Bab 8

1226 Words
“Mama,” panggil Katarina seraya berjalan mendekat ke arah wanita paruh baya yang tengah duduk di salah satu meja yang berada di dekat jendela. Wanita itu bangkit dari duduk lalu memeluk Katarina dengan hangat. “Kamu baru pulang dari kantor?” tanya Ramita seraya kembali duduk di kursinya. “Iya, Ma,” jawab Katarina mengambil duduk di kursi yang berhadapan dengan mamanya. “Maaf nggak bisa jemput Mama di bandara.” Sore ini Ramita sampai di Jakarta. Karena berhubung Katarina masih berada di kantor, belum pulang ke kost, akhirnya mereka sepakat untuk bertemu di kafe yang berada dekat dengan kantor Katarina. Lalu, nantinya mereka akan pulang ke kost bersama. Selama tinggal di Jakarta, Ramita memang akan menginap di kost Katarina. Namun, jika Farhan, Papanya Katarina, tiba di Jakarta, mereka akan pindah ke hotel karena tidak mungkin kamar kost Katarina yang tidak begitu luas dihuni tiga orang. Ramita tersenyum lalu menggelengkan kepala. “Nggak apa-apa,” katanya. “Lagian Mama nggak nyasar kan.” “Tetap aja,” balas Katarina. “Tadi Theo juga mau jemput Mama. Tapi, ada rapat dadakan. Ini juga dia masih di kantor, Ma. Lembur kayaknya. Mama udah dari tadi banget nungguin aku, ya?” “Baru aja, kok. Ini minuman Mama juga belum habis.” Ramita menunjuk satu gelas lemon tea pesananya yang tinggal setengah. “Jadi, bagaimana persiapan pernikahan kamu?” Katarina tersenyum kecil. “Udah siap semua sih, Ma. Undangan juga udah jadi dan sebagian udah disebar. Cuma tinggal nunggu hari H,” jawabnya. Seminggu lagi Katarina akan menikah. Oleh sebab itu Ramita, mamanya, datang ke Jakata untuk mendampingi putrinya. Papa Katarina sendiri rencananya akan datang sekitar tiga hari lagi dari sekarang. Awalnya Papanya akan ikut ke Jakarta hari ini. Tapi, karena bengkel harus diurus jadinya Papanya masih tinggal di Malang dan akan menyusul tiga hari lagi. Tiba-tiba saja Ramita memegang tangan putrinya. “Katarina,” panggilnya. “Apa nggak ada yang pengen kamu bilang ke Mama sebelum kamu menikah?” tanyanya dengan nada serius. “Bilang apa?” tanya Katarina dengan nada bingung dan cemas. “Apa pun?” Katarina menggelengkan kepala. “Nggak ada, Ma.” Untuk beberapa saat Ramita mengamati Katarina dengan ekspresi berpikir. Lalu, wanita itu tersenyum kecil dan mengelus sisi wajah putrinya. “Selama kamu bahagia, Mama ikut bahagia,” katanya. Mendadak saja Katarina merasakan bahwa Mamanya tahu jika ada yang tidak beres dengan rencana pernikahan Katarina dan Theo. Memang, beberapa kali mamanya menanyakan alasan kenapa pernikahan mereka tampak terburu-buru. Katarina sendiri hanya menjawab jika itu keinginan Theo dan keluarganya. Dan sekarang, entah kenapa, Katarina yakin jika Mamanya tahu bahwa dirinya tengah mengandung. Karena, hanya alasan itu lah yang paling masuk akal jika mengingat pernikahan Katarina yang terburu-buru. “Aku bahagia, Ma,” kata Katarina meyakinkan Mamanya. “Sangat bahagia. Theo sayang banget sama aku. Keluarganya pun memperlakukanku dengan sangat baik. Aku beruntung, Ma.” “Theo cinta sama kamu?” tanya Mamanya. “Kalau dia nggak cinta sama aku, dia nggak akan nikahin aku, Ma,” ucap Katarina lirih. Ramita menarik napas dalam lalu mengangguk kecil. “Bagus kalau begitu,” katanya. *** “Kayaknya Mamaku tahu kalau aku hamil,” kata Katarina kepada Theo keesokan harinya. Saat ini mereka tengah makan siang bersama di salah satu restoran yang berada di dekat kantor Katarina. “Kamu bilang ke mamamu?” tanya Theo menatap Katarina dengan kernyitan di dahi. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak bilang apa-apa ke Mama. Tapi, entah bagaimana aku ngerasa kalau Mama tahu.” “Apa ini berita buruk?” tanya Theo terdengar cemas. Katarina menarik napas dalam. “Sepertinya nggak,” jawabnya. “Mama nggak bilang apa-apa, sih. Tapi, kayaknya bukan berita buruk.” Theo meremas pelan tangan Katarina, mencoba membuatnya tenang. “Kurang dari seminggu kamu udah jadi istri orang, Katarina. Kamu nggak perlu khawatir,” katanya dengan senyum menenangkan. Katarina tersenyum kecil lalu mengangguk. “Iya,” katanya. “Bayi ini akan punya ayah.” “Benar,” jawab Theo. “Oh ya, apa nggak seharusnya kita pergi ke dokter untuk memeriksakan kandunganmu?” Katarina menggelengkan kepala. “Nggak sekarang. Nanti aja, setelah kita menikah.” “Kamu yakin?” tanya Theo. “Yakin. Lagian, aku merasa baik-baik aja. Dan aku yakin babyi ini juga baik-baik aja,” ucap Katarina seraya mengelus perutnya. “Oke kalau kamu maunya begitu,” balas Theo. “Omong-omong, kamu nggak ngidam sesuatu? Orang hamil kan biasanya ngidam yang aneh-aneh.” Katarina terkekeh pelan. “Kalau aku ngidam sesuatu yang aneh, memangnya kamu mau nurutin?” tanyanya “Selama aku bisa kenapa nggak?” kata Theo. “Jadi, apa kamu pengen sesuatu?” Katarina diam sejenak. Ia tengah memikirkan sesuatu yang mungkin saja sangat ia inginkan. Tapi, selain ingin segera menikah dengan Theo, Katarina merasa tidak menginginkan apa-apa. “Nggak ada yang aku pengen,” jawab Katarina menggelengkan kepala. “Kamu yakin?” tanya Theo seraya mengernyitkan dahi menatap Katarina. Katarina menganggukkan kepala. “Yakin,”katanya. “Nggak perlu sungkan kalau kamu pengen sesuatu bilang aja,” kata Theo lagi. Katarina tertawa pelan. “Orang nggak pengen apa-apa,” ucapnya. “Kamu nggak pengen makanan apa gitu? Rujak? Atau mungkin mangga muda?” Katarina tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Nggak,” ucapnya. “Oh, atau mau buah rambutan? Pisang? Melon? Semangka?” “Nggak, Theo. Aku nggak pengen buah-buahan ataupun makanan apa pun,” jawabnya. “Tapi, sebenarnya ada yang sangat amat aku pengenin.” Katarina menatap Theo dengan memasang ekspresi berharap. Theo menganggukkan kepala. “Kamu pengen apa? Bilang aja, nanti aku beliin,” katanya dengan percaya. Katarina diam sejenak. Lalu, ia menggelengkan kepala. “Nggak deh, kamu pasti nggak mau nurutin.” “Memangnya kamu pengen apa? Bilang dulu, nanti aku turutin,” kata Theo penuh dengan percaya diri. “Aku ragu kamu bakal bisa nurutin yang sedang aku pengen,” ucap Katarina sambil mengerucutkan bibir. “Apa, sih?” tanya Theo penasaran. “Bilang dong, sayang, biar aku usahain buat dapetin yang kamu pengen.” “Serius kamu mau usahain?” Theo menganggukkan kepala dengan yakin. “Iya, serius. Jadi, kamu pengen apa?” “Es krim cokelat,” jawab Katarina. “Es krim cokelat sih, aku masih bisa beliin, sayang.” “Tapi, maunya yang nganterin Henry Cavill.” Theo menatap Katarina dengan tatapan tidak percaya. “Henry Cavill?” Katarina tersenyum lalu menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya singkat. “Henry Cavill hidup di belahan bumi mana, sih, sayang? Nggak mungkin banget aku ketemu sama dia. Apalagi kalau minta dia buat nganterin es krim buat kamu,” gerutu Theo yang membuat Katarina tertawa. “Terlalu mustahil buat dilaksanakan, sayang. Yang lain, kek.” “Chris Evans kalau begitu,” ucap Katarina mencoba menahan tawanya. “Nggak bisa datangin Superman, sekarang kamu maunya Captain America? Astaga,” balas Theo menghela napas dalam. “Mending sekalian aja nyuruh aku buat ngundang Ipin dan Upin buat makan siang bareng kita, Yang.” “Bisa?” tanya Katarina. “Ya enggak lah, Yang,” jawab Theo dengan ekspresi wajah nelangsa. Sontak saja Katarina tertawa puas melihat ekspresi wajah Theo yang sangat lucu. Bagaimana bisa Katarina tidak jatuh cinta dengan pria jenaka seperti Theo? Pria itu sungguh membuat hari-hari Katarina menjadi semakin baik. “Es krim cokelat aja ya, Sayang? Aku yang beliin, aku juga yang nganterin. Oke?” tanya Theo. Katarina terkekeh sambil menganggukkan kepala. “Oke,” jawabnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD