Bunga Beku Sombong

1605 Words
Jam belajar sekolah berakhir. Aku meninggalkan kelas bersama Fiona. Kali ini aku tidak perlu ke kantin untuk memesan minuman rempah, karena aku sudah mengambilnya lebih awal, yaitu saat jam istirahat ke dua tadi. Ketika melewati koridor kelas Diorit, kami bertemu Eizen yang baru saja keluar dari kelas. Fiona lalu mengajak lelaki berwajah masam itu untuk bergabung bersama kami. Tanpa banyak kata, Eizen pun langsung melewatiku untuk memposisikan dirinya berjalan di sebelah Fiona. “Hara,” kata Fiona saat sebentar lagi kami akan sampai di halaman depan sekolah. “Aku mau ke kantin sebentar membeli beberapa camilan. Bagaimana kalau kamu dan Eizen menungguku di teras halaman depan?” Apa? Duduk berdua bersama Eizen? Aku menelan ludahku dan ekspresi wajah sudah persis seperti seorang anak yang merengek karena tidak mau ditinggal oleh Ibunya. “Fi–Fiona, aku mau ikut bersamamu saja ke kantin,” pintaku. “Tidak usah, Hara. Hanya sebentar saja, kok.” “Ta–tapi, Fio…” Ketika aku ingin menjerit kepada Fiona, ‘tolong jangan tinggalkan aku berdua bersama Eizen!’, tiba-tiba si lelaki masam itu bersuara. “Aku masuk duluan ke bus,” katanya, lalu langsung berjalan begitu saja meninggalkan kami. “Eizen! Kamu harus menunggu Hara!” tegur Fiona, tetapi Eizen sama sekali tidak menoleh bahkan sepertinya dia sengaja berjalan cepat. Di sebelahku, lantas Fiona menghela napas. “Ah, tingkah Eizen memang kadang menyebalkan.” Aku cepat-cepat mengangguk setuju. Kalau bisa, aku juga ingin menambahkan. Bukan hanya kadang, tetapi tingkah lelaki berwajah masam itu memang selalu menyebalkan! Begitulah Eizen Zivon. Bahkan di sekolah, ia sampai diberi julukan ‘bunga beku sombong’ oleh para murid perempuan. Melalui prestasi akademiknya dan modal wajahnya yang lumayan dia menjadi mudah terkenal di ENC School, tetapi karena kepribadiannya yang dingin dan tidak ramah, dia menutup diri dari kebanyakan murid perempuan yang mencoba mendekatinya, dan itu membuat citranya sedikit buruk di sekolah sehingga ia dijuluki ‘bunga beku sombong’. Satu-satunya murid perempuan yang dekat dengannya adalah Fiona Kane. Karena kedekatannya itu aku mendapat sedikit informasi dari Fiona tentang Eizen bahwa kepribadian Eizen yang dingin dan tertutup itu sebagian besar disebabkan oleh kematian kedua orang tuanya saat usianya masih kecil. Aku salah sangka. Kupikir bu Vivian adalah Ibu dari Eizen, ternyata selama ini Eizen tinggal bersama keluarga paman dan bibinya, yaitu di rumah panggung bercat putih tak jauh dari rumahku. Sejujurnya, aku bersimpati dengan latar belakang Eizen itu, tetapi hanya dengan tatapan tajamnya yang selalu terasa mencekikku dikombinasikan dengan ucapannya yang seringkali frontal itu, rasa simpatiku menguap begitu saja. “Ya, sudah, Hara,” sambung Fiona. “Kalau begitu kamu susul Eizen dan masuk bus duluan saja.” Kedua alisku refleks terangkat. Menyusul Eizen? Fiuuuh! Aku sudah tahu bagaimana sikap Eizen kepadaku, jadi mana mungkin aku repot-repot menyusulnya? Aku pun menggeleng kepada Fiona. “Keberangkatan masih agak lama. Aku merasa sumpek kalau menunggu di dalam bus. Jadi aku menunggu kamu di teras halaman depan saja, ya?” “Serius?” “Ya.” “Oke. Aku berjanji tidak akan lama,” ucap Fiona. Selagi Fiona ke kantin, aku pun menuju teras halaman depan sekolah lalu duduk di sana. Kuteguk minuman rempah sambil berusaha menelan pahit-pahit sikap Eizen yang menyebalkan itu. Setelahnya, kepalaku memutar ke sana ke mari. Bukan tanpa alasan, aku mencari seseorang, yaitu Dam. Ya, seharian ini aku tidak melihat Dam dan hanya melihat teman-temannya saja. Aku jadi teringat saat perjalanan ke kota hari Minggu kemarin bersama Ayah, Dam juga tidak terlihat bersama teman-temannya. Padahal setahuku, mereka sering terlihat bersama. Apa yang terjadi dengannya? Tak lama kemudian, aku kembali melihat dua teman yang sering bersama Dam yaitu Gavin dan Vigor berjalan melewatiku ke arah parkiran. Aku penasaran tentang keadaan Dam, tetapi apakah tidak mencurigakan jika aku menanyakannya kepada Gavin dan Vigor? Aku dirundung gelisah karena ragu memikirkannya, sementara kulihat posisi Gavin dan Vigor semakin berjalan menjauh. Akhirnya dorongan rasa penasaran di dalam diriku seperti meledak dan kupaksakan kakiku untuk berjalan menghampiri mereka. Gavin dan Vigor langsung berhenti ketika melihat kedatanganku. Wajah mereka tidak terlihat ramah dan hangat seperti ketika Dam menatapku. Mereka benar-benar tampak rebel dan seharusnya menjadi murid yang harus kuhindari jika dinilai dari penampilan mereka dan ekspresi saat mereka menyambut kedatanganku. Tapi anehnya aku tidak merasa khawatir bahwa mereka akan menyakitiku. “Hara, ada perlu apa menemui kami?” tanya Gavin. “Uhmmm… anu. Apa Dam hari ini tidak masuk sekolah?” tanyaku. Sebisa mungkin aku berusaha agar tidak tersipu karena jujur kuakui tindakanku kali ini memalukan! Akhirnya aku yang gengsian ini menanyakan kabar seorang laki-laki kepada temannya. Itu baru terjadi untuk yang pertama kalinya dalam hidupku. Vigor yang bertubuh tinggi menjawab, “Ya. Dia kurang enak badan.” “Jelas saja dia tidak enak badan,” sahut Gavin, “Dia baru saja menerima hukuman dari Ayahnya karena hari Sabtu kemarin dia melanggar peraturan!” “Eh? Dihukum?” ulangku terkejut. “Sialan!” umpat Vigor, menoyor kepala Gavin. “Jaga mulutmu, Vin! Jangan berbicara yang tidak perlu!” Gavin tidak terima lalu balas mendorong Vigor. “Hei, aku bicara kenyataannya! Biarkan saja dia tahu, bukannya semua ini…” “Dam akan marah kepada kita, bodoh!” sembur Vigor kepada Gavin. Mereka saling menatap tegang selama beberapa detik, lalu setelahnya Gavin mulai tenang. Vigor meninggalkan Gavin lalu kembali berbicara kepadaku. “Hanya itu yang bisa kami sampaikan. Intinya, Dam tidak masuk sekolah karena sakit. Apa ada lagi yang ingin kamu sampaikan?” Sebenarnya aku masih merasa penasaran dan bahkan menjadi lebih penasaran setelah mendengar ucapan Gavin. Akan tetapi, menyadari sikap Vigor yang seperti sengaja menutupi sesuatu dariku, kuurungkan keinginanku untuk bertanya lebih lanjut. “Ah, tidak ada. Maaf sudah mengganggu kalian.” Aku menunduk sekali lagi lalu berbalik untuk berjalan kembali menuju teras depan halaman sekolah. Ketika tinggal sebentar lagi aku sampai di teras, Fiona sudah datang dengan beberapa bungkus makanan di tangannya. Ekspresinya tampak bingung. “Hara, kamu dari mana?” “Itu… maaf, baru saja aku dari toilet.” “Ah, begitu.” Aku tersenyum kecil. Akan tetapi, dalam hati aku merasa bersalah kepada Fiona karena sadar telah menutupi sesuatu. Apakah dalam hal ini aku bersalah? Atau, menyembunyikan perasaan dan perhatianku terhadap Dam dari Fiona adalah hakku? *** Sore harinya, setelah mengganti seragam sekolahku dengan pakaian kasual, aku mencoba meninggalkan kamar dan mulai memperhatikan dunia luar demi mengalihkan pikiranku dari semua hal ganjil yang membuatku penasaran termasuk keadaan Dam. Usai menutup pintu, aku duduk di beranda rumah sendirian. Ah, tidak. Mungkin aku tidak benar-benar sendirian karena para tupai terlihat berlari-larian dari pohon ke pohon di samping rumahku. Dengan hati damai, aku memperhatikan pemandangan menyenangkan yang tidak pernah kudapatkan ketika tinggal di kota itu. Bosan memperhatikan aktivitas tupai, aku mengalihkan pandanganku ke sisi lainnya. Kemudian, aku bangkit dari dudukku dan iseng jalan-jalan menjauhi rumah. Bisa dikatakan aku berjalan tanpa tujuan. Aku hanya mengikuti keinginan kakiku melintasi bukit kecil di samping rumah sambil memandang berkeliling. Sedikit ragu, aku mulai menelusuri jalan setapak dalam gugusan hutan kecil. Rupanya ujung jalan setapak itu adalah menuju rumah Eizen. Aku mati kutu ketika kedatanganku langsung diketahui Eizen dan dua temannya yang bernama Dean dan Tama. “Oh, hei, Hara! Apa kamu ke sini berniat menemui Eizen?” tanya Tama. Air mukanya heran hampir terkesan menggoda. Tama adalah pemuda tanned skin bertubuh besar berambut pirang yang lehernya tampak lebih lebar dari wajahnya. Secara keseluruhan, dia tampak kokoh dan tubuhku yang kuakui rapuh ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kekuatan fisiknya. “Ti–tidak,” jawabku. “Sebenarnya aku hanya sedang bosan dan iseng berjalan-jalan saja.” “Ah, begitu!” sahut Dean, pemuda berkulit putih berambut hitam yang juga bertubuh tampak kokoh seperti Tama dan Eizen. “Kalau kamu bosan, bagaimana kalau ikut kami saja ke lapang hijau?” “Dean! Gadis kota itu hanya akan merepotkan.” Eizen yang sejak tadi diam dengan wajah masamnya tiba-tiba menyuarakan keberatan. Seperti biasa, aku bisa merasakan matanya yang menatap ke dalam diriku, seperti ular berbisa yang mencoba mencekikku. Oh, benar-benar lelaki itu! Aku sangat tidak cocok dengannya. Aku yang tahu diri bahwa kehadiranku tidak diharapkan oleh Eizen, lantas menggoyangkan kedua telapak tangaku ke arah Dean dan Tama sebagai tanda penolakan. “Ah, tidak usah. Benar kata Eizen, aku akan merepotkan kalian.” “Apanya yang merepotkan? Kami hanya akan berlatih panahan dan kalau kamu mau, kamu hanya perlu menontonnya.” Tama berkata kepadaku lalu beralih menepuk punggung Eizen. “Biarkan saja dia ikut. Aku merasa kasihan padanya. Pasti dia merasa bosan karena di sekitar sini tidak ada gadis yang seumurannya. Bukankah begitu, Dean?” “Ya. Tama benar.” Eizen mengambil perlengkapan memanahnya dan juga satu kotak kayu besar. “Terserah kalian saja lah kalau ingin tetap mengajak gadis kota itu,” balasnya. Eizen memiringkan kepalanya kepadaku dengan ekspresi masamnya yang khas sebelum berbalik dan berjalan pergi ke arah gugusan hutan di sebelah belakang rumahnya. “Ayo, Hara!” ajak Tama dengan ramah. Aku terdiam. Seperti selalu ada yang mengganjal di hatiku ketika Eizen melabeliku dengan sebutan gadis kota. Aku membatin penuh rasa kesal. Apanya yang gadis kota? Bukankah sekarang yang terpenting aku hidup dan tinggal di pulau Neilborn yang disebut daerah pedalaman ini? Ugh! Dasar bunga beku sombong yang payah! “Bagaimana, Hara?” tanya Tama lagi, membuatku terhenyak dari lamunan. “Apa benar tidak apa-apa kalau aku ikut?” “Santai saja,” tegas Tama. “Kamu teman baik Fiona, berarti kamu juga adalah teman baik kami.” Aku mempertimbangkan ajakan Tama. Menonton panahan? Sebenarnya aku sama sekali tidak tertarik pada kegiatan itu. Tapi aku yakin penolakanku hanya akan membuat Eizen kegirangan, sementara aku tidak akan membiarkan Eizen dengan mudah mengibarkan bendera kemenangan atas diriku. Maka aku pun memutuskan, “Baiklah, aku akan ikut. Terima kasih.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD