Bab 9

1408 Words
Ponsel Katarina bergetar. Buru-buru ia mengangkat panggilan dari kontak nama Theo. “Halo,” sapanya sambil tersenyum kecil. “Halo, sayang,” balas Theo. “Kamu jadi nginep di hotel bareng Papa sama Mamamu?” “Nggak jadi,” jawab Katarina. “Tadi habis nganterin Papa sama Mama di hotel aku langsung pulang ke kost.” “Seharusnya Papa sama Mamamu biar nginep di rumahku.” Katarina menghela napas dalam. “Kamu tahu sendiri Mama sama Papaku nggak mau ngerepotin. Sungkan katanya.” “Mana ada ngerepotin,” balas Theo. “Itu juga yang aku bilang ke Mama sama Papa,” kata Katarina. Kemarin malam Farhan, Papa Katarina sampai di Jakarta. Dan sejak semalam Farhan serta Ramita sudah menginap di hotel yang tak jauh dari kediaman kedua orang tua Theo. Padahal kedua orang tua Theo sudah meminta mereka untuk tinggal di rumah kedua orang tua Theo. Tapi, dengan alasan sungkan mereka menolak ajakan tersebut. Selain itu, tinggal di hotel jauh lebih bebas dari tinggal di rumah orang lain. “Omong-omong, kamu udah siap buat menikah, Katarina?” tanya Theo. Katarina tersenyum kecil. “Sejak dulu, memang itu yang kumau, Theo,” jawabnya. “Kamu sendiri? Apa kamu siap buat menikah denganku?” “Bukankah seharusnya hari ini kita udah menikah?” kata Theo. “Aku selalu pengen kita menikah bulan ini. Tanggal tiga terlalu lama.” Senyum Katarina melebar. “Tiga hari lagi, Theo. Apa kamu setidak sabar itu?” tanyanya. “Amat sangat tidak sabar,” balas Theo yang membuat Katarina terkekeh. “Aku tuh, cinta sama kamu. Cinta banget.” “Cinta banget?” goda Katarina. “Iya, banget!” ucap Theo. “Aku bahkan nggak bisa mengukur atau menghitung banget tuh seberapa. Yang pasti amat sangat banyak. Tak terhingga.” Katarina terkekeh mendengar pernyataan Theo. “Sebanyak itu?” “Iya, Katarina Ristya,” jawab Theo terdengar begitu sungguh-sungguh. “Aku merasa sangat beruntung dipertemukan dengan perempuan cantik, baik serta menakjubkan kayak kamu. Kamu bikin aku bahagia. Dan kamu adalah salah satu hal terindah yang aku miliki. I love you so much, Katarina.” Katarina sungguh tersentuh serta terharu mendengar pernyataan Theo itu. Dicintai oleh orang yang kita cintai adalah salah satu hal yang sangat langka. Tidak semua orang seberuntung itu. “Aku juga cinta sama kamu, Theo. Dan aku pun merasa beruntung punya kamu. Aku nggak sabar buat menghabiskan sisa hidupku bareng kamu. Aku yakin kita bakal bahagia selama-lamanya.” “Aku tahu kita pasti akan bahagia selama-lamanya,” ucap Theo. “Terima kasih, Katarina.” *** “Halo, calon pengantin,” sapa Gina seraya duduk di samping Katarina. Andrini yang juga datang bersama Gina kini mengambil duduk di kursi yang berada di depan Katarina. “Halo, juga,” balas Katarina tersenyum ke arah Gina dan Andrini. “Jadi, bagaimana rasanya mau menikah? Deg-degan?” tanya Andrini. Katarina menarik napas dalam lalu menganggukkan kepala. “Sedikit,” jawabnya. “Sedikit?” tanya Gina. “Agak banyak,” jawab Katarina lagi yang membuat ketiganya tertawa. “Gue tahu kalau Katarina bakal nikah lebih dulu dari kita, tapi gue nggak tahu kalau bakal secepat ini,” ucap Andrini. “Maksud gue, ingat nggak sih, kita bertiga pergi ke kafe ngecengin pria-pria tampan beberapa tahun yang lalu? Dan sekarang tahu-tahu Katarina udah mau jadi istri orang aja.” Katarina terkekeh mendengar ucapan Andrini itu. “Siapa tahu bulan depan lo nyusul. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi nantinya,” katanya. “Siapa bilang gue mau nyusul lo secepat itu?” balas Andrini dengan senyum lebar di bibirnya. “Kita bertiga sama-sama tahu kalau lo tuh yang paling ngebet pengen nikah,” sahut Gina seraya memutar bola matanya. “Ah iya,” kata Andrini. “Gue lupa kalau gue pengen segera dinafkahi suami.” Perkataan itu mengundang tawa Katarina dan Gina. “Jadi, apa semuanya sudah siap?” tanya Gina menoleh ke arah Katarina. Katarina menganggukkan kepala. “Semuanya sudah siap,” katanya. Dua hari lagi pernikahan Katarina akan digelar. Dan sejauh yang Katarina tahu, semuanya sudah siap. Dari tenda, makanan, undangan, baju pengantin, semuanya. Katarina sungguh bersyukur keluarga Theo membantunya mengurus pesta pernikahan mereka. Katarina sendiri tidak banyak membantu. Dirinya hanya tinggal bilang iya atau tidak dengan beberapa pilihan tentang segala hal mengenai pesta pernikahannya. Dan keluarga Theo sangat baik hingga mau menuruti permintaan Katarina yang memang tidak neko-neko. Katarina hanya ingin segera menikah. Tanpa sadar kini Katarina mengelus perutnya. Ia mencoba merasakan pergerakan dalam perutnya. Tapi, ia masih belum merasakan apa-apa di dalam perutnya. Perutnya pun masih belum tampak membesar. “Oh ya, bukannya Theo punya kakak ya? Kalau nggak salah dia kerja di Bali bukan sih? Dia balik Jakarta nggak buat menghadiri acara pernikahan kalian?” tanya Gina. “Theo punya kakak?” sahut Andrini. “Cewek apa cowok?” “Cowok,” jawab Gina. “Ganteng tahu.” “Sama Theo gantengan mana?” “Menurut gue sih, sama-sama ganteng!” kata Gina semangat. Katarina hanya geleng-geleng kepala mendengar kedua temannya itu. “Ares datang,” sahutnya. “Tapi, gue belum dapat kabar dia balik ke Jakarta kapan.” “Ares jomlo?” tanya Andrini dengan cengiran lebar. “Dia udah punya cewek,” jawab Katarina. “Belum nikah kan tapi?” “Belum,” jawab Katarina lagi. “Masih punya peluang dong gue berarti,” kata Andrini senang. “Emang dia mau sama lo?” ucap Gina. “Emang ada yang nggak mau sama gue?” “Banyak Andrini! Tobat lo,” timpal Gina sambil tertawa. Katarina pun ikut tertawa. “Astaga, gue capek jadi jomlo,” kata Andrini dengan helaan napas dalam. “Silakan berburu di acara pernikahan gue nanti,” ucap Katarina seraya mengedipkan sebelah matanya memberi kode. “Siap!” seru Andrini dan Gina bersamaan. *** Katarina berjalan menuju mejanya berada. Ia baru saja selesai rapat bersama dengan beberapa rekan kerjanya membahas satu projek iklan untuk klien. Kini di atas mejanya sudah ada sebuah buket bunga lily putih. Secara spontan senyum di bibir Katarina mengembang. Segera ia mengambil kartu yang tersemat pada bunga itu dan membaca tulisan di sana. Terima kasih sudah hadir di hidupku, Katarina. I love you so much. -Theo- Senyum Katarina semakin mengembang membaca pesan dari Theo itu. “I love you too,” gumam Katarina seraya membelai bunga yang tampak begitu indah dan berbau harum itu. Tanpa menunggu lama Katarina langsung merogoh ponselnya yang berada di dalam saku celananya. Segera ia mendial nomor Theo. Ia ingin mengabarkan jika bunga kirimannya sudah sampai. Juga, ia ingin mengatakan terima kasih kepada pria itu. “Nggak aktif,” gumam Katarina setelah mendengar suara operator di seberang panggilan yang memberitahukan bahwa ponsel Theo saat ini sedang tidak aktif. Katarina kembali menghubungi nomor Theo. Dan lagi, ia menerima pemberitahuan yang sama. “Katarina,” panggil suara di belakangnya. Katarina menoleh dan mendapati Gina tengah berjalan ke arahnya. “Apa, Gin?” “Mau nitip minum nggak? Gue mau turun buat beli minum.” Katarina menggelengkan kepala. “Nggak, Gin. Thanks,” ucapnya. “Dari Theo?” tanya Gina menunjuk buket bunga di atas meja Katarina. Katarina tersenyum lalu menganggukkan kepala. “Sial, gue iri,” ucap Gina yang membuat Katarina terkekeh pelan. “Apa gue harus kirim buket bunga buat diri gue sendiri?” “Ide bagus.” Katarina mengangkat jempolnya ke arah Gina. “Oke, akan gue pertimbangkan,” kata Gina. “Gue turun dulu.” Katarina melambaikan tangan ke arah Gina yang berjalan meninggalkannya. Tiba-tiba saja ponsel Katarina bergetar. Segera ia menatap layar ponselnya yang saat ini tengah menampilkan kontak nama Ares. Sontak saja Katarina mengernyit bingung. Rasanya sangat aneh melihat Ares menghubunginya. Ragu-ragu ia mengangkat panggila dari calon kakak iparnya itu. “Halo,” sapa Katarina. “Kamu di mana?” tanya Ares segera. “Di kantor,” jawab Katarina bingung. “Ada apa?” “Aku jemput. Sepuluh menit lagi aku sampai di depan kantormu,” katanya terdengar seperti sedang terburu-buru. “Tunggu,” kata Katarina cepat-cepat. “Ya?” “Kamu nggak salah sambung kan, Res?” tanya Katarina ragu-ragu. Rasanya agak aneh Ares menghubunginya. Bahkan, pria itu hendak menjemputnya. Terdengar helaan napas dalam dari seberang panggilan. “Nggak, Katarina. Tunggu aku di depan kantormu,” katanya segera. “Tapi—” “Bye,” potong Ares seraya memutuskan sambungan telepon mereka. Katarina menatap ponselnya dengan tatapan bingung. Kenapa Ares tiba-tiba mau menjemputnya? Apa yang Ares inginkan dari Katarina? Apa mungkin ini ada hubungannya dengan Theo? Mendadak saja perasaan Katarina jadi tidak enak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD