Lapangan Hijau

1443 Words
Aku berjalan bersama Tama, Dean, dan Eizen melintasi gugusan hutan. Bersama mereka, aku merasa seperti sendok teh kecil yang dikelilingi tiga sendok makan. Mereka tampak tinggi, besar, dan kokoh, sementara aku kerempeng dan rapuh. Apa yang terjadi jika tiba-tiba ada beast menyerang kami? Mungkin jika kami semua lari, aku akan berada di urutan paling terbelakang dan sudah bisa ditebak siapa yang akan menjadi incaran beast. Membayangkan tentang beast, aku mulai melihat sekeliling dengan sedikit gelisah. Terlebih hutan yang sedang kulewati ini tampak gelap. Selain karena ditumbuhi pepohonan yang tinggi, vegetasi yang ada juga didominasi tanaman merambat dan gulma. Berkali-kali Tama mengingatkanku agar berhati-hati dan waspada terhadap jalan setapak yang kulalui karena katanya tidak jarang ada ular yang tiba-tiba melitas. Oh, baiklah. Aku benci ular dan sekarang aku mulai merasa telah salah mengambil keputusan. Apa lebih baik sekarang aku pulang saja? Ah, tidak. Pasti Eizen akan mentertawakanku dan semakin melabeliku dengan sebutan ‘gadis kota’, jadi aku tidak boleh menyerah. Di sepanjang perjalanan, aku tidak tahu harus mengobrol apa dengan tiga lelaki di sekelilingku sehingga hanya menyimak obrolan dan candaan mereka saja yang terkadang sampai berteriak dan saling dorong. Walaupun hanya sebagai pendengar, berita bagusnya aku mulai merasa santai berada di tengah-tengah mereka, khususnya Dean dan Tama. Keluar dari gugusan hutan, pandangan kami disambut tanah lapang hijau yang sangat luas. Permukaan hijaunya tampak seperti karpet yang empuk, mungkin jika aku berdiri di sana rumputnya setinggi mata kakiku. Di bagian salah satu pojok tanah lapang itu terdapat banyak puing-puing seperti bekas reruntuhan bangunan. Oh, jadi ini yang mereka sebut lapangan hijau? Aku menoleh ketika secara perlahan merasakan hangat yang menyebar di punggungku. Rupanya jauh di arah belakangku, matahari mulai bergerak turun menuju cakrawala, seperti bola raksasa yang menembakkan berkas-berkas cahaya oranye yang indah pada pepohonan dan diteruskan kepada tubuh belakangku. Tama lalu menginstruksikan kepadaku untuk melanjutkan perjalanan. Aku pun meninggalkan berkas sinar matahari senja lalu mengikuti Tama, Dean, dan Eizen menuruni bukit kecil hingga sampai di reruntuhan bangunan. Beberapa burung gagak terkejut oleh kehadiran kami dan tampak lari terbang dengan kepakan sayap yang keras, serta jerit keokan mereka yang mengirim gema di atas kepalaku. “Hara,” panggil Tama, “Selama kami latihan, kamu bisa duduk santai di atas salah satu batu ini. Tenang saja, di sini aman kok.” Aku tersenyum dan mengangguk kecil kepada Tama. “Reruntuhan batu ini sangat banyak. Sepertinya bekas bangunan besar, ya?” “Dulunya di sini adalah area mess para pekerja pabrik semen,” terang Tama. “Kamu lihat ‘kan, pegunungan di seberang hutan sana adalah pegunungan kapur. Tetapi perusahaan itu hanya bertahan tiga tahun lalu bangunan ini menjadi terbengkalai hingga akhirnya bertahun-tahun menjadi reruntuhan.” “Mungkinkah perusahaan itu bangkrut?” tanyaku. Tama menggeleng sambil memakai sarung tangan miliknya yang berwarna hitam. “Itu karena selama beroperasi, kabarnya mereka banyak mendapat gangguan. Mulai dari alat-alat mereka yang seringkali rusak dan sangkut paut hilangnya beberapa pekerja dengan cerita mistis, seperti serangan beast. Beberapa orang percaya cerita itu dan banyak juga yang tidak percaya.” “Jadi… apakah kamu termasuk orang di Neilborn ini yang percaya tentang keberadaan beast?” “Ya. Karena itu aku, Dean, dan Eizen berlatih panahan ketika senggang, salah satunya untuk melindungi diri kami dari serangan beast,” jelas Tama, tepat saat ia telah selesai memakai sarung tangannya. “Oh, ya, Hara. Kudengar dari Fiona kamu sempat diserang beast saat berada di halaman belakang sekolah?” Aku mengangguk pelan. “Uhm…. Ya.” “Kamu pantas bersyukur. Untung saja ada seorang Napherum yang berbaik hati menyelamatkanmu.” “Hah?” “Kenapa terkejut begitu?” “Ah, maaf. Aku tidak menyangka kalau kamu tidak hanya percaya keberadaan beast, tetapi juga Napherum.” Tama tergelak. “Dan satu lagi… demon. Sebenarnya aku, Dean, dan Eizen masih keturunan suku Urbei, jadi jangan kaget kalau sejak kecil kami sudah mempercayai keberadaan makhluk-makhluk itu.” Aku mengangguki penjelasan Tama. “Rupanya begitu, ya.” “Hei, Tama!” seru Eizen dari kejauhan. “Apakah kamu akan terus mengobrol dengan gadis kota itu dan tidak membantu kami, hah?” “Oh, oke!” balas Tama, melambaikan tangannya kepada Eizen. “Baiklah, Hara. Aku akan membantu Dean dan Eizen menyiapkan target panahan. Meskipun kami nanti berlatih, tetapi jangan ragu untuk memberi tahu kami jika nanti kamu tiba-tiba merasa bosan menonton panahan ini. Aku, Dean, atau Eizen bisa mengantarkanmu pulang lebih awal.” Sekali lagi, aku mengangguk kepada Tama. “Maaf jika merepotkanmu.” “Sama sekali tidak,” ucapnya diakhiri senyuman manis. Aku melihat Tama lalu melakukan persiapan bersama Dean dan Eizen. Selama mereka sibuk dengan persiapan itu, diam-diam aku memperhatikan sekitar. Jujur saja, aku menikmati kesunyian dan kedamaian tempat ini. Kubayangkan suasana santai pada suatu pagi yang hangat, ditemani sepoi-sepoi angin sejuk yang menerpa ilalang di sekitar puing reruntuhan, sementara tanah lapang yang kupikir mirip padang rumput ini pasti begitu tampak segar oleh embun pagi. Ah, andai tempat sedamai ini bisa dengan mudah ditemukan di kota. Merasa perlu mengabadikan tempat ini, aku lantas mengambil ponsel dari saku celanaku. Selesai mengambil beberapa video, aku kembali duduk di salah satu batu besar bekas puing reruntuhan. Kebetulan juga Tama, Dean, dan Eizen sudah mulai berlatih panahan. Untuk kali pertama aku melihat secara langsung seseorang berlatih panah. Tetapi kupikir istilah latihan hanya basa-basi mereka saja, sebab yang kulihat justru mereka sangat mahir bermain panah bahkan dengan target yang sangat jauh–berpuluh-puluh meter. Dengan kemampuan menembak tepat sasaran seperti itu, aku yakin mereka tidak akan kesulitan ketika menghadapi beast. Kukira menonton latihan panahan itu membosankan, ternyata tidak. Sepanjang waktu latihan, aku seperti tak habis dibuat terpukau oleh kemampuan mereka, khususnya Eizen. Jujur saja, sebenarnya si bunga beku sombong itu terlihat sangat keren dan cocok dengan busur dan anak panah di tangannya. Tapi ketika aku teringat kepribadiannya lagi, saat itu juga kucabut kekagumanku padanya. Aku kembali menyaksikan latihan panahan itu. Hingga ketika matahari telah benar-benar terbenam, Tama, Dean, dan Eizen memutuskan mengakhiri latihan dan kami pulang. *** Malamnya, seperti biasa aku mengobrol via chat bersama Kina. Aku belum bisa melupakan tempat indah dan tenang yang baru saja kukunjungi sore tadi serta pengalaman pertamaku melihat latihan memanah–koreksi mungkin lebih tepatnya pertunjukan memanah. Maka sekarang aku sudah tak tahan ingin membagikannya kepada Kina. Setelah mengobrol via chat, akhirnya kukirimkan beberapa video kepada sahabatku itu. Aku: Hei, lihatlah, Kina. Ini tempat lapangan hijau yang kumaksud. Di waktu senja seperti ini, terlihat indah bukan? Aku tidak bisa membayangkan, pasti tempat ini akan lebih indah ketika pagi. Tak lama setelah pesan itu terkirim dan terbaca, Kina langsung menghubungiku via video call. “Hara! Kamu gila!” lontar Kina begitu panggilan video tersambung. Aku tertawa percaya diri. “Kamu pasti terpukau karena tempat itu bagus sekali, bukan?” “Bukan! Yang kumaksud bukan tempat itu, Hara! Tetapi lelaki tanned skin berambut pirang yang ada di videomu. Dia benar-benar tipeku. Siapa dia, Hara?” “Hah?” Mataku refleks melotot dan menepuk jidatku sendiri. “Kina! Jadi kamu bukan memperhatikan tempatnya melainkan lelaki dalam video itu?” “Di mataku lelaki itu begitu bersinar melebihi senja di dalam videomu. Bagaimana bisa ada lelaki seperti itu lepas dari perhatianku? Apa… jangan-jangan dia yang bernama Eizen?” Aku menghela napas mencoba sabar menghadapi kegilaan Kina. “Dengar, ada tiga lelaki dalam video itu. Yang memakai baju abu-abu bernama Dean, yang memakai baju hitam itu Eizen. Nah, lelaki berbaju merah yang kamu maksud itu adalah Tama.” “Tama? Woah! Baru mendengar namanya saja rasanya hatiku sudah meleleh.” “Oh, kamu sungguh berlebihan.” “Hara, aku ingin berkenalan dengannya!” Aku mengangkat salah satu alisku. “Hah? Bagaimana caranya? Jangan memaksaku untuk menjadi jembatan di antara kalian berdua. Karena seorang Hara tidak akan melakukannya. Lagi pula… sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengan Tama. Dan aku juga tidak tahu apakah dia sudah memiliki pacar atau belum. Tentu saja jika dia sudah memiliki pacar, aku tidak ingin kamu menjadi pelakor.” “Huh! Karena itu aku berharap kamu bisa mencari tahu tentangnya untukku. Apa kamu tidak kasihan kepada sahabatmu ini? Sudah lama sahabatmu ini menjomblo karena belum bertemu lagi dengan lelaki yang sesuai tipeku. Aku tidak ingin menjadi jomblo akut sepertimu, Hara!” “Hei, baiklah aku memang jomblo akut karena belum pernah memiliki pacar, tapi paling tidak aku masih normal! Aku masih menyukai seorang laki-laki!” belaku. “Ya, ya, ya! Jadi bagaimana? Kamu akan membantuku, bukan?” “Membantu apa?” “Mencari tahu tentang Tama. Please? Aku mohon!” paksa Kina dengan wajahnya yang memelas dan kedua tangan yang ditangkupkan. Aku yang tidak tegaan pun lalu menghela napas. “Oh, Kina. Sungguh aku benci saat kamu merengek padaku.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD