Sehelai Bulu

1206 Words
Aku membuka mata perlahan dan disambut suasana halaman samping sekolah. Kemudian, yang selanjutnya kulihat adalah wajah khawatir Fiona dan di sebelah Fiona adalah wajah masam Eizen. Jantungku berdebar-debar dan napasku terengah-engah. Aku mencoba mengingat bagaimana aku bisa terbangun di halaman samping sekolah padahal kali terakhir bukannya aku masih di halaman belakang sekolah? Ingatan tentang mahkluk aneh berupa ular berkepala tujuh dan sosok di dalam kabut hitam yang membunuh makhluk itu lalu membawaku terbang berkelebat di kepalaku, membuatku tersentak. Mataku terbuka lebar. Tidak peduli lagi dengan rasa remuk di tubuhku, aku refleks duduk. “Hara?” panggil Fiona. Aku langsung memeluk Fiona histeris. “Fio, aku hampir mati, Fio!” “Hara, tenang, Hara. Tarik napas, embuskan perlahan. Lalu ceritakan kepadaku apa yang baru saja terjadi.” Fiona menenangkanku dengan mengusap-usap punggungku. Kukumpulkan ketenanganku dengan menarik napas dan mengembuskannya berkali-kali. Barulah setelah napas dan debaran di dadaku mulai teratur, aku berbicara kepada Fiona. “Aku… baru saja tadi aku diserang makhluk aneh di halaman belakang sekolah, Fio!” “Diserang makhluk aneh?” ulang Fiona. “Ya. Mahkluk itu berbentuk ular dengan tujuh kepala! Tadinya kuanggap makhluk itu adalah sejenis prajurit demon dan aku begitu yakin dia akan menghilang ketika keberanianku lebih besar dari rasa takutku–seperti ucapanmu. Tetapi walaupun keberanianku sudah berkobar-kobar, makhluk itu masih ada bahkan menyerangku! Ketika aku sudah tidak berdaya, saat itu juga muncul sosok lelaki bersayap dalam kabut hitam yang membunuh makhluk itu. Sepertinya sosok bersayap itu yang membawaku ke halaman samping sekolah ini. Fio, itu semua mahkluk apa?” Fiona dan Eizen saling memandang. Setelah beberapa detik dalam kebisuan, Fiona akhirnya berbicara kepadaku. “Mungkin aku bisa memberimu sedikit penjelasan, tetapi pertama, kamu perlu membuat dirimu rileks. Minumlah ini dulu.” Fiona memberiku botol rempah dan aku langsung meminumnya. Karena sebetulnya mengalami kejadian mengerikan tadi cukup membuatku kehausan. “Oke, baiklah. Sekarang aku sudah lebih rileks. Jadi beritahu aku.” “Mendengar ceritamu, kupikir makhluk ular berkepala tujuh yang baru saja kamu lihat itu adalah beast,” jelas Fiona. “Beast?” ulangku memastikan. “Maksudmu binatang buas?” “Penduduk Neilborn menyebutnya seperti itu. Walaupun mereka tidak seperti binatang buas pada umumnya, karena sebenarnya mereka adalah monster jadi-jadian.” “To the point saja,” sahut Eizen. “Beast adalah anak buah demon. Para demon menciptakan beast untuk menyakiti dan membunuh manusia. Terutama manusia lemah tanpa perlindungan diri.” Fiona menyikut eizen. “Dia harus mengetahuinya pelan-pelan,” bisiknya kepada Eizen tetapi aku masih bisa mendengarnya. “Lalu, apa sosok di dalam kabut hitam yang membunuh makhluk itu? Dan sebenarnya, apa yang tersembunyi di pulau Neilborn ini?” tanyaku. Aku menunggu jawaban. Akan tetapi, kudengar bus sekolah sudah membunyikan klaksonnya tiga kali, yang artinya tanda peringatan bagi siswa yang belum masuk bus. “Hara,” kata Fiona, “lain kali saja kita bahas ini. Sekarang, kita harus segera segera naik bus.” “Ta–tapi…” “Jangan keras kepala,” potong Eizen. “Kamu mau kita bertiga ketinggalan bus. Ya, mungkin kita hanya akan berakhir di halaman sekolah yang sudah sepi ini lalu menjadi incaran beast.” Aku terpaksa menahan rasa penasaranku tentang beast dan serta sosok di dalam kabut hitam. Karena sekujur tubuhku masih sakit, aku berjalan dengan dipapah oleh Fiona dan Eizen. Tersisa tiga tempat duduk yang saling berjauhan di dalam bus, sehingga kami pun duduk berpencar. Selama kurang lebih tiga puluh menit yang terasa sangat panjang bagiku, aku terdiam di bus dan memikirkan semuanya. Tentang beast, prajurit demon, sosok bersayap dalam kabut hitam. Semua makhluk asing dan aneh itu, kenapa aku harus dihadapkan dengan mereka? *** Secara keseluruhan, penampilanku amat berantakan. Jadi sesampainya di rumah, aku langsung membersihkan diriku serta pakaian seragamku yang kotor. Aku mengganti pakaianku dan hendak memasukkan seragam sekolahku ke dalam keranjang pakaian kotor, tetapi urung ketika melihat sesuatu menempel di kemeja putihku. Aku membawa kemeja putihku kembali dan duduk di ranjang. Kuambil sesuatu berwarna hitam yang menempel di kainnya, tepatnya di bagian dalam kerah. “Ini… bukankah ini bulu?” Aku bertanya kepada diriku sendiri sambil mengamati sehelai bulu yang kutemukan dan tampak mengkilap itu. Ukuran lebarnya kira-kira setengah dari lebar telapak tanganku dan memiliki panjang sama dengan panjang telapak tanganku. Aku merabanya dan helaian bulu itu benar-benar lembut. Pantas saja aku sampai tidak terasa ketika bulu ini menempel di bajuku. Mungkinkah sehelai bulu ini adalah milik sosok dalam kabut hitam yang menyelamatkanku dari beast? Aku tahu pikiranku mulai kacau karena sekarang aku tidak hanya mempercayai hal takhayul, tetapi juga beast, bahkan sosok misterius yang bersayap! “Aku harus mengambil foto bulu ini.” Segera kurogoh tasku. Pertama aku mengeluarkan handphone. Kedua, dengan kening berkerut, aku mengeluarkan satu benda lagi yang terasa asing dalam indera perabaku. Setelah mengeluarkannya, aku mengamati benda kecil itu dengan heran. “Salep ini mirip seperti salep penyembuh luka yang ada di ruang kesehatan sekolah. Kenapa tiba-tiba ada di dalam tasku?” Aku merasa aneh, tetapi sebenarnya salep itu memang sangat kubutuhkan sekarang. Aku berpikir mungkin tadi Fiona yang diam-diam memasukkannya ke dalam tasku. Dengan hati-hati kuoleskan salep itu ke luka-luka di tangan serta kedua lututku. Ketika mengolesi lukaku dengan salep, aku tersenyum-senyum sendiri. “Ah, apa yang aku pikirkan? Kenapa tiba-tiba aku teringat kepada Dam?” Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, berusaha menolak bayangan seronok yang ada dalam pikiranku. Tiba waktu Ayah pulang, dan begitu melihat kondisiku, ia langsung mencecarku banyak pertanyaaan yang intinya, kenapa aku bisa terluka babak belur seperti ini? Aku berkilah dengan mengatakan penyebabnya karena aku tidak sengaja tersandung di halaman bukit belakang sekolah. Aku tidak mengatakan tentang beast atau sosok bersayap karena khawatir Ayah justru tidak akan mempercayainya. Sementara aku duduk di tepian ranjang, Ayah berdiri dan mengusap lembut puncak kepalaku. “Ayah sedih kalau melihatmu seperti ini, Nak.” “Jangan khawatir, Ayah. Aku baik-baik saja. Luka-luka ini akan segera sembuh karena tadi aku sudah mengolesinya dengan salep.” “Ayah hanya…,” Ayah tercekat. Ia lalu menatapku dengan iba. “Melihatmu terluka begini, Ayah merasa gagal karena tidak bisa menjagamu.” “Tidak, Ayah. Ini bukan salah Ayah. Sepenuhnya, ini adalah salahku yang kurang berhati-hati,” hiburku kepada Ayah. “Lain kali aku akan lebih menjaga diri, Yah. Aku juga tidak ingin melihat Ayah sedih.” “Sungguh? Kamu harus menepati ucapanmu, Hara.” “Iya, Ayah.” Ayah tersenyum. “Baiklah. Malam ini kamu ingin dibelikan makan apa?” “Ummm… apa saja terserah Ayah.” Ayah mengangguk. Tetapi sebelum meninggalkanku, tatapannya beralih ke atas ranjang. “Hara? Bukankah itu bulu? Kenapa ada bulu hitam di ranjangmu?” Aku cepat-cepat mengambil bulu itu sebelum Ayah mengambilnya. “Ah, ini. Aku tidak sengaja menemukannya lalu kusimpan karena kupikir bulu ini unik dan … sangat menarik.” “Oh,” respon Ayah. “Hara, Ayah baru tahu kalau kamu memiliki ketertarikan pada unggas.” “Ung–gas?” “Ya. Memangnya apa lagi yang memiliki bulu seperti itu kalau bukan dari jenis unggas?” ujar Ayah, lalu aku hanya membalasnya dengan cengiran kecil. Ayah pun berlalu dari kamarku. Aku kembali memandangi sehelai bulu yang belum jelas asal-usulnya itu sambil bergumam. “Oke. Anggap saja Ayah benar. Karena lebih terdengar melegakan jika aku diselamatkan oleh seekor unggas daripada sesosok makhluk takhayul yang aneh.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD