Bab 7

1289 Words
Katarina mengamati cincin yang berada di jari manisnya. Ia merasa cincin itu sangat cocok berada di sana. Terlebih itu adalah cincin pemberian Theo. Katarina sangat menyukainya. Sangat! “Nanti kalau aku ada duit lebih, aku beliin yang lebih bagus,” kata Theo yang saat ini sedang duduk di samping Katarina. Katarina menoleh ke arah Theo lalu menggelengkan kepala. “Nggak perlu. Aku suka cincin ini,” katanya senang. “Yakin?” Katarina mengangguk mantap. “Iya,” jawabnya. “Omong-omong, bagaimana persiapan pernikahan kita?” “Sejauh ini lancar. Kemarin Mama sudah pilih dekorasi dan tenda buat acara pernikahan kita. Besok kamu sama Mama bisa fitting baju pengantin. Masalah makanan juga udah diurus sama Mama. Undangan juga sudah masuk ke percetakan kan?” “Apa nggak apa-apa yang ngurus semuanya orang tua kamu?” “Mama nggak keberatan kok. Lagian, kamu kan masih sibuk kerja. Aku juga nggak mau kamu kecapekan ngurus ini itu. Serahin ke aku sama Mama aja.” “Apa nggak apa-apa kayak gitu?” “Nggak apa-apa. Mama seneng tahu ngurusin hal kayak gini,” kata Theo tersenyum lembut ke arah Katarina. “Kamu nggak perlu mengkhawatirkan apa pun. Semuanya pasti akan beres.” Katarina tersenyum ke arah Theo dengan penuh rasa syukur. Ia merasa sangat beruntung memiliki pria yang baik dan pengertian seperti Theo. Theo dan Katarina rencananya akan menikah awal bulan depan, sekitar tiga minggu lagi dari sekarang. Katarina pikir akan sangat sulit untuk masuk ke tahap ini. Tapi, nyatanya semuanya berjalan sangat lancar. Bahkan ketika Theo meminta izin kepada kedua orang tua Katarina lewat telepon, kedua orang tua Katarina langsung memberi izin. Tentu saja hal itu karena Katarina yang sering membicarakan kebaikan Theo di depan kedua orang tuanya. Selain itu, kedua orang tua Theo pun beberapa kali menghubungi kedua orang tua Katarina untuk membicarakan rencana pernikahan anak mereka. Dan sejauh yang Katarina tahu, semuanya berjalan dengan mulus. Bahkan, kedua orang tuanya memberi izin kepada Katarina untuk menikah di kediaman Theo. Salah satu alasannya sih, karena rumah Katarina berada di Malang yang sangat jauh dari Jakarta. Jadi, kedua orang tua Katarina lah yang nantinya akan bertolak ke Jakarta menghadiri pernikahannya. “Udah jam empat sore,” kata Theo seraya melihat jam yang berada di layar ponselnya. “Aku harus jemput Mama di supermarket. Kamu di sini dulu, ya? Nanti aku anterin pulang setelah jemput Mama. Nggak akan lama kok.” “Oke,” kata Katarina. “Bye. Jaga rumah,” ucap Theo seraya mencium singkat kening Katarina. “Hati-hati di jalan.” “Siap!” Setelah mengucapkan itu Theo langsung melesat meninggalkan ruang tamu menuju halaman rumah di mana mobilnya terparkir. Tak lama kemudian Theo pergi meninggalkan rumah. Katarina sendiri memilih untuk pergi ke teras rumah dan duduk di bangku yang berada di sana sembari menunggu kedatangan Theo. Saat ini rumah sedang sepi. Mamanya Theo berada di supermarket. Sedangkan Papanya Theo sedang pergi karena ada urusan entah apa. Katarina mengamati halaman rumah yang tidak begitu luas. Nanti setelah Katarina dan Theo menikah, rencananya Katarina akan tinggal di rumah ini bersama dengan keluarga Theo. Meskipun agak sungkan, tapi Katarina paham jika saat ini Theo dan dirinya harus giat untuk menabung demi masa depan dan bayi mereka. Jadi, sepertinya tinggal di sini adalah pilihan yang tepat. Tiba-tiba saja Katarina melihat sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah. Itu bukan mobil yang dikendarai oleh Theo tadi. Juga bukan mobil milik Papanya Theo. Setelah mobil berhenti, seorang pria keluar dari dalam mobil. Pria bertubuh tinggi dan tegap itu terlihat sangat familiar. Tatapan mata pria itu tertuju ke arah Katarina. Untuk sesaat Katarina mematung. Ia tidak menyangka jika pria itu berada di sini. “Katarina,” sapa pria itu datar. “Bang Ares,” balas Katarina tersenyum canggung. Ya, pria itu adalah Ares, kakak kandung Theo. Katarina cukup terkejut melihat pria itu setelah sekian lama tidak bertemu. “Kamu nggak perlu ikut-ikutan Theo manggil aku dengan sebutan ‘Bang’,” tegur Ares berjalan mendekat ke arah Katarina. “Theo mana?” Katarina sontak bangkit dari duduk. “Sedang jemput Tante Armila di supermarket.” Ares menganggukkan kepala. “Papa di rumah?” “Om Guntur sedang di luar,” jawab Katarina. “Kamu sendirian di sini?” Katarina menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya. “Theo nggak bilang kalau kamu pulang ke Jakarta.” “Theo nggak tahu kalau aku pulang ke Jakarta. Ada acara pernikahan yang harus aku hadiri, besok juga aku udah balik lagi ke Bali.” “Oh,” balas Katarina mengangguk paham. “Aku masuk dulu,” kata Ares seraya berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Katarina yang berdiri kikuk di depan kursi. Katarina menghela napas dalam. Rasanya kenapa sulit sekali untuk bersikap tidak canggung di depan Ares, sih? *** “Bang, lo balik Jakarta? Kenapa nggak ngabarin, sih?” tanya Theo seraya berjalan mendekat ke arah Ares yang saat ini sedang duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi. Ares menoleh ke arah Theo. “Sebenarnya gue berencana mau langsung balik ke Bali. Tapi, gue kecapean. Jadi, gue mampir sini akhirnya.” Theo mengambil duduk di kursi yang berada di samping Ares. “Lo tadi ketemu Katarina?” Ares mengangguk. “Iya,” jawabnya. “Kalian jadi menikah bulan depan?” Theo tersenyum lebar. “Jadi lah. Kami bakal menikah tanggal tiga. Padahal gue pengennya kami bisa menikah akhir bulan ini. Paling nggak tanggal 30 kek.” “Cuma selang tiga hari doang. Nggak ada bedanya,” kata Ares enteng. “Beda lah,” sahut Theo. “Kan semakin cepat kami menikah akan semakin baik.” Theo tersenyum lebar yang membuat Ares geleng-geleng kepala. “Lo sebahagia itu?” tanya Ares menatap ke arah Theo dengan kening berkerut. Theo menganggukkan kepala. Senyum kecil bertengger di bibirnya. “Iya. Gue sangat bahagia. Dia bikin gue bahagia. Dan gue berharap dia pun bahagia. Beneran deh, gue nggak pernah bayangin bisa sampai sebahagia ini hanya karena seseorang,” jawabnya. “Pastikan lo pulang ke sini beberapa hari sebelum hari pernikahan gue, please.” Ares menghela napas dalam. “Sehari sebelum pernikahan lo, gue pastikan sudah berada di Jakarta.” “Terlalu mepet, Bang. Tanggal 30 deh, lo balik sini. Ya?” “Lo pikir gue anak TK yang bisa bolos kapan aja?” “Lo kan bisa ambil cuti, Bang. Please,” kata Theo. “Demi gue.” “Nggak bisa.” “Please, Bang,” kata Theo lagi. “Kalau ada lo kan gue bisa tenang. Karena gue yakin, gue pasti stres menjelang hari pernikahan gue. Ya?” Ares menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. “Akan gue pertimbangkan.” “Oke. Thank you!” kata Theo merasa senang. “Cewek lo ajak sekalian ke sini.” Ares mendenguskan tawa pelan. “Dia sibuk,” katanya. “Bahkan di hari pernikahan calon adik iparnya?” tanya Theo dengan nada tidak percaya. Ares mengangkat kedua bahunya. “Mungkin,” jawabnya. “Paling nggak, bilang dulu ke dia, ya? Kan kali aja dia bisa datang.” “Iya, Theo. Nanti gue bilang ke Ines,” kata Ares. “Omong-omong, itu mobil siapa? Lo beli baru?” tanya Theo menunjuk mobil hitam yang terparkir di halaman rumah dengan dagunya. “Punya temen gue. Besok gue balikin pas mau berangkat ke bandara.” “Besok lo pulang jam berapa?” “Pagi,” katanya. “Jam?” “Pesawat gue berangkat pukul sepuluh.” “Besok sarapan bareng gue sama Katarina ya?” ajak Theo. “Nggak bisa,” kata Ares. “Gue harus balikin mobil dulu ke tempat temen gue.” Theo menghela napas dalam. “Ampun deh, punya Abang sok sibuk banget.” Ares tersenyum miring. “Gue memang orang sibuk, Theo.” Theo memutar bola matanya dengan bosan mendengar perkataan abangnya yang memang benar adanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD