Bab 5

1129 Words
Theo menatap ponselnya dengan senyum kecil yang bertengger di bibirnya. Sebuah pesan instan dari kontak nama Katarina membuatnya sangat senang. Aku tidur dulu, ya. Sampai ketemu besok. Good night, Baby. Segera Theo mengetikkan pesan balasan untuk Katarina. Oke. Sampai ketemu besok. I love you. Kirim. Theo meletakkan ponselnya ke atas nakas. Lalu ia merebahkan diri ke atas kasur empuknya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Kini ia merasa semua beban di pundaknya perlahan terangkat setelah ia memperbaiki hubungannya dengan Katarina. Memang, masih ada tanggung jawab lain yang sangat besar, menikahi Katarina dan membesarkan anak mereka, tapi Theo rasa hal itu bisa ia pikirkan sambil jalan. Entah mengapa kini Theo merasa bisa melakukan apa pun selama ada Katarina di sisinya. Semua ketakutannya seakan lenyap seketika ketika membayangkan bisa menghabiskan sisa hidupnya dengan Katarina. Theo memang bodoh karena sempat lari dari tanggung jawab hanya karena takut. Ponsel Theo berbunyi. Segera ia bangkit duduk lalu mengambil ponselnya yang tengah menampilkan panggilan masuk dari kontak Ares. “Halo,” sapa Theo mengangkat panggilan dari kakaknya itu. “Jadi, bagaimana?” tanya Ares tanpa basa basi. Theo tersenyum kecil mendengar pertanyaan kakaknya itu. “Lo menghubungi gue untuk tahu perkembangan hubungan gue dan Katarina?” “Tentu aja,” jawab Ares. “Gue udah ketemu sama Katarina. Dan gue udah bilang ke dia kalau gue akan bertanggungjawab dengan menikahinya,” balas Theo mengingat pertemuannya dengan Katarina tadi. “Dan dia setuju? Dia mau maafin lo?” “Iya, Bang.” Terdengar helaan napas dalam dari ujung panggilan. “Baguslah kisah kalian berakhir dengan baik,” kata Ares terdengar lega. Theo mendenguskan tawa pelan. “Gue benar-benar merasa bodoh karena sikap gegabah gue yang sempat lari dari tanggung jawab. Rasanya seperti gue baru bangun dari mimpi buruk. Dan gue sangat lega karena akhirnya gue sadar akan kesalahan gue itu.” “Lo tahu,” kata Ares. “Gue hampir beli tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta buat nyamperin lo lalu nyeret lo ke hadapan kedua orang tua Katarina. Tapi, syukur gue nggak sampai harus melakukan hal itu.” “Iya, lo nggak perlu repot-repot melakukan hal itu.” Kini Theo jadi membayangkan apa yang akan Ares lakukan jika pria itu benar-benar datang ke Jakarta untuk menyeret Theo ke hadapan kedua orang tua Katarina. Mungkin kakaknya itu akan memberi Theo sedikit—atau mungkin agak banyak—pelajaran karena berani menghamili anak orang dan dengan pengecutnya lari dari tanggung jawab. Theo tahu betul bisa sekeras apa kakaknya itu. Dan tentu saja jika hal itu terjadi, Theo memang pantas mendapatkannya. Untung saja Theo berubah pikiran dan akal sehatnya kembali bekerja. Jadi, Theo tidak harus mendapatkan bogem mentah dari kakaknya itu. “Jadi, bagaimana rencana lo terhadap pernikahan lo dan Katarina? Apa lo udah bilang ke Papa sama Mama?” “Rencananya besok pagi gue bakal bilang ke Papa sama Mama buat mengutarakan niat gue menikahi Katarina. Papa sama Mama udah kenal Katarina dan gue rasa mereka akan setuju.” “Bagaimana dengan orang tua Katarina? Mereka setuju?” “Gue harap sih, begitu. Kami belum benar-benar membahas tentang pernikahan. Tapi, gue berencana sesegera mungkin untuk menikahi Katarina sebelum perutnya membesar.” “Bagus kalau begitu,” kata Ares. “Kalau lo butuh apa-apa, lo bisa hubungin gue.” “Gue tahu. Makasih, Bang.” Theo tersenyum kecil atas rasa syukur yang ia rasakan. Dan Theo pun merasa lega menceritakan semuanya kepada Ares. Kakaknya itu benar-benar membantunya untuk kembali mengingat betapa Theo mencintai Katarina dan tidak ingin kehilangan perempuan itu. *** “Ehem....” Katarina mengangkat kepala dan mendapati Gina tengah berdiri di depan mejanya. Gina menatap Katarina dengan tatapan curiga. “Ada apa, Gin?” tanya Katarina. “Gue lihat tadi lo di antar sama Theo,” kata Gina. “Kalian balikan?” Gina menyipitkan mata ke arah Katarina. Pertanyaan Gina itu membuat senyum Katarina terbit. Sungguh ia tidak bisa menahan diri untuk tidak senang karena hubungannya dan Theo kembali membaik. Katarina pikir dirinya tidak akan sebahagia ini ketika mengetahui bahwa mereka bisa kembali bersama. Katarina jadi tidak sabar merasakan sebesar apa rasa bahagianya kelak ketika mereka berdua menikah. “Bisa dibilang begitu,” jawab Katarina menahan senyumnya agar tidak melebar. “Gue rasa itu kabar gembira,” kata Gina riang. “Memang,” balas Katarina. “Gue ikut senang dengarnya.” “Thank you,” kata Katarina. “Jadi, berarti gue bakal dapat traktiran makan siang, dong?” Gina tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. Katarina terkekeh pelan. “Oke,” jawabnya. “Makan siang lo hari ini gue yang tanggung.” “Asik!” seru Gina senang. “Jadi, kita pergi sekarang?” Katarina menatap jam di pergelangan tangannya. Saat ini jam menunjukkan pukul dua belas lebih sepuluh menit. Dan ini sudah masuk jam istirahat kantor. “Oke, kita ke kantin bawah, ya?” kata Katarina. “Siap!” Lalu, keduanya mulai pergi menuju kantin yang berada di lantai tiga. Katarina dan Gina sama-sama memesan bakso yang terkenal sangat enak di kantin itu. Mereka berdua menikmati makan siang mereka dengan mengobrol ringan. Hingga Katarina tidak tahan untuk mengabarkan kabar gembira yang disimpannya sendiri sejak tadi pagi. “Lo serius?” tanya Gina menatap Katarina dengan tatapan tidak percaya. Katarina menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya. “Theo ngajakin gue buat ketemu sama orang tuanya nanti malam. Gue beneran deg-degan.” “Jadi, Theo beneran serius ngajakin lo nikah?” “Iya. Tadi malam dia ngajakin gue ketemu bukan hanya buat balikan, tapi dia pengen kami menikah.” Gina tersenyum lebar. “Gue seneng banget dengernya,” katanya. “Kalau boleh jujur, gue sedih banget pas tahu kalau kalian putus. Karena menurut gue, kalian tuh serasi banget. Tapi, setelah tahu kabar ini, gue beneran seneng. Akhirnya dia ngajakin lo nikah.” Katarina menganggukkan kepala. “Iya, akhirnya dia ngajakin gue nikah,” katanya tersenyum tipis. Tentu saja Katarina hanya mengabarkan tentang ajakan Theo untuk menikah dengannya. Katarina tidak mungkin mengatakan alasan kenapa mereka memang harus menikah. Mengumbar aib sendiri bukanlah gaya Katarina. Malah, dirinya sangat malu dan takut jika Gina sampai tahu bahwa dirinya saat ini tengah hamil anak Theo. Katarina takut jika Gina akan memandangnya berbeda. “Kira-kira kapan kalian akan menikah? Tahun depan?” tanya Gina antusias. “Belum tahu,” jawab Katarina berbohong. “Gue harap sih, sesegera mungkin.” Tadi pagi waktu Theo mengantar Katarina ke kantor, pria itu sempat menyinggung rencana pernikahan mereka. Theo ingin pernikahan mereka dilaksanakan paling lama bulan depan. Katarina paham alasan mengapa Theo ingin mereka segera menikah. Katarina pun menginginkan hal yang sama. Dirinya tidak mau menikah dengan perut yang terlihat buncit. Katarina tidak ingin mendapatkan gunjingan dari orang-orang meskipun Katarina memang pantas mendapatkannya. “Gue tunggu kabar baik dari kalian berdua,” kata Gina senang. Katarina tersenyum lebar. “Oke,” balasnya.                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD