala. “Tentu aja,” katanya lirih. “Aku mau menikah denganmu, Theo.” Theo tersenyum lebar. “Terima kasih Katarina,” ucapnya. “Aku akan bikin kamu bahagia. Aku nggak akan pernah ngecewain kamu lagi.” Theo mengelus pipi Katarina dengan lembut. Betapa Katarina mencintai pria ini. “I love you so much, Katarina.” Katarina balas tersenyum. Ia merasa sangat bahagia saat ini. “I love you too, Theo,” balasnya dengan penuh rasa syukur. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD