Princess Sudjono : 2

2026 Words
*** Author pov ... Linzi dan Debbina saling pandang setelah melihat ruang tamu Sandi dalam kondisi berantakan. Ada kemeja wanita, rok span, kaos biasa serta celana training, belum lagi ada flat shoes dan slingbag. Tidak mungkin kan, kalau flat shoes milik Sandi. Pasti milik seorang wanita. Jantung Linzi berdetak nyeri, dia memegang dadanya, menahan sakit. Pikirannya langsung kemana-mana, dan mata dia berkaca-kaca. Debbina menatap Linzi prihatin, dia paham apa yang sedang dirasakan Linzi. Debbina mencoba masuk ke dalam, dia memegang tangan Linzi untuk ikut bersamanya. Linzi hanya pasrah, dia sendiri gamang, tidak tahu harus berbuat apa. Linzi dan Debbina melangkah, berjalan dengan gerakan sangat pelan. Linzi dan Debbina saling pandang mendengar samar-samar dari salah satu kamar. Linzi menggeleng, dia tidak sanggup melihat apa yang terjadi. Namun, Debbina terus melanjutkan penasarannya. Dia tetap berjalan menggandeng tangan Linzi. Suara di sebuah kamar itu, semakin terdengar jelas di telinga mereka berdua. Tubuh Linzi sedikit bergetar, hatinya semakin tidak karuan mendengar itu. "Ahh ... Honey, kamu memang selalu bisa memuaskanku." Deg! Mata Linzi melotot mendengar suara itu, jantungnya berdetak kencang. Tidak jauh berbeda dengan Debbina, dia menutup mulutnya dengan satu tangan. Terkejut. "Ah, San! Pelan-pelan, kasian baby kita yang ada di dalam perutku." Tubuh Linzi bergetar hebat suara wanita yang sedang berada di dalam kamar itu. Sementara laki-laki yang menjadi lawannya tertawa renyah. Debbina melihat mata Linzi semakin berkaca-kaca, membuat dia geram. Debbina memberanikan diri membuka pintu kamar yang memang tidak ditutup rapat itu. BRAK!! Debbina membuka kasar pintu kamar, membuat mereka yang sedang berada dalam kamar itu terkaget. "KALIAN!!" Teriak Debbina menggelegar. Dia tidak peduli dengan kedua pasangan yang sedang menyelimuti tubuhnya, sudah dipastikan mereka telanjang tanpa sehelai benangpun. Sementara Linzi berjongkok, menutup telinganya. Tangisnya pecah dan dia tidak berani melihat apa yang di dalam kamar sana. Sandi terkaget, tubuhnya terpaku, belum lagi matanya melebar melihat Linzi menangis pilu sambil berjongkok. Yilan sendiri tidak jauh berbeda dengan Sandi yang terkaget, dia membenarkan selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Sandi beranjak, mengambil celana boxer yang ada di kasur. Dia memakai cepat tidak peduli terbalik apa tidak. "Say---" Panggil Sandi ke Linzi, hatinya ikutan sakit melihat gadis yang dicintainya menangis pilu. "JANGAN MENDEKATI DIA, b******k!!" Debbina memperingatkan Sandi yang ingin mendekati Linzi yang sedang menangis. "Bii---" panggil Sandi takut. Dia pernah mendengar dari Linzi, kalau Debbina adalah atlet Taekwondo Nasional dan dia sudah sering kali menjadi juara. Sekali saja, Debbina melayangkan tinju di wajahnya, sudah dipastikan bibir dia akan robek dan hidungnya akan patah. "JANGAN MENYEBUT NAMA GUE DENGAN MULUT KOTORMU ITU, BASSTARD!!" Peringat Debbina tidak takut ke Sandi, walaupun dia seorang gadis. Sandi kembali mengalihkan pandangannya menatap gadis dicintainya yang tidak mau melihat kearahnya. Linzi sendiri dia masih menangis, hatinya hancur berkeping-keping. Niatnya ingin memberi kejutan ke sang pacar. Ternyata dia malah dikejutkan balik oleh Sandi. Melihat Sandi bermain dengan wanita saja sudah membuatnya sangat sakit, apalagi tadi dia sempat mendengar bahwa wanita yang sedang bermain dengan sudah hamil. Kenapa menyedihkan sekali nasibnya. Hiks Kalau wanita yang sedang bersama Sandi sedang hamil. Berarti sudah lama Sandi mengkhianati dia, padahal dia sayang sekali ke Sandi. Linzi tidak menyangka, cowok yang dicintanya berbuat seperti itu ke dia. "Sayang...." Linzi menolehkan kepalanya, kemudian dia beranjak berdiri. Dia menatap Sandi dengan tatapan terluka yang begitu dalam. "Kita putus, Kak," ucap Linzi datar. Tubuh Sandi membeku, mendengar kata putus dari gadis yang dicintainya. "Tidak, Sayang. Aku tidak mau putus dengan kamu." Sandi menggeleng tegas, dia tidak mau putus. Dia tidak akan pernah mau putus dengan Linzi. "Tapi aku yang mau putus, Kak Sandi," ucap Linzi menekan setiap kata, masih dengan wajah datar menahan laju air mata. "Tidak Sayang ... aku mencintaimu," lirih Sandi. Debbina tersenyum sinis ke arah Sandi, mencintai kok mengkhianati sahabatnya. Debbina sendiri masih menahan tinju, padahal tangannya sudah gatal sekali ingin menghajar Sandi. Minimal mulutnya robek, atau hidungnya patahlah. Tapi dia tidak mau mengotori tangannya, menyentuh pria b******n seperti Sandi. Yilan yang sedari tadi diam saja menyimak, tersenyum kecut. Dia tahu ayah dari anak yang di kandungnya, mencintai pacarnya. Dalam hal ini, dia tidak menyalahkan pacar Sandi. Karena dia merasa, dia dan Sandi yang bersalah. Linzi tertawa sumbang, mendengar ucapan mantan pacarnya. Air matanya kembali meluruh. "Jangan mengucapkan kata cinta, kalau pada kenyataannya kamu mengkhianatiku, Kak," ucap Linzi mengusap kasar air matanya, bahkan nada bicaranya menyiratkan kekecewaan dan sakit hati yang begitu dalam. "Say---" "BERHENTI MEMANGGILKU SAYANG, SANDI!!" teriak Linzi putus asa. Sakitnya jauh berkali-kali lipat, saat mendengar Sandi memanggil dengan panggilan yang dulu dia suka dan membuatnya tersipu malu itu. Lagi-lagi Sandi terkaget, dia belum pernah melihat gadis yang dicintainya berteriak seperti itu. Dia menyadari kesalahannya. Dia sungguh tega dan merasa jahat sekali membuat Linzi sakit hati karenanya. "Zee---" "Jangan pernah muncul di hadapanku lagi, Kak." Linzi langsung melipir pergi keluar dari apartment yang menurutnya terkutuk ini. "Zee---" "Sudah gue bilang, jangan dekati sahabat gue, setan!!" Debbina mendorong kasar badan Sandi yang ingin mengejar Linzi. Dan itu membuat tubuh Sandi hampir saja terjatuh ke belakang. Debbina mengambil papper-bag yang dibawa Linzi tadi. "Makan itu, sialan!" Debbina melempar papper-bag ke d**a Sandi. Dia tidak peduli Sandi kesakitan. Karena itu tidak seberapa dengan sakit hati Linzi, sahabatnya. Debbina memandang Yilan, yang masih diam saja di atas ranjang. "Untukmu Mbak yang cantik tapi murahan. Semoga anda tidak mendapat karma setelah membuat sahabat saya sakit hati," ucap Debbina pelan, tapi sangat menyakitkan hati bagi siapa yang mendengarnya. Debbina menyusul Linzi yang sudah keluar dari apartment laknat ini. Dia takut Linzi kenapa-napa, dan kalau Libra sampai tahu adiknya kenapa-napa. Bisa-bisa Debbina yang digiling Libra hidup-hidup. Well ... walaupun Libra menyebalkan dengan sifat kepo-nya yang di atas rata-rata, tapi dia sangat menyayangi adiknya itu. "Aahh ... b******k!!" gusar Sandi mengusap wajahnya kasar. Tanpa terasa air matanya menetes. Dia ikutan sakit mengingat binar kekecewaan yang begitu dalam di mata Linzi. Mungkin nanti dia akan mencoba menemui Linzi, dan memohon ampunan gadis yang dicintainya. *** Aden pov... Beberapa hari cukup melelahkan bagi gue. Bagaimana tidak melelahkan, gue harus menghandle sebagian kerjaan yang dilimpahkan daddy ke gue. Di umur gue yang ke yang masih tergolong muda. Gue sudah memegang tanggung jawab cukup besar. Di mana gue harus memikirkan nasib ribuan karyawan yang berkerja di perusahaan gue. Abimana Group adalah perusahaan milik daddy gue, yang bergerak di bidang perhotelan, resort, dan juga villa. Tadinya gue tidak mau meneruskan milik daddy karena dari dulu gue lebih suka berkutat di dapur, memasak. Menjadi chef adalah impian hidup gue sejak dulu. Cita-cita gue, langsung gue urungkan, saat daddy dan mommy bilang. Kalau bukan gue, siapa lagi yang meneruskan perusahaan sebesar Abimana Group. daddy bilang, Abimana Group akan menjadi milik gue, karena gue anak tunggal daddy dan mommy alias gue anak satu-satunya mereka. Saat ini gue sedang dalam perjalanan pulang ke apartment, yang gue beli dua mingguan lalu. Gue lebih memilih tidur di apartment dari pada tidur di rumah utama. Bukannya apa. Beberapa hari ini gue sangat sibuk dengan urusan perusahaan, makanya gue istirahat di apartment karena jaraknya lebih dekat ke kantor. Tadinya mommy tidak mengizinkan gue tinggal di apartment. Akan tetapi, gue terus berusaha membujuk wanita yang menjadi cinta pertama, sejak gue dilahirkan ke dunia ini. Mommy bilang. Kalau gue sudah menikah, mommy pasti tidak akan kesepian lagi karena beliau akan sering menghabiskan waktu dengan menantunya. Ah ya bicara soal istri. Gue akan bertunangan dengan seorang gadis dua minggu lagi. Ini juga salah satu alasan kenapa gue sibuk banget beberapa hari ini. Padahal gue masih muda. Tapi daddy dan juga mommy malah ingin gue cepat-cepat bertunangan terus menikah. Kata Daddy, gue calon penerus perusahaan, sudah sepantasnya memiliki pendamping hidup untuk berdiri di samping gue. Gue hanya nurut mengikuti kemauan orang tua, menjodohkan gue dengan salah satu anak kolega bisnis daddy. Gue hanya bisa pasrah saja dengan keputusan mereka, lagipula melihat dan mengenal calon tunangan gue, dia cukup masuk ke dalam kriteria sebagai istri. Dia cantik, tinggi, dengan tubuh semampai, belum lagi otaknya juga cerdas. Terbukti di usianya yang lebih muda dari gue, dia sudah menjadi orang dengan posisi tertinggi di perusahaan milik orang tuanya. Intensitas pertemuan dengan calon tunangan gue, hanya di saat-saat tertentu. Itupun hanya mengobrol tentang pekerjaan kami, bukan mengobrol tentang hubungan kami. Lucu sekali, bukan. Karena kami tahu, kalau kami sudah seperti dua orang yang dijodohkan, atau lebih tepatnya perjodohan bisnis kedua perusahaan besar. Mungkin kalau ditanya, apakah gue mencintai calon tunangan gue apa tidak? Gue enggak bisa jawab. Susah pokoknya. Bak buah Simalakama. Maju mundur tidak ada bedanya. Atau gue lebih persingkat lagi hubungan gue dengan dia berjalan flat alias datar kaya papan triplek. Tidak terasa mobil yang gue kendarai mulai masuk parkiran apartment yang sudah tinggali dua mingguan ini. Sejenak gue memakirkan mobil, di bassement yang sudah disediakan pihak apartment. Gue berjalan menuju lift apartment sembari menggerakkan pelan bahu gue. Rasanya capek sekali dan gue butuh istirahat untuk memulihkan badan juga otak buat besok pagi. Gue menghentikan langkah, setelah mendengar samar-samar orang yang sedang menangis. Bulu kuduk gue langsung meremang, merinding lebih tepatnya. Walaupun gue sedikit penakut, akan tetapi jiwa penasaran gue jauh lebih besar. Gue berjalan pelan mencari sumber suara itu. Bulu kuduk gue semakin merinding, setelah mendengar jauh lebih jelas lagi. Gue mendengar tangisan pilu, yang begitu menyayat hati. Batin gue bertanya. Tidak mungkin kan, kalau yang sedang menangis itu, makhluk penghuni apartment? Kalau iya mungkin gue akan pindah dari sini. Gue kembali menghentikan langkah gue setelah melihat di depan sana ada seseorang yang menangis berjongkok memukul-mukul dadanya pelan. Seorang cewek. Gue cukup prihatin. Apakah begitu sesaknya, makanya si cewek itu sampai memukul dadanya pelan. Gue berjalan mendekati anak orang itu. Yaaa ... semoga saja itu anak orang beneran, bukan anak ... gue memukul pelan kepala, karena tiba-tiba jadi bego. Sekarang gue berdiri di hadapan gadis yang sedang menangis ini. "Hey! Kamu kenapa menangis di sini?" tanya gue memberanikan diri. Sebenarnya bukan gue banget, kepo urusan orang, tapi entahlah kenapa gue malah merasa iba dan prihatin ke gadis ini. "Hey! Kenapa kamu tambah menangis?" tanya gue panik, karena dia semakin terisak. Apa gue tadi salah bicara ya? Gue mengeluarkan sapu tangan dari saku celana gue, lalu memberikannya ke dia. "Ini pakai...." Gadis itu mendongak sebentar, sepertinya dia sedikit ragu mengambil sapu tangan yang gue kasih. "Enggak apa, pakai saja," ucap gue menyakinkan. Dia mengambil dengan gerakan lambat dan ragu juga. Namun dia tetap mengambilnya. "Terima kasih," ucapnya serak. Yang entah kenapa malah terdengar sexy di telinga gue. Gue langsung menggelengkan kepala, belum lagi gue mengucap banyak-banyak istighfar dalam hati. 'Apaan sexy! Dasar otak setan,' maki gue dalam hati. Gue sedikit meringis saat gadis ini membuang ingus. "Zee...." Sebuah teriakan mengalihkan gue, dari gadis yang masih menangis di hadapan gue. "YA AMPUN ZEE!" Gue tersentak kaget, mendengar teriakan seorang gadis menghampiri gue, ehh maksudnya kami. Gue dan gadis yang menangis itu. Gue hanya memperhatikan, si pemilik teriakan halilintar sedang membantu gadis itu berdiri dari jongkoknya. Sepertinya mereka berteman dekat, dilihat dari caranya berkomunikasi. "Terima kasih Mas," ucap sang gadis mendongak menatap mata gue. Deg! Matanya... Dunia seakan berhenti ketika gue melihat wajah gadis itu. Hidung dan matanya memerah karena menangis. Tapi entah kenapa malah terlihat menggemaskan, wajahnya juga cantik sekali. Bayangkan kalau dia dalam keadaan baik-baik saja tidak menangis seperti tadi. Mungkin kecantikannya jauh berkali-kali lipat. "Kami permisi dulu, Mas." Ucapan temannya membuat keterpesonaan gue buyar. "Mas." "Ah iya iya," jawab gue gugup, sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Ayo, Zee...." Gadis itu menoleh sebentar ke gue, lalu melihat dia tersenyum tipis. Gue hanya diam saja, tapi jantung ... bergemuruh hebat. "Zee," gumam gue pelan. Tangan gue, memegang jantung yang sedang berdetak sangat kencang seperti mau meledak. 'Ahhh Mommy ... sepertinya harus pergi, sebelum gue mati berdiri di sini.' Setelah gadis itu pergi, gue melanjutkan tujuan. Sepanjang perjalanan bibir gue terus tersenyum tipis, hanya karena satu gadis yang gue temukan tadi. 'Zee ... semoga kita masih bisa bertemu lagi,' batin gue. Senyum gue langsung pudar, ketika melihat di depan sana ada sepasang orang yang sedang berciuman mesra. 'Dasar nggak tahu malu,' pikir gue. Mata gue hampir keluar, setelah si cewek yang tadi berciuman mesra berjalan ke arah gue. Arah keluar dari gedung apartment. Gue langsung bersembunyi di balik pilar yang ada di situ. Gue menatap punggung cewek yang tadi berciuman, sambil menaikkan sudut bibir gue. 'b******k!' ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD