Princess Sudjono : 1

2338 Words
*** Tahun 2016... POV Linzi... Saat ini aku sedang duduk di kursi belakang mobil milik papa. Sekarang aku sedang dalam perjalanan ke suatu tempat. Tempat dimana aku sudah janjian dengan sahabatku Debbina atau aku memanggilnya, Bii. Entahlah aku lebih suka panggil dia itu, daripada Debbina. Debbina terlalu panjang dan terlalu anggun untuk gadis bar-bar dan tomboi seperti sahabatku. Hihihii Kami sudah berteman cukup lama, lebih tepatnya kami berteman saat kelas empat sekolah dasar. Dia sendiri juga memanggilku dengan sebutan Zee. Ya ampun ... maaf, aku sampai lupa memperkenalkan namaku. Perkenalkan, namaku Linzi Widya Sudjono. Namun, orang-orang hanya tahu namaku Linzi Widya bukan Linzi Widya Sudjono apalagi Linzi Sudjono. Pasti tidak asing bukan dengan nama Sudjono, iya ... Sudjono Group maksudku. Sudjono Group adalah perusahaan milik papaku yang sekarang dipimpin oleh kakakku, Libra Sudjono. Aku tidak memakai nama Sudjono karena suatu alasan. Bukannya aku tidak bersyukur akan Marga yang diberikan oleh kedua orang tuaku, bukan. Hanya saja, aku sangat nyaman dengan tidak menyandang nama besar keluargaku. Tidak ada yang tahu, kalau aku terlahir menjadi putri bungsu keluarga Sudjono, kecuali orang-orang terdekatku. Karena memang sejak kecil aku tidak tinggal dengan kedua orang tuaku, melainkan dengan nenekku yang tinggal di Singapura. Aku dulu waktu kecil sering sakit-sakitan, makanya papa dan mama lebih memilih menitipkanku pada nenek, kebetulan Rumah Sakit di sana juga sangat bagus dan fasilitasnya sangat memadai. Aku tidak bilang bahwa Rumah Sakit Indonesia tidak bagus, semuanya bagus. Hanya saja aku lebih nyaman tinggal dengan nenekku dan juga berobat di sana. Aku baru kembali ke Indonesia setelah nenekku meninggal. Sudah sering kali papa menyarankanku untuk memakai nama Sudjono di belakangku, namun aku menolaknya. Aku suka dengan kehidupanku yang sekarang. Aku tidak perlu khawatir tentang wartawan dan media yang suka sekali meliput kehidupan pribadi orang, apalagi aku adalah anak bungsu dari keluarga Sudjono yang namanya sudah tidak asing di kalangan media atau pebisnis seperti papa. Aku tidak suka urusan pribadiku dicampuri orang lain. Aku bahkan melawan Kakakku yang keras kepala. Ah ya, kakakku yang tampan dan punya keinginan tahuan di atas rata-rata itu, namanya Libra Wisnu Sudjono atau Libra Sudjono. Dia kakakku satu-satunya yang aku miliki dan yaaa ... aku sayangi. Kak Libra yang keras kepala, juga memaksaku memakai nama belakang seperti dirinya, Libra Sudjono. Kalau Kak Libra keras kepala, aku jauh lebih keras kepala lagi. Pokoknya aku tidak mau orang-orang tahu identitasku sebagai seorang putri bungsu keluarga Sudjono, titik. "Nona Muda, kita sudah sampai," ucap Pak Ucup, supir papa memecah lamunanku. Aku menolehkan kepalaku di luar jendela melihat sekitar, ternyata memang sudah sampai di tempat tujuanku. "Terima kasih, Pak. Tolong turunin aku di sana ya," pintaku, diangguki beliau. "Baik, Nona Muda," jawab beliau. Aku sudah sering kali bilang, jangan panggil aku 'Nona muda', namun mereka tidak mau. Aku lebih suka dipanggil Linzi atau Zee, tapi tetap menolaknya jadi ya sudahlah ... aku pasrah saja dipanggil seperti itu oleh para pekerja di rumah papa dan mama. "Nona Muda, saya nanti menjemput anda dimana?" tanya Pak Ucup. "Nanti aku pulang sama Debbina saja, Pak," jawabku setelah beberapa saat berpikir. "Baik, Nona." "Terima kasih, Pak," ucapku sembari tersenyum tipis lalu membuka pintu mobil. Aku pernah minta ke papa untuk menyetir mobil sendiri, tapi papa langsung melarangnya. Papa bilang di luar terlalu berbahaya, belum lagi mama yang over protective ke aku. mama bilang aku pernah sakit, jadi aku nggak boleh kelelahan atau kecapean. Aku mendesah pelan waktu itu, padahal aku sudah baik-baik saja sekarang. Tapi yang namanya orang tua apalagi aku anak gadis, jadi aku hanya mematuhinya. Aku berjalan dengan langkah riang. Kulihat Debbina sudah duduk santai sambil memakan ice cream. Seketika aku mempercepat langkahku untuk menghampirinya. Dari wajahnya, dia seperti kesal denganku, mungkin karena lama menungguku. "Bii...," panggilku membuat Debbina menengokku dengan tatapan kesal. "Lo lama banget, Zee," gerutunya, hanya dibalas cengiran olehku. "Sorry ... aku tadi ada keperluan di rumah," jawabku masih dengan cengiran, sembari menarik kursi di hadapan Debbina. Kulihat Debbina mendengus kesal, sahabatku ini tipe orang yang moody. "Bii...." "Apaan!" jawab Debbina tanpa menoleh ke arahku. Aku cemberut dengan jawaban Debbina, belum lagi dia seperti tidak peduli panggilanku. "Tatap aku," rengekku. "Zee, lo dah gede. Jangan merengek kaya gitu." Bibirku semakin manyun, mendengar ucapan sahabatku yang tomboi itu. "Nggak usah manyun gitu, itu bibir! Lo bilang aja mau apa." Aku tersenyum. Debbina walaupun dia seperti tidak peduli ke aku, tapi dia sahabat yang baik dan pengertian. "Temenin aku pergi ke tempat Kak Sandi. Aku mau kasih kejutan ke dia," ucapku memelas, memasang wajah puppy-eyes. Debbina langsung memutar bola matanya. Dia paling tidak suka kalau aku menyebut nama pacarku. "Ada acara apa lo, sampe lo mau kasih kejutan ke dia?!" Aku kembali tersenyum, sebelum menjawab pertanyaan Debbina. "Ini hari jadian kami. Jadi aku mau kasih kejutan ke dia," jawabku riang. Debbina berdecak kecil, tapi aku tidak peduli. Entah apa alasannya Debbina tidak suka Kak Sandi, padahal Kak Sandi punya paket lengkap sebagai cowok. Sudah tampan, baik, pintar, belum lagi sifatnya yang penyayang. "Jangan terlalu mencintai seseorang, Zee. Kalau suatu saat lo disakiti, sakitnya parah pake banget nanti." "Kak Sandi nggak bakalan sakiti aku, Bii ... dia kan sayang banget sama aku," belaku. "Who know's kan...." Debbina menghedikan bahunya malas. "Sudahlah ... lupakan itu. Mau ya temenin aku. Ya ya ya...." Aku mengedipkan mataku manja, jangan lupakan tampangku dengan wajah memelas. "Ok, gue temenin lo. Daripada gue yang kena maki Kak Libra nanti." "Yess ... makasih, Bii." Aku beranjak bangun, ingin mencium pipi Debbina. Namun, sahabatku ini langsung menghindar sambil bergidik ngeri. "Please ... jangan mendekat ... gue masih normal," ucapnya menatapku horor. Aku kembali duduk, bibirku langsung manyun beberapa senti. "Aku juga masih normal, Bii...." "Pokoknya ogah lo cium gue, walaupun itu sebagai bentuk persahabatan." Sudahlah ... Debbina tetap Debbina. Sahabatku yang selalu ada buatku walaupun sifatnya berbanding terbalik denganku. "Lo dah beli kadonya?" "Belum ... nanti kita ke Mall dulu, ya...," jawabku sambil meringis pelan. Sementara Debbina menyebikan bibirnya. "Pakai mobil siapa perginya?" tanyanya, sambil celingak-celinguk keluar jendela. "Mobil kamu. Pak Ucup, aku suruh pulang," jawabku masih dengan ringisan. "Lo harus bayar mahal bensin gue, Zee." "Sure...." "Ya sudah ayo pergi ... biar cepet kelar urusan lo. Gue males kalau harus berlama-lama ketemu pacar lo," ucap Debbina, sambil beranjak dari duduknya. "Ok, ayo...." Aku juga beranjak dari dudukku, membenarkan sedikit dress sederhana yang aku pakai. Tidak lupa membawa sling-bag milikku. Bak kata Debbina, tas selempang milikku, banyak sekali harta karunnya. Aku tertawa kecil, kalau Debbina menyebut begitu. Aku sangat antusias, ingin memberi kejutan buat Kak Sandi. Aku dan Debbina berjalan menuju mobil milik Debbina, lebih tepatnya milik abangnya. "Mau ke Mall?" tanya Debbina setelah kami sudah duduk dengan nyaman di mobil. "Hu um ke Mall aja, aku mau beli kemeja baru buat Kak Sandi," jawabku tanpa menoleh, karena aku sedang mengecek ponsel, apakah ada pesan dari Kak Sandi apa tidak. "Terserah lo, deh." Aku terkekeh kecil. Sebenarnya aku masih penasaran kenapa Debbina tidak menyukai Kak Sandi. Ah ya, lagi-lagi aku lupa. Kak Sandi itu pacarku. Kami memulai pacaran satu tahun lalu. Hubunganku sama Kak Sandi, sejauh ini baik-baik saja. Kak Sandi adalah cinta pertamaku dan aku berharap menjadi cinta terakhirku juga. Dia yang pintar, keterima bekerja di perusahaan besar Nugroho Corp. Dia senang sekali keterima kerja di situ. Karena itu impiannya. Sekarang dia sudah enam bulan kerja di situ. Aku sedikit janggal dengan sikapnya dua bulan belakangan ini. Dia sering melamun kalau kami lagi bersama. Kalau kalian tanya, apakah dia tahu identitas asliku? Jawabannya tidak. Aku menutup rapat semua jati diriku ke Kak Sandi. Bahkan yang Kak Sandi tahu, aku adalah anak dari keluarga orang tidak punya. Aku tidak tahu kenapa aku malah memilih menutup rapat identitasku ke dia, sementara ke Debbina aku terbuka. Keluarga Debbina juga tahu identitasku. Aku percaya ke keluarga Debbina tidak akan membocorkan semua jati diri aku ke orang-orang. Tak jarang juga aku menginap di rumah sahabatku yang sekarang lagi fokus menyetir. Tante Della justru lebih mementingkanku kalau aku menginap di sana. Debbina langsung mencak-mencak, tapi dia tidak akan marah ke aku. Dia hanya bersungut-sungut kesal. Hihihii "Turun lo. Kita sudah sampai." Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, perasaan cepat banget sampainya. "Ini sudah sampai?" tanyaku dengan kening berkerut. Ku dengar Debbina berdecak kesal "Ya udah sampai Linzi ... turun lo! Sebelum gue putar balik, pulang." Aku langsung kelabakan mendengar ancaman Debbina. "Ehh, jangan dong...." "Makanya lo turun dari mobil gue. Maksudnya dari mobil abang gue." Tanpa banyak bicara, aku langsung keluar dari mobil milik abang Debbina. Debbina juga langsung keluar, tidak lupa membawa topi kesayangannya. "Ayo cepetan, Zee...." "Ok." Kami berdua masuk ke Mall, tujuannya satu membeli kemeja baru buat Kak Sandi. Pov Linzi end.... *** Author pov Di tempat yang berbeda... "Aku hamil, San," ucapnya sambil meletakkan benda kecil dengan dua garis merah. Sandi mengusap kasar wajahnya, mendengar ucapan selingkuhan sekaligus partnernya di atas ranjang. "Kenapa kamu bisa sampai hamil?" tanya Sandi frustasi. "Ini anakmu." "Aku tahu itu anakku, Lan. Tapi kenapa kita bisa sampai kecolongan seperti ini." "Dua bulan lalu. Saat kita melakukan itu, kamu lupa memakai pengaman seperti biasanya, San." Lagi-lagi Sandi mengusap wajahnya kasar. Dua bulan lalu, dia jadi teringat. Waktu itu sangking menggebu dan sangking tidak tahannya dia tidak memakai pengaman saat melakukan hubungan terlarang itu. Mungkin karena mereka tidak melakukan itu selama dua minggu, jadilah mereka sampai lupa melindungi diri dan sampai lupa kecolongan. Mereka berdua melakukan itu bukan dasar atas nama cinta, tapi hanya saling membutuhkan di atas ranjang. Sandi tidak bisa menyentuh gadis yang dicintainya, sementara partner ranjangnya membutuhkan dia karena hubungan dengan kekasih berjalan flat atau datar. Mereka bekerja di satu perusahaan yang sama. Sandi baru masuk, dia mencoba berteman dengan wanita yang sekarang sedang duduk di apartemen sederhana miliknya. Dulu Sandi melihat wanita itu sering melamun, jadi dia mencoba berteman dengannya. Tidak disangka hubungan pertemanan mereka sampai tahap berhubungan di atas ranjang. Mereka sama-sama kesepian dalam menjalani hubungan mereka. Sandi baru tahu belakangan bahwa yang menjadi partner ranjangnya, adalah anak bungsu pemilik perusahaan tempat dia bekerja. Pernah Sandi menyinggung status wanitanya. Si wanita bilang 'Aku adalah wanitamu, kalau kita sedang berada di atas ranjang. Bukan Yilandari Nugroho, anak si pemilik perusahaan'. Hampir setiap hari mereka melakukan itu. Terkadang di apartment Yilan, tapi lebih banyak melakukan itu di apartment milik Sandi. Saat pertama kali melakukan itu, Sandi terkejut bahwa Yilan masih gadis. Mau berhenti tapi Yilan malah menahannya. Wanita itu bilang, dia ingin punya hubungan seperti orang dewasa lainnya. Berciuman bahkan beradegan ranjang. Bukan masalah kalau mereka sama-sama single yang saling membutuhkan. Masalahnya mereka sudah memilik kekasih satu sama lain, Yilan sendiri akan bertunangan dua minggu lagi. Begitu pula Sandi, dia tidak mau menyakiti gadis yang dicintainya. "Kita harus gimana, San?" Sandi yang sedari tadi memijit kepalanya pusing, menghembuskan napas pelan. "Aku juga bingung, Lan. Kamu mau bertunangan, sedangkan aku juga punya pacar," desahnya. "Tapi kita tidak mungkin menghilangkan anak ini, Sandi! Ini anak kita." "Aku tahu, Lan. Kita sudah sangat berdosa melakukan hubungan itu. Jadi aku tidak mau menambah dosa menghilangkan anak itu," ucap Sandi frustasi. "Walau bagaimanapun kita harus bertanggung jawab perbuatan kita, San." "Aku paham, Yilan. Masalahnya kita sudah punya pacar, apalagi kamu. Kamu sebentar lagi akan bertunangan. Itu yang aku bingungkan." "Aku mencintaimu, Sandi." Tubuh Sandi menegang. Dia tidak percaya mendengar ucapan cinta dari partner ranjangnya. Bagaimana bisa Yilan mencintainya? "Tap---" "Aku tahu, aku bodoh. Aku sangat jujur, kalau aku mencintaimu, San. Aku tidak tahu perasaan ini kapan muncul, tapi seiring berjalan waktu aku tidak bisa menahannya lagi," ucap Yilan sembari menghapus air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya. Sebenarnya itu keinginan Yilan juga, dia ingin hamil anak Sandi. Karena selama dia menjalani hubungan itu, dia menyisipkan cinta di dalamnya. Makanya dia dengan suka rela tubuhnya dijamah oleh Sandi. Dia ingin memiliki Sandi, walaupun dia tahu Sandi sudah mempunyai pacar dan dia sendiri akan bertunangan. Dia egois ingin memiliki Sandi sepenuhnya. Makanya waktu dia tes urine tadi pagi, dia tersenyum lebar bukannya sedih. Karena memang itu tujuannya, dia ingin hamil anak Sandi. Dia berharap dan berdoa semoga dia bisa hamil anak Sandi. Tuhan seakan mengabulkan doanya, walaupun caranya salah. Dan sekarang dia sangat menyayangi janin yang ada di dalam kandungannya sekarang. Dia bahkan tidak peduli kalau keluarganya tahu dan menghakimi dia karena hamil diluar nikah, belum lagi akibat yang akan diterima Sandi. Yang terpenting dia sudah hamil anak Sandi, itu sudah cukup baginya. Sementara Sandi terdiam mendengar ungkapan wanita yang berumur dua tahun di atasnya. "Sejak kapan kamu tahu kalau kamu hamil?" tanya Sandi menatap dalam wanita yang sering ditidurinya. "Tadi pagi," jawab Yilan balas menatap pria yang dicintainya. Yilan beringsut mendekati Sandi, dia memegang pipi sebelah Sandi. Yilan mendekatkan wajahnya lalu mencium bibir Sandi sekilas. "Aku mencintaimu, San. Aku mau kita hidup bersama membesarkan anak kita," ucap Yilan sembari mengelus perutnya yang masih rata. Yilan kembali mencium bibir ayah, dari anak yang ada di dalam kandungnya. Sandi bingung harus jawab apa, tapi dia ikut membalas ciuman dari Yilan. Di dalam mobil... "Zee, lo yakin Sandi ada di apartment?" tanya Debbina tanpa menoleh ke arah Linzi. Dia sedang fokus menyetir mobilnya. "Aku yakin. Kak Sandi ada di apartment. Kan, hari ini, hari Minggu," jawab Linzi sedikit kesal karena sedari tadi dia menelpon Sandi tidak diangkat-angkat. "Terserah lo, deh." Tidak terasa mobil yang dikendarai Debbina, masuk ke pelataran apartment milik Sandi. Mereka berdua turun dari mobil, lalu berjalan menuju apartment. Linzi tidak lupa membawa kado buat pacarnya. Mereka sudah kenal dengan resepsionisnya karena Linzi beberapa kali datang kesana walaupun tidak naik ke atas. Hanya menitipkan makanan buat Sandi. Segitunya Linzi mencintai Sandi. Karena Linzi tahu Sandi hanya hidup sendiri di Jakarta sementara orang tuanya tinggal di kampung. Saat ini Linzi dan Debbina sudah berada di depan pintu apartment Sandi. Linzi pernah diberitahu Sandi, tinggal di nomor berapa. "Kok aku jadi deg-degan yaa, Bii," ucap Linzi memegang dadanya. Debbina memutar bola matanya, malas. Tok tok tok... Linzi mengetuk pelan pintu. Sudah beberapa menit menunggunya tapi belum dibuka dari dalam. "Gue coba buka deh, kali aja nggak dikunci." Debbina membuka pintu apartment, walaupun tidak sopan tapi dia tidak peduli. Linzi dan Debbina membelalakkan mata, bahkan mulutnya menganga, tidak percaya setelah melihat ruang tamu milik Sandi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD