“Kumpulkan tugasnya hari Kamis. Ingat, tidak ada toleransi bagi yang tidak mengumpulkan tugas.” Bu Trisha–seorang pengajar ilmu pengetahuan alam kami mengingatkan sebelum akhirnya bel istirahat pertama berbunyi.
Murid-murid di kelas membereskan buku dan alat tulis di mejanya masing-masing, lalu tampak mengobrol satu sama lain, sementara beberapa dari mereka sudah lebih cepat meninggalkan kelas menuju ke arah kantin.
Sambil membereskan mejaku, aku berkata kepada Fiona yang sejak tadi pagi lebih pendiam dari biasanya. “Fio, ayo ke kantin,” ajakku. Fiona mengangkat kepalanya yang sebelumnya ia rebahkan di atas meja. Aku terkejut melihat wajahnya yang tampak pucat dan lesu. “Astaga, Fio? Kamu kenapa? Kamu sakit?”
Dengan wajah pucat itu, Fiona tampak masih berusaha memberiku senyum kecil. “Jangan khawatir, aku tidak sakit, Hara. Ini hanya efek datang bulan hari pertama, terkadang aku memang menjadi lemas seperti ini.”
Aku merasa prihatin lalu mengusap pundak Fiona. “Kalau begitu kamu tidak perlu pergi ke kantin bersamaku. Sementara ini, beristirahatlah. Atau kamu mau aku antar ke ruang kesehatan?”
“Tidak perlu. Sepertinya cukup kalau aku istirahat di kelas saja. Hara, tidak apa-apa ‘kan kamu ke kantin sendirian?”
“Astaga, apa aku terlihat seperti anak kecil yang akan tersesat?” Aku tersenyum pada Fiona. “Sudah seminggu lebih aku di sekolah ini, aku sudah sangat hafal jalan ke kantin. Jangan khawatir, aku akan membelikanmu makanan dan minuman hangat.”
“Terima kasih, Hara.”
“Tentu.”
ENC School memiliki satu bangunan kantin yang di dalamnya terdapat berbagai macam counter makanan dan minuman. Begitu sampai di kantin, aku langsung mendatangi counter salah satu makanan dan membeli dua bungkus chicken ball. Satu milikku dan satunya lagi adalah untuk Fiona. Selesai dengan makanan, aku mendatangi counter yang lain untuk membeli satu cup teh hangat yang akan kuberikan kepada Fiona. Di counter itu juga aku biasa memesan minuman rempahku. Karena sudah sering memesan, aku sampai memanggil penjual di counter minuman itu dengan panggilan Ibu kantin.
Sesampainya di counter minuman, rupanya Ibu kantin sedang tidak ada. Seorang penjaga counter yang lain lantas memberitahuku bahwa Ibu kantin sedang ke kamar mandi sebentar jadi aku memutuskan untuk menunggu saja. Aku duduk di kursi kosong tak jauh dari counter milik Ibu kantin yang kebetulan dekat dengan jendela kaca.
Saat aku sedang iseng melihat-lihat keadaan luar, aku tidak sengaja melihat Dean, Tama, dan Eizen sedang duduk bertiga di gazebo taman dekat kantin. Tetapi yang membuatku penasaran, sepertinya mereka sedang dalam obrolan yang serius. Apalagi setelah melihat wajah Eizen yang tiba-tiba memerah dengan ekspresi seperti tersipu malu, aku jadi curiga bahwa mereka bertiga sedang mengobrol tentang percintaan. Seketika, aku langsung teringat permintaan Kina semalam tentang Tama.
“Kebetulan sekali,” gumamku.
Tanpa ragu, aku beranjak keluar dari gedung kantin. Beberapa detik kemudian aku sudah bersembunyi di semak-semak, tepatnya di balik tanaman kaktus. Kebetulan kaktus itu ditanam di pot yang besar jadi dengan mudah aku menyembunyikan tubuhku yang kurus di balik pot itu. Selain itu, yang terpenting adalah area sudut taman ini jarang dilewati oleh murid sehingga aku tidak perlu khawatir akan ada yang memergoki perbuatanku. Sebelumnya aku tidak pernah bersembunyi dan mengintip hanya untuk sengaja menguping pembicaraan orang lain, tetapi entah bagaimana sekarang itu terjadi. Semua ini kulakukan demi Kina.
Aku mulai melakukan pengintaian. Samar-samar, bisa kudengar pembicaraan mereka. Ternyata benar, mereka sedang membicarakan perempuan.
Apa? Mataku terbelalak. Aku tidak salah dengar bukan? Ternyata Eizen belum pernah berpacaran dan tidak berniat membuang hidupnya yang katanya berharga hanya untuk berpacaran dengan perempuan?
“Jangan-jangan….” Aku menutup mulutku yang refleks terbuka karena tidak percaya. “Apakah itu artinya dia bengkok?
Aku bergeser demi mendapatkan informasi yang lebih akurat. Tetapi malah tidak sengaja menginjak sesuatu. Ketika kulihat ke bawah, rupanya itu adalah seekor katak. Refleks, aku memekik kecil bersamaan dengan bunyi berdengkang katak itu. Aku bisa merasakan usaha katak itu yang berontak ingin melarikan diri dari bawah sepatuku, tetapi semuanya terjadi begitu cepat, aku tidak bisa mengangkat kakiku. Seperti menginjak kulit pisang, katak itu pun membuatku terpeleset. Karena gagal menyeimbangkan diri, aku pun jatuh terlentang dihujani puluhan butir chicken ball.
Oh, apa yang salah dengan makhluk-makhluk di pulau Neilborn ini? Bahkan sekarang aku dibuat celaka oleh seekor katak! Aku mengerjap dan mengembuskan napas kesal sambil secepat mungkin berusaha bangkit.
“Gadis kota, apa yang sedang kamu lakukan?”
Suara dingin yang amat kukenal itu mengalun dan menembus telingaku. Sudah jelas, siapa pemilik suara itu! Siapa lagi yang memanggilku ‘gadis kota’ di pulau Neilborn ini kalau bukan….
“Eizen?” suara terkejutku terdengar samar.
Di sebelah pohon kaktus, Eizen, Tama, dan Dean sudah berdiri menghadapku. Dean dan Tama tampak menatapku bingung, sementara Eizen memberiku tatapan yang lebih mirip kepada tatapan seorang pemilik rumah yang mencurigai seorang pencuri. Tidak! Apa yang harus aku katakan sekarang?
“Apa yang kamu lakukan di semak-semak ini?” tanya Eizen lagi.
“Oh, ini…” kataku lalu melihat ke arah chicken ball-ku yang berjatuhan di tanah. “Aku berniat memberi makan katak, tetapi malah terpeleset dan makananku tumpah.”
“....”
Mendengar alasanku, mereka tampak diam tanpa ekspresi. Mungkinkah merasa aneh? Bodoh, alasan apa yang baru saja keluar dari mulutku?
“Kamu memberi makan katak yang sedang sekarat,” celetuk Eizen, lalu tersenyum miring.
Sekarat? Mataku secara alami menengok katak yang sedang kukambinghitamkan. Kemudian, seketika aku merasa bersalah karena ternyata katak yang kuinjak sudah gepeng dan tidak bergerak tetapi dia masih terlihat bernapas. Aku segera berjongkok untuk mengambil katak itu dan meletakkannya di atas telapak tanganku. Rasa jijikku pun hilang oleh keadaan terdesak.
“Hara, katak itu sudah mati,” ucap Dean.
Aku memperhatikan katak di tanganku yang ternyata sudah berhenti bernapas. Meskipun aku merasa jijik, tetapi entah mengapa aku cukup sedih karena akhirnya katak itu mati.
“Maafkan aku,” ucapku. Ini tidak pura-pura, tetapi aku benar-benar ingin menangis sekarang.
Tama mengambil katak itu dari tanganku lalu meletakkannya kembali di tanah. “Cukup. Tidak perlu bersedih, Hara. Setiap makhluk hidup sudah memiliki takdir usianya sendiri-sendiri. Sekarang katak itu mati memang karena jatah usianya di bumi sudah habis. Tidak hanya katak, semua makhluk hidup di bumi akan mengalaminya–mati.”
Aku yang tertunduk lalu mengangkat wajahku, menatap dengan mata berkaca-kaca kepada Tama yang sedang tersenyum manis. Usia Tama hanya satu tahun di atasku tetapi dia terlihat jauh lebih tenang dan dewasa dariku. Hening untuk beberapa saat.
Dean menengok jam tangannya. “Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Lebih baik sekarang kita kembali ke kelas.”
Tama menepuk pundakku pelan. “Jangan bersedih, oke?” ucapnya, lalu ia menyusul Dean.
Aku tidak menyukai ini, tetapi sekarang di dekat pohon kaktus ini hanya tersisa aku dan Eizen. Entah apa yang lelaki itu pikirkan, dengan tatapan ularnya itu, ia menatap wajahku untuk waktu yang lama dalam diam. Lalu dia tiba-tiba melangkah mendekatiku hingga aku dan dia saling berhadapan dengan jarak sangat dekat. Aku melebarkan mataku. Melihat tatapan ularnya, rasanya air mataku seketika mengering.
“Aku tahu apa yang baru saja kamu lakukan di sini. Kamu berusaha menguping kami bukan?” lontar Eizen.
Mataku melebar. Astaga, rupanya lelaki ini tahu perbuatanku! Napasku tersendat di tenggorokan tetapi sebisa mungkin aku berusaha menghela napas. “Ti–tidak. Kamu salah sangka. Aku tidak melakukan seperti yang kamu tuduhkan,” dustaku.
“Jujur saja, apa saja yang sudah kamu dengar?”
Aku menggeleng. “Aku tidak mendengar apa-apa.”
Dengan kepala dimiringkan ke arah telinga kananku, dia memberiku senyum simpul yang mengerikan sehingga membuatku merinding. “Pembohong. Aku yakin kamu telah menguping kami,” lontarnya kepadaku dengan suaranya yang rendah. “Baiklah jika kamu tidak mau mengaku, tetapi kuperingatkan… jangan coba-coba membuka mulutmu kepada orang lain tentang apa yang baru saja kamu dengar.”
Aku tercengang. Jadi dia sedang mengancamku? Aku tidak terima. Maka, ketika dia mulai berbalik, aku berkata dengan penuh tekanan kepadanya. “Hanya lelaki pecundang yang beraninya mengancam gadis lemah!”
“Apa katamu?” Eizen kembali berbalik.
Aku menelan ludah, lalu kukumpulkan keberanianku untuk mengungkap fakta tentangnya. “Baiklah, tidak akan kututupi lagi. Aku memang tidak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan Tama dan Dean. Ternyata kamu menghindari semua perempuan di sekolah ini karena kamu lelaki bengkok bukan? Sekarang kamu mengancamku karena takut orang lain tahu rahasiamu.”
“Aku? Lelaki bengkok?”
“Ya. Kamu tidak memiliki ketertarikan kepada perempuan.”
Atmoster di sekitarku terasa memanas, dan entah mengapa suasana pun mendadak jadi sunyi. Bayangan yang gelap jatuh di atas wajahku ketika Eizen mendekat dan sedikit membungkuk ke arahku. Tatapannya tak terbaca dan itu tampak lebih mengerikan dari tatapan tajamnya yang biasanya. Kemudian, dengan jemarinya yang kasar, ia mengangkat daguku.
“Haruskah kubuktikan kepadamu bahwa sangkaanmu sama sekali tidak benar?” ucapnya.
“A–apa?” Aku memaksakan ekspresi berani, walaupun tak bisa ditutupi tubuhku menegang, sementara bibirku bergetar tidak bisa berkata-kata lagi. Suara rendahnya terngiang di telingaku dan sentuhan jemarinya mengirim rasa panas yang aneh di tulang belakangku.
“Jangan coba-coba membuat kesimpulan dari pembicaraan yang tidak kamu dengar secara lengkap. Atau… lain kali aku akan mengumpankanmu kepada beast.”
Aku membeku menerima ancamannya sekali lagi. Tetapi kali ini aku tidak membalasnya. Aku diam, tetapi aku belum kalah, aku hanya sedang mengalah. Kubiarkan dia berbalik lalu kutatap geram punggungnya yang semakin jauh meninggalkanku.
Sialan! Eizen Zivon! Dia berlagak seperti orang yang paling berkharisma di dunia ini, padahal dialah beast yang sesungguhnya!
***
Aku kembali ke kelas dengan napas yang terengah-engah. Beruntung saat aku sampai di kelas, bel masuk belum berbunyi.
“Kina, maaf aku lama,” ucapku kepada Kina. “Ini untukmu.”
Kina menerima satu cup teh hangat dan sebungkus chicken ball yang tadi buru-buru kubelikan lagi setelah yang sebelumnya tumpah.
“Mana milikmu?” tanya Kina.
“Oh, itu. Aku sudah memakannya sewaktu di kantin tadi.” Aku terpaksa berbohong karena tidak ingin membuat Kina merasa tidak enak.
Kina mengangguk mengerti. Lalu menyodorkan beberapa lembar uang kertas kepadaku.
“Tidak usah,” tolakku. “Seperti kamu yang selalu menolongku, aku juga ikhlas memberikannya untukmu.”
“Sungguh?” tanyanya dan tentu saja kujawab dengan anggukan. Kina lalu menyesap teh hangat itu. “Ah… ini sungguh membuatku lebih baik. Terima kasih, Hara.”
“Senang mendengarnya.”
Fiona menghela napas panjang dengan ekspresi lega. “Ngomong-ngomong, aku bisa merasakan sekolah menjadi lebih damai dua hari ini.”
“Kenapa?”
“Dua hari ini aku tidak melihat Dam berkeliaran. Sekolah jadi terasa lebih damai dan tenang tanpa keributan. Tidakkah kamu merasakannya juga?”
Dam? Setelah pikiranku tentangnya teralihkan sementara oleh sikap menyebalkan Eizen, sekarang aku jadi teringat lelaki itu lagi. Jika benar Dam sedang sakit, bagaimana keadaannya sekarang?
“Hei, Hara? Kenapa kamu malah melamun?” tegur Fiona.
“Maaf, kamu bilang apa tadi?”
“Sekolah terasa lebih damai tanpa Dam. Kamu setuju ‘kan?”
Aku hanya membalas Fiona dengan senyuman kecil. Bagaimana mungkin aku akan menyetujuinya, sementara dua hari ini aku malah merasa seperti kehilangan?
***