Aku dan Ayah sama-sama libur di hari Minggu. Ayah lantas mengajakku jalan-jalan ke kota agar kami bisa berbelanja beberapa kebutuhan untuk satu minggu ke depan. Pulau Neilborn hanya memiliki satu jalan besar utama yang disebut dengan jalan poros Neilborn. Untuk sampai ke kota yang jarak tempuhnya dua jam, aku dan Ayah mengendarai mobil hilux putih dan harus melalui jalan tersebut yang membelah hutan serta perbukitan.
Sementara Ayah menyetir, aku banyak memperhatikan pemandangan di sekitarku. Lima belas menit perjalanan, dari lawan arah aku tidak sengaja melihat Gavin, Vigor, dan tiga temannya lagi. Seperti biasa mereka mengendarai motor trail, entah dari mana atau mau ke mana, tetapi aku tidak melihat Dam. Tiba-tiba hatiku menjadi resah, kemana Dam?
“Apa mereka teman-temanmu di sekolah?” tanya Ayah.
Aku mengangguk pelan. “Tetapi mereka di kelas yang berbeda.”
“Oh, baguslah. Mereka seperti geng motor yang rebel.”
“Tidak, Ayah.” Entah atas dorongan apa, refleks aku melakukan pembelaan. “Mungkin penampilan mereka rebel, tetapi sebenarnya mereka itu baik.”
Ayah menunjukkan wajah bersalahnya kepadaku. “Ah, maaf. Jadi mereka memperlakukanmu dengan baik, ya?”
“Ya, begitulah,” jawabku. Kemudian, melanjutkan dalam hatiku, ‘terutama Dam.’
***
Aku mengikuti jadwal jam pelajaranku di hari Senin, tapi bukannya fokus pada materi pelajaran, aku malah memikirkan hal lain yaitu kejadian hari Sabtu di halaman belakang sekolah yang belum bisa kulupakan. Rasa penasaranku tergugah oleh banyak hal ganjil. Aku tidak menyangka bahwa perpindahanku ke Neilborn tidak hanya mengubah gaya hidupku tetapi juga mulai mempengaruhi pola pikirku yang seharusnya rasional menjadi jungkir balik akibat kemunculan makhluk-makhluk aneh.
Kuakui bahwa kejadian aneh yang menimpaku terdengar tidak nyata, tetapi aku bersumpah kalau aku mengalaminya dengan sadar dan tidak sedang berhalusinasi. Kejadian itu nyata, begitu pun makhluk-makhluk aneh yang kulihat.
"Hara, ayo ke kantin!”
Aku terkesiap. Akibat terlalu tenggelam dalam pikiran, aku baru sadar kalau waktu istirahat pertama sudah tiba. “Oh, iya? Bagaimana, Fio?”
“Astaga, apa kamu baru saja melamun? Ini sudah jam istirahat. Ayo ke kantin!” ajak Fiona lagi. “Tapi hari ini kita ke kantin berdua saja karena Eizen baru saja mengirimiku pesan kalau dia pergi ke kantin bersama Dean dan Tama."
Aku lapar, tetapi rasa penasaranku sudah tidak terbendung, akhirnya aku mencoba berbicara kepada Fiona tentang kegelisahanku. “Fiona, bisa tidak sebelum ke kantin kita bicara dulu?"
Fiona tampak dengan terpaksa kembali duduk di kursi sebelahku. “Tentang apa itu, Hara?”
“Kejadian yang menimpaku Sabtu kemarin di halaman samping sekolah. Kamu masih ingat 'kan?”
Fiona mengangguk pelan. “Jadi kamu masih memikirkannya, ya?”
“Bagaimana aku bisa lupa, Fio? Bagiku itu sangat traumatis. Ada banyak pertanyaan di dalam kepalaku yang jika dipikirkan semakin membuatku penasaran.”
“Ah, baiklah. Jadi apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?”
Aku membuka tasku dan mengeluarkan sebuah kotak. Terlebih dulu aku memutar pandang untuk memastikan tak ada seorang murid pun di dalam kelas yang memperhatikan kami. Setelahnya, barulah aku membuka kotak itu.
Ketika aku membuka kotak itu, aku bisa melihat wajah terkejut Fiona. Kemudian, sebelum dia berkomentar apa pun, aku sudah lebih dulu berbicara. “Aku menemukan bulu ini menempel di kemeja seragamku setelah kejadian itu. Menurutmu, apa bulu ini ada hubungannya dengan sosok bersayap yang menyelamatkanku?”
Fiona diam sebentar memandangi bulu itu, lalu dia menggeleng. “Aku tidak yakin. Unggas juga memiliki bulu yang seperti itu bukan?”
“Demi apa pun, aku juga berharap bulu ini adalah bulu unggas. Yang berarti akan lebih melegakan bagiku kalau aku diselamatkan oleh seekor unggas saja dari pada makhluk aneh yang terlihat seperti laki-laki tetapi memiliki sayap.”
“Ya. Baiklah. Lalu?”
“Tapi lihat? Ada sesuatu yang membedakan bulu ini dengan bulu unggas biasa.” Aku mengajak Fiona beranjak dari kursi lalu menuju salah satu jendela kelas yang paling pojok di belakang. Aku kembali celingukan, tetapi untungnya sekarang hanya tinggal aku dan Fiona di dalam kelas, mungkin murid yang lain sudah pergi kantin, perpustakaan, atau sekadar keluar–aku tidak ingin pusing hanya untuk memikirkannya.
Oke, kembali pada bulu di tanganku. Aku mengangkat bulu itu dan mendekatkannya ke arah sinar matahari yang tersorot dari kaca jendela. Lalu, secara ajaib bulu itu pun berubah. Helaiannya tampak seperti untaian benang biru yang berkilauan melebihi keindahan batu tanzanite. “Bagaimana? Kamu lihat sendiri bukan? Bulu unggas mana yang akan berkilauan biru seperti ini jika terkena sinar matahari? Sayangnya waktu itu aku tidak begitu memperhatikan jelas bulu-bulu sayap makhluk lelaki misterius itu apakah bercahaya biru atau tidak. Itu karena sosoknya dipenuhi kabut hitam sehingga yang terlihat hanyalah seperti siluet saja. Bukankah bulu ini unik?”
“Ya, bulu yang mengesankan,” komentar Fiona.
“Kalau begitu, sangat mungkin kalau bulu ini adalah milik makhluk aneh bersayap itu bukan?”
“Entahlah.”
“Fiona, kamu tahu tentang beast. Jadi aku yakin kamu pasti tahu tentang makhluk lelaki bersayap itu. Aku ingin kamu memberitahuku lebih banyak tentang makhluk bersayap itu.”
Fiona membuang napas. Dia meraih tanganku dan mengajakku mengobrol di dua kursi paling pojok di belakang. Kemudian, kami berdua duduk saling berhadapan.
“Hara, apa kamu yakin sudah siap mengetahuinya?”
“Oh, ya ampun, Fiona. Kamu tahu, aku bahkan sudah hampir mati karena serangan makhluk aneh bernama beast. Aku seperti sudah tercebur dalam semua hal aneh di pulau Neilborn ini. Jadi, tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain mencari tahu tentang hal yang sedang aku hadapi ini.”
“Baiklah, jika kamu memintanya. Kamu tahu ‘kan, bahwa keluargaku sudah tinggal di pulau Neilborn ini bahkan sebelum aku lahir? Mereka menjalin kedekatan dengan suku Urbei–penduduk asli pulau Neilborn. Suku Urbei memiliki pemukimannya sendiri dan sewaktu aku kecil, orang tuaku sering mengajakku berkunjung ke sana. Saat kami berkunjung ke salah satu rumah yang penghuninya merupakan rekan Ayahku, aku tidak sengaja menemukan sebuah buku yang kebetulan saat itu tergeletak di ruang tamu. Buku itu ditulis tangan. Tidak terlalu rapih, tetapi masih bisa dibaca olehku yang saat itu memang baru bisa lancar membaca. Ternyata isi buku itu membahas tentang cerita tersembunyi pulau Neilborn.”
“Cerita tersembunyi pulau Neilborn?”
“Benar. Awalnya cerita itu hanya kukenal ada di buku milik suku Urbei saja. Tetapi seiring berjalannya waktu dan juga kejadian-kejadian aneh yang terjadi di Neilborn, cerita itu mulai menyebar. Tidak sedikit yang percaya bahwa cerita yang akan kuberitahukan kepadamu ini nyata, tetapi ada juga yang menyebut cerita ini hanyalah legenda, terutama bagi mereka yang belum pernah mengalaminya.”
“Bagaimana denganmu? Kamu termasuk yang percaya atau tidak?”
Fiona tersenyum tipis. “Kebetulan aku dan keluargaku pernah berhadapan dengan beast, jadi kamu pasti sudah tahu jawabannya.”
Aku mengangguk mengerti. “Lalu waktu itu, bagaimana caramu dan keluargamu selamat dari beast?”
“Uhm…” Fiona tampak berpikir sebentar. Mungkin mengingat-ingat. “Kami diselamatkan oleh rekan Ayahku yang merupakan suku Urbei. Lalu dia mengajarkan kami teknik membunuh beast yaitu dengan melukai salah satu matanya.”
Aku membayangkan kembali saat diriku diserang beast. Jangankan untuk mengambil batang kayu atau apa pun yang bisa kujadikan senjata, untuk berdiri saja saat itu tubuhku sudah gemetar. Kupikir suku Urbei sangat hebat dan berani karena bisa membunuh beast itu.
“Oke, aku akan melanjutkan ceritanya,” sambung Fiona. “Jadi menurut cerita, sebenarnya terdapat tiga ras yang menghuni pulau Neilborn. Pertama ras manusia, yang mana terdiri dari penduduk Neilborn bernama suku Urbei dan para pendatang, termasuk para pekerja ENC dan keluarganya. Ras ke dua adalah Demon. Mereka berjumlah paling sedikit, tetapi di balik layar ras itu berusaha mengendalikan ras lainnya termasuk manusia, mereka juga yang menciptakan beast.”
“Apakah prajurit demon juga termasuk ras demon?”
“Ya. Prajurit demon adalah kasta terendah ras demon. Karena itu mereka sering menjadi suruhan.”
“Oke, aku mengerti. Lalu ras ke tiga?”
“Nah, ras ke tiga adalah Napherum. Mereka adalah campuran manusia dan demon.”
“Campuran? Mungkinkah tercipta karena para demon melakukan rekayasa genetika seperti saat mereka menciptakan beast?”
Fiona menggeleng. “Napherum berbeda. Dia terlahir alami dari proses perkawinan antara manusia dengan demon. Menurut cerita, para demon memiliki tujuan khusus sehingga menciptakan Napherum, yaitu menguasai seluruh kehidupan di bumi. Maka demi menciptakan Napherum sebanyak mungkin, pemimpin Demon memerintahkan para demon bawahannya untuk menyamar menjadi manusia biasa lalu menikah dengan manusia. Dari pernikahan itu, maka lahirlah seorang Napherum. Meski begitu, para demon yang menyamar dan hidup bersama manusia harus menerima konsekuensi. Semakin dia banyak berinteraksi dengan manusia apalagi sampai mencintai manusia itu, maka jatah usianya di bumi akan semakin berkurang. Karena itu, beberapa demon memilih meninggalkan pasangan manusianya begitu telah berhasil melahirkan seorang Napherum, tetapi ada juga yang rela usianya habis dan mati demi pasangan manusia yang dicintainya.”
“Lalu bagaimana dengan ras Napherum?”
“Karena campuran demon dan manusia, Napherum kadang terlihat seperti manusia biasa tetapi juga bisa sewaktu-waktu berubah memiliki sayap ketika mereka membutuhkannya.”
“Itu berarti bulu yang tertinggal ini kemungkinan adalah antara milik seorang Napherum atau seorang demon.”
“Bisa jadi milik seorang Napherum, tetapi sudah jelas bukan milik demon. Karena di antara ke tiga ras itu, hanyalah Napherum yang bisa menggunakan sayapnya di dimensi manusia. Sebenarnya demon juga memiliki sayap ketika berada di dimensinya, tetapi sayap itu hilang ketika demon memasuki dimensi manusia.”
“Sulit dipercaya,” komentarku. “Itu artinya, bisa jadi manusia yang kita temui belum tentu adalah manusia. Bisa jadi dia adalah seorang Napherum atau demon. Bagaimana denganmu, Fiona? Jangan-jangan kamu adalah ….” Dengan mata melebar, aku menaikkan tangan untuk menutup mulutku yang terbuka karena terkejut.
Fiona memberiku cengiran. “Menurutmu?”
Aku menggeleng yakin. “Tidak. Aku percaya kamu adalah manusia biasa, sama sepertiku. Lalu, jika Napherum dan beast sama-sama bekerja untuk demon, lalu kenapa ada Napherum yang menyelamatkanku?”
“Berdasarkan cerita, sebenarnya Napherum sendiri telah terpecah menjadi dua golongan, yaitu Napherum yang memihak demon, dan kedua… adalah Napherum yang menentang demon. Bisa jadi makhluk yang menyelamatkanmu berasal dari Napherum yang menentang demon, karena jika itu dilakukan oleh Napherum yang memihak demon, maka tentu saja Napherum itu akan mendapatkan hukuman dari pemimpin demon.”
“Aku sangat beruntung karena ada Napherum yang menyelamatkanku dari beast. Mungkin nyawaku sudah melayang jika Napherum itu tidak datang menyelamatkanku. Tentang siapa Napherum yang menyelamatkanku itu, mungkinkah kamu mengetahuinya, Fio?”
Fiona menggeleng. “Kebanyakan Napherum menyembunyikan identitas aslinya dan mereka memiliki aturan tidak boleh saling membongkar identitas kepada depan manusia.“
Aku menunduk dengan raut wajah sedikit kecewa. Kupandangi sehelai bulu yang kuyakini adalah milik Napherum yang telah menyelamatkanku.
“Hei, Hara?” Fiona mengguncang bahuku pelan. Aku mengangkat wajahku dan menemukan wajahnya yang tersenyum hangat. “Serius, jangan habiskan waktumu hanya untuk mencari identitasnya. Itu akan sangat sulit!”
“Aku penasaran dengan identitas Napherum yang telah menyelamatkanku, tetapi bukan itu yang aku pikirkan sekarang. Jujur, aku cukup syok. Tentang semua cerita tersembunyi itu, aku tidak ingin mempercayainya tetapi aku mengalaminya sendiri. Jika kamu tahu, sebelumnya aku bahkan adalah gadis yang tidak mempercayai hal-hal takhayul seperti hantu, demon, dan makhluk aneh.”
“Ya, Hara. Aku bisa mengerti. Pasti semua ini sulit diterima oleh gadis yang terbiasa dengan kehidupan kota sepertimu. Karena itu, tadi aku lebih dulu memastikan apakah kamu sudah siap mendengar cerita ini atau belum. Melihatmu syok begini, aku jadi merasa bersalah.”
“Aku baik-baik saja, Fio. Kamu tidak perlu merasa bersalah. Ini adalah konsekuensi yang harus aku terima. Satu per satu dari makhluk aneh itu masuk ke dalam kehidupanku, mau tidak mau aku harus menghadapinya. Dengan kamu memberitahu cerita tersembunyi di Neilborn ini, meski itu mengguncangku tetapi aku menjadi sedikit lega. Jika nanti aku dipertemukan dengan makhluk aneh lagi–meskipun yah, aku sungguh berharap itu tidak terjadi–mungkin aku bisa lebih siap menghadapinya, setidaknya secara mental.”
“Aku lega mendengarnya, Hara. Baiklah. Sekarang kita lupakan sejenak cerita tentang makhluk-makhluk aneh itu dan karena perutku sudah lapar, lebih baik sekarang kita pergi ke kantin saja.”
Aku menghela napas lalu tersenyum kepada Fiona. “Ya! Sebelum jam istirahat habis!”
Fiona meraih lenganku lalu menggandengku berjalan menuju kantin. Aku terlihat baik-baik saja, tetapi masih memikirkan sesuatu. Jika aku tahu lebih awal bahwa perpindahanku ke Neilborn akan membawaku tergelincir ke dalam genangan keruh yang membahayakan, mungkin aku akan berkali-kali mempertimbangkannya. Ah, sudahlah. Kenapa aku berpikir seakan aku memiliki pilihan lain? Kenyataannya, aku tidak memiliki pilihan lain karena hanya Ayah sebagai satu-satunya keluarga yang aku miliki sekarang. Aku sudah memutuskan untuk ikut bersama Ayah, jadi jika ini adalah risikonya, maka dengan cara apa pun aku harus bisa menghadapinya. Ibuku pernah berkata, mengkhawatirkan masa depan yang belum pasti hanya akan membuatmu merasa keadaan menjadi lebih buruk. Jadi, aku hanya harus yakin bahwa aku bisa bertahan dan menghadapinya.
***