Bab 6

1521 Words
Katarina menatap Theo dengan senyum kecil yang terpasang di bibirnya. Pria itu kini tengah berdiri di samping mobilnya yang terparkir di luar kost Katarina dengan membawa satu buket mawar merah yang tampak begitu cantik. Senyum yang terukir di bibir Theo membuatnya tak kalah mempesonanya dengan bunga yang dibawanya. “Hai,” sapa Katarina mendekat ke arah Theo. “Hai,” balas Theo lembut seraya memberikan buket bunga yang dibawanya kepada Katarina. “Makasih,” ucap Katarina senang. “Ini cantik banget, Theo.” “Masih cantikan kamu tahu,” kata Theo seraya mencium pipi kanan Katarina. “Kamu yang paling cantik. Katarina terkekeh pelan mendengar gombalan pacarnya itu. Ia menyipitkan mata untuk menatap Theo. “Belajar gombal dari mana, sih?” tanyanya. “Pinter banget.” Theo mengangkat kedua bahunya. “Sejak lahir sudah begini,” jawabnya. Katarina kembali tertawa. Sungguh, Katarina sangat mencintai Theo. Pria itu bukan hanya memiliki paras tampan yang bisa membuat Katarina jatuh cinta. Perlakuan baik dan ketulusan Theo kepada Katarina lah yang membuat Katarina masih bertahan untuk mencintainya. Bahkan Katarina sudah memaafkan Theo atas kesalahannya kemarin. Sebesar itu lah Katarina mencintai Theo. Dan tampaknya, cinta Katarina tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Ia berharap Theo pun mencintai Katarina dengan tulus. “Berangkat sekarang?” Katarina menarik napas lalu menganggukkan kepala. “Oke,” katanya. Lalu Katarina dan Theo memasuki mobil. Malam ini Theo akan mengajak Katarina untuk makan malam bersama dengan kedua orang tuanya. Meskipun ini bukan kali pertama Katarina bertemu dengan kedua orang tua Theo, tapi rasa gugup masih saja melingkupi Katarina. Katarina merasakan tangannya diremas pelan oleh Theo yang membuatnya langsung menoleh ke arah pria itu. “Kamu nggak perlu gugup,” kata Theo seakan tahu bahwa saat ini Katarina sedang sangat gugup. “Bagaimana kalau mereka nggak setuju kamu nikahin aku?” tanya Katarina mendadak cemas. Theo tersenyum kecil. “Mereka setuju Katarina,” jawabnya. “Kamu nggak perlu khawatir. Percaya sama aku. Oke?” Katarina menarik napas dalam lalu menganggukkan kepala. “Kalaupun nggak setuju, aku udah siap buat kawin lari sama kamu,” tambah Theo yang sontak membuat Katarina menatap Theo dengan mata membelalak kaget. “Kawin lari?” tanya Katarina. Theo tertawa pelan. “Bercanda,” katanya. “Kita nggak akan kawin lari. Karena kedua orang tuaku setuju, Katarina. Mereka udah setuju. Bahkan, Bang Ares juga setuju.” Katarina mengernyit bingung. “Bang Ares?” Theo kembali menatap jalanan di hadapannya. “Iya.” “Bang Ares tahu kalau kamu ngajakin aku nikah?” Theo tersenyum kecil lalu menganggukkan kepala. “Iya. Dan Bang Ares seneng pas tahu aku minta kamu buat nikah sama aku.” “Bang Ares seneng?” tanya Katarina dengan dengusan tawa pelan. “Kenapa terdengar seperti bukan Bang Ares, sih?” Kali ini Theo terkekeh. “Memangnya kenapa?” “Bang Ares kan gitu orangnya. Cuek,” kata Katarina. “Rasanya agak aneh kalau dia memberi reaksi tentang kabar kamu ngajakin aku nikah.” “Bang Ares nggak secuek yang kamu bayangkan, Katarina. Dia orangnya baik.” Katarina memutar bola mata bosan. “Ya..., ya..., ya.” Katarina mengenal Ares, kakak Theo, bahkan sebelum ia mengenal Theo. Katarina bertemu dengan Ares di salah satu hotel ketika mereka berdua sama-sama menghadiri sebuah acara. Pertemuan itu membuat mereka cukup dekat, hingga tiba-tiba Ares mengungkapkan perasaannya kepada Katarina. Namun, Katarina menolak Ares yang saat itu mulai mengenal Theo. Tapi, hingga saat ini tampaknya Theo tidak tahu fakta tersebut. Katarina tidak berniat menceritakan kepada Theo tentang Ares yang pernah menyukainya. Ares pun tampaknya juga tidak mengatakan hal itu kepada Theo, atau mungkin pernah mengatakannya kepada Theo tapi, Theo tidak bercerita kepada Katarina. Yang manapun sepertinya tidak masalah. Karena toh hubungan mereka bertiga kini baik-baik saja—meskipun sebenarnya Ares jadi lebih cuek kepada Katarina. *** “Katarina,” sapa Armila, mamanya Theo seraya memeluk Katarina dengan hangat. “Apa kabar, Nak? Udah lama nggak main ke sini.” “Baik, Tante. Tante sama Om bagaimana kabarnya?” balas Katarina seraya tersenyum kecil. “Kami juga baik,” kata Armila. “Ayo masuk.” Armila mengajak Katarina masuk ke dalam rumah. Theo mengekor di belakang. Mereka bertiga berjalan menuju ruang makan yang sudah ada Guntur, papanya Theo. “Selamat malam, Om,” sapa Katarina. “Malam,” balas Guntur tersenyum hangat ke arah Katarina. “Ayo, duduk.Kita makan malam bersama.” Katarina menganggukkan kepala lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Armila. Theo duduk di kursi samping Katarina. “Silakan di makan, jangan malu-malu,” kata Armila kepada Katarina. “Iya, Tante.” “Sini biar aku ambilin nasinya,” ucap Theo mengambil piring yang ada di hadapan Katarina untuk membantunya mengambil nasi yang berada di dekat Theo. “Thanks,” balas Katarina. “Seharusnya kita makan malam bersama dengan orang tuamu, Katarina,” kata Guntur. “Mereka sehat-sehat kan?” Katarina menganggukkan kepala. “Iya, Om. Papa sama Mama sehat semua.” “Syukurlah. Papamu masih sibuk sama bengkel?” “Iya, Om,” jawab Katarina. Papanya Katarina memiliki bengkel mobil yang berada tepat di depan rumah. Bengkel itu sudah berdiri sejak Katarina masih berada di sekolah dasar. Hingga kini ada lebih dari lima pegawai yang bekerja di bengkel itu. Dari bengkel itu lah kebutuhan sehari-hari keluarga Katarina terpenuhi hingga sekarang. Sedangkan Mamanya Katarina adalah ibu rumah tangga biasa. Untuk beberapa saat mereka mengobrol ringan tentang kesibukan Katarina sebagai salah satu staf di perusahaan periklanan tempatnya bekerja. Hingga obrolan mereka menjurus kepada topik pernikahan antara Theo dan Katarina. “Kapan kira-kira kami bisa brtemu dengan orang tuamu, Katarina?” tanya Guntur. “Theo tuh, udah nggak sabar buat nikah sama kamu katanya.” Katarina tersenyum kecil mendengar penuturan Papanya Theo itu. Dirinya merasa senang karena kedua orang tua Theo tampaknya tidak keberatan dengan rencana Theo untuk menikahi Katarina. “Kalau bisa minggu depan kita ketemu sama orang tua Katarina, ya, Pa,” kata Theo. “Minggu depan?” tanya Armila. “Apa nggak terburu-buru.” “Nggak lah. Theo pengennya bulan depan kami udah menikah.” “Bulan depan?” tanya Armila lagi makin kaget. “Iya, Ma.” “Kapannya kita diskusikan dulu sama keluarga Katarina, Theo,” kata Papanya. “Iya. Lagian kalau bulan depan tuh, mepet banget, Theo. Mana sempat mempersiapkan pernikahan dalam waktu satu bulan?” “Sempat lah Ma,” kata Theo. “Makanan buat tamu bisa kita urus sendiri. Kan Mama punya katering. Mama juga kan punya banyak kenalan WO. Theo yakin pasti ada yang bisa mempersiapkan dalam waktu satu bulan.” “Ya paling nggak kita harus ngobrolin dulu sama orang tua Katarina, Theo,” ucap Papanya. “Mereka setuju kok. Ya kan?” Theo menoleh ke arah Katarina. Katarina hanya tersenyum dan mengangguk seadanya. Jujur, Katarina masih belum membicarakan masalah pernikahan ini kepada kedua orang tuanya. Katarina bermaksud menunggu lampu hijau dari kedua orang tua Theo. Juga, ia ingin melihat kesungguhan Theo. “Ya sudah, kita bahas lagi nanti ya. Yang pasti, kita harus ngobrol dulu sama kedua orang tua Katarina,” kata Papanya Theo. “Kamu mau nambah ayamnya?” tanyanya menatap ke arah Katarina. “Nggak perlu, Om. Ini masih kok,” jawab Katarina menatap ayam bakar yang berada di piringnya. *** Katarina mengembuskan napas dalam. Ia menatap ke luar jendela kaca mobil, memperhatikan bangunan-bangunan yang ia lewati. Kalau boleh dibilang, makan malam bersama dengan kedua orang tua Theo berjalan dengan sukses. Mereka pun setuju dengan niat Theo untuk menikahi Katarina. Mereka sangat menyambut Katarina ke dalam keluarga mereka. Tapi, desakan Theo tentang rencana pernikahan mereka bulan depan membuat Katarina gusar. Karena Katarina takut jika mereka curiga kalau Katarina tengah hamil. “Kenapa?” tanya Theo. Katarina memasang senyum lalu menoleh ke arah Theo yang berada di sampingnya. “Nggak kok,” katanya. “Kamu jangan khawatir, aku pasti bisa meyakinkan Papa sama Mama buat ngadain pesta pernikahan bulan depan.” Katarina hanya menganggukkan kepala. Dirinya tidak berniat untuk mendebat perkataan Theo itu. “Soal orang tuamu, nanti biar aku hubungin mereka buat minta restu,” katanya lagi. “Oke,” ucap Katarina setuju. “Tapi, biar aku ngomong dulu ke Papa sama Mama sebelum kamu hubungin mereka.” Theo mengangguk setuju. Tak lama kemudian mereka sampai di kost Katarina. Sebelum Katarina turun dari mobil, tiba-tiba saja Theo menyodorkan sebuah kotak beledu berwarna merah ke hadapan Katarina. “Apa ini?” tanya Katarina bingung. Theo tersenyum kecil lalu membuka kotak tersebut yang menampilkan sebuah cincin sederhana dengan berlian kecil bertengger pada cincin itu. “Anggap saja sebagai bukti kalau aku benar-benar serius pengen nikahin kamu,” katanya seraya mengambil cincin itu lalu memasangkannya ke jari manis Katarina. Katarina menatap cincin yang tersemat di jarinya dengan tidak percaya. Rasanya ia ingin berteriak karena rasa bahagia yang teramat sangat. Sungguh, ia tidak pernah membayangkan jika mendapatkan cincin dari Theo akan semembahagiakan ini. “Aku bakal urus semuanya. Kamu nanti hanya tinggal hadir sebagai mempelai perempuan yang sangat cantik.” Theo menarik tangan Katarina lalu menciumnya. “I love you so much, Katarina.” Sontak saja Katarina memeluk Theo karena perlakuan Theo yang baginya begitu manis. “Thank you, Theo,” ucapnya. “Dan aku juga cinta sama kamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD