Sari Pembantuku

1002 Words
Tanda Merah Di Leher Suamiku part 3 "Kamu kok kelihatanya beda sih Sis?" teriakku. "Iya Bu, ini tadi saya barusan dari salon," jawabnya dari dalam kamar. Benar penampilannya kini berbeda rambutnya yang panjang itu kini terlihat hitam berkilau dan di luruskan, padahal rambut Sari awalnya berwarna coklat dan ikal. Sekitar lima menit kemudian, Sari pun keluar dari kamarnya dan segera membereskan meja makan. Aku masih tetap duduk di kursi makan, sambil memperhatikan Sari yang bekerja sambil menunduk dari tadi. "Kamu seharian ini tadi dari mana saja Sar? Katanya tadi pagi kamu ijin mengunjungi Kakakmu? Kok sekarang bilangnya malah dari nyalon?" tanyaku. "Eh, itu Bu. Itu tadi saya tak jadi ke rumah kakak, soalnya dia sedang tidak ada di rumah Bu. Jadi kemudian saya ke salon saja, kan kemarin juga habis gajian Bu," jawabnya masih sambil menunduk. Aku mengangguk pelan mendengar jawabanya itu, sambil terus memperhatikannya. Tak biasanya Sari berdiam dan terus menunduk seperti ini, karena selama enam bulan bekerja di rumahku, aku mengenalnya sebagai pribadi yang periang dan terbuka kepadaku. "Sar, kenapa sih kamu dari tadi kok menunduk terus? Dan kayaknya wajah kamu muram banget deh, ada apa sih Sar? Apa kamu sakit?" tanyaku. "I iya Bu, saya sedang tidak enak badan saat ini," ucapnya masih sambil menunduk. "lah paling kamu tadi kecapekan dari salon ,sampai saat ini jadi kecapekan gitu,Sar. Apa kamu tadi lupa belum makan?," ucapku sambil terus memperhatikan Sari yang memang telah banyak berubah. "iya kayaknya, Bu. memang akhir-akhir ini saya lagi malas makan, diet juga sih, Bu." Terdengar tawa Sari saat itu, tapi dia tetap saja masih menunduk. Ah, ada apa dengan dia? "Ngapain sih Sar, kamu pakai diet-diet segala? kurang kurus bagaimnana lagi? ada-ada saja sih kamu ini, hahaha." "rasanya saya ini masih pingin kurus sedikot, Bu. pingin kayak para artis itu, yang badanya enteng banget gitu, Bu." Kali ini dia sambil sekilas menghadap padaku, dan tersenyum. Nampak sekali ada yang disembunyikan oleh Sari. "hemmm....ada-ada kamu ini Sar. Ngapain pakai kayak artis-artis gitu sih? mereka itukan yang dijual memang penampilannya, lah kalau kita, yang penting itu sehat, Sar. Apa mungkin kamu bercita-cita jadi model?" candaku. "hahaha nggak juga sih, Bu. tapi ingin saja kayak gitu. Tapi imbasnya ya jadi kayak gini,Bu. Saya capek, Bu," jawbanya sambil tersemyum. "Ya sudah, kamu istirahat dulu saja, biar aku yang nyuci piring," ucapku karena nggak tega melihatnya yang pucat. "Tidak Bu, biar saya kerjakan dulu ini, kemudian saya minta ijin istirahat." Aku pun mengangguk mendengar ucapannya tadi. Mungkin dia memang kecapekan, jadi biarkan saja setelah ini dia istirahat. Kurasa tak perlu berpikiran negatif pada Sari, karena selama ini dia baik dan jarang sekali pamit keluar rumah, kecuali aku yang menyuruhnya. Sari adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun yang baru sembilan bulan ini bekerja sebagai asisten rumah tangga di sini. Karena pembantuku yang lama telah berangkat menjadi TKW di Singapura. Selama di sini tak pernah kulihat dia dekat dengan laki-laki, seperti para pembantu lain di kompleks ini. Mereka rata-rata berpacaran dengan tukang sayur, satpam atau tukang kebun atau sopir. Setelah menyelesaikan pekerjaan dia biasanya akan langsung masuk ke kamar atau sekedar bertelepon ria di halaman belakang. Penampilannya pun selalu sopan dan sederhana, pokoknya nggak pernah neko-neko deh. Tapi akhir-akhir ini kulihat ada banyak perubahan pada diri Sari. Dia sering pamit keluar untuk membeli pakaian dan kini pun dia mulai suka berdandan. Ahh mungkin saja dia mulai memiliki pacar dan kini tengah bertengkar. Kurasa tak etis juga bila aku terlalu ingin tahu urusanya. Nanti pasti dia akan cerita sendiri, mungkin menunggu hingga emosinya sedikit mereda. Karena biasanya dia akan selalu menceritakan semua yang dialaminya padaku. Tak perlu memikirkan Sari berlebihan, karena masalahku sendiri dengan Mas Andi juga bakal rumit nantinya, karena aku yakin dia sedang melakukan kecurangan kepadaku. Biarlah sekarang dia menenangkan hatinya di luar, tapi lihatah saja nanti apa yang akan ku lakukan saat dia kembali ke rumah. Dari pada suntuk, mendingan aku main saja ke rumah tanteku, Tante Yuli, yang letaknya hanya berjeda dua rumah di sebelah kiri rumahku. Tante Yuli ini adalah satu-satunya keluarga yang ku miliki, karena aku sudah menjadi yatim piatu sejak empat tahun yang lalu, karena kecelakan lalu lintas. Tante Yuli adalah seorang janda dengan dua orang anak, Brian yang saat ini berusia dua puluh dua tahun dan Betty yang baru berusia sembilan belas tahun. "Lagi ngapain sih Tan?" "Duh, kamu Sis ngagetin saja sih! Ini lagi baca status teman-teman loh, pada lucu-lucu loh Sis," ucap Tante Yuli yang tengah berada di teras depan. "Habisnya dari tadi aku nyampek di sini diabaikan, malaah senyum mulu. Brian dan Betty kemana Tan? Lagi mingguan ya?!" tanyaku sambil duduk disampingnya. "Brian ya biasa lagi ngapelin Sindy. Si Bety lagi di kamar noh biasa palingan juga main game," ucap Tante tanpa menoleh sekalipun kearahku. Aku pun masuk kedalam rumahnya, mencoba mencari keberadaan sepupu cantikku itu. Betty saat ini kuliah semester empat, di sebuah perguruan tinggi di kota kami. Parasnya yang sangat cantik, tinggi semampai, dengan rambut hitam panjang menjadikannya idola para pemuda di kompleks ini, namun sepertinya dia tak begitu tertarik dengan cowok di sini, mungkin nggak level kali ya, hehehe. Saat akan memasuki kamarnya, kudengar dia sedang menelepon seseorang. Karena kepo aku pun menguping pembicaraannya dari luar kamar. "Maaf deh Mas, aku tadi sedikit kebablasan. Habisnya sih kamu nakal banget." "Berarti mulai sekarang kamu harus lebih berhati-hati di hadapan istrimu itu Mas," ucap Betty lagi. Istri? Kenapa harus berhati-hati? Apa sepupu cantikku ini kini tengah bermain api dengan pria beristri? Aku pun kemudian masuk ke kamar Betty, sebagai sepupu yang baik, aku harus memperingatkanya agar tidak bermain api dengan pria beristri. "Eh, Mbak Siska, ngagetin saja sih?!" Kurasa kali ini respon Betty sedikit keterlaluan hingga dia mematikan panggilan telepon itu dan kemudian menggengam erat ponselnya. "Kamu lagi telponan ma siapa hayo?" godaku. Tanpa menjawab, kali ini wajah Betty berubah menjadi pucat. "Kamu kenapa Bet kok jadi pucat gini?" "Nggak apa-apa kok Mbak," ucapnya sambil tersenyum "jadi sejak kapan Mbak Siska menguping pembicaraanku?" "Ya sejak tadi lah Bet!" jawabku enteng. Entah mengapa wajah Betty kini terlihat semakin ketakutan seperti itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD