Cinta Buta Sari

1000 Words
Tanda Merah Di Leher Suamiku 8 Cinta Buta Sari "Nggak lah, Sar, inikan rahasia perempuan, hehehe, kamu tenang aja ya. Eh..tapi, kamu kenapa sih, kok kayaknya takut banget gitu sekarang sama suamiku? Padahal, sebelumnya kalian kan sering ngobrol," tanyaku penasaran. "Iy...iya sih, Bu. Tapi saya takut kalau Pak Andi akan marah, dan malah nanti memecat saya. Bu Siska dan Pak Andi 'kan jauh beda, saya takut, Bu," jawab Sari. Hemmm...sebuah jawaban yang masuk akal sih menurutku. Rata-rata seorang pembantu pasti lebih takut dengan majikan laki-lakinya, dari pada dengan majikan perempuannya. "Oke...kamu tenang saja, ya. Anggap saja kita ini berteman baik. Dan seorang teman baik, tak akan menyakiti satu sama lain," ucapku sambil tersenyum lebar, berharap dia nyaman denganku. "Terima kasih banyak ya, Bu. Bu Siska selama ini sudah baik sekali, pada saya." Kali ini Sari menoleh padaku, tetlihat sekali asisten rumah tanggaku itu benar-benar tulus mengatakan hal itu padaku. Tetapi tetap saja ada yang berbeda, Sari yang polos itu telat tiada, berganti Sari yang banyak menyimpan kebohongan. "Ah biasa saja itu, Sar. Kita ini sama-sama wanita, anggap saja saling menguatakan. Tapi, kuminta kamu nggak akan mengulangi perbuatan itu lagi, ya. Jawan jujur lagi, apa kamu masih menyayangi pacar gelapmu itu? Dan berharap bisa kembali bersama?" Aku kini mulai memancing Sari, untuk mengatakan tentang kekasih gelapnya itu. Butuh kesabara ekstra, agar bisa mengungkap sebuah rahasia yang besar. "Ini saya berkata dengan jujur pada Bu Siska ya, sebenarnya saya masih sangat mencintainya, dan juga masih ingin bersama dengannya, jika masih ada kesempatan." Sari, kini tak lagi canggung mengungkapkan isi hatinya, bahkan sudah tak lagi menunduk. Berarti dia makin nyaman, aku amat yakin, hari ini akan bisa mengungkap siapa sesungguhnya kekasih gelap Sari ini. "Jadi kamu tetap ingin bersama? Meski dia sudah betistri, dan juga istrinya sedang hamil?" tanyaku meyakinkan. "Iya, Bu. Meski sebenarnya hati nurani saya menyalakan hal itu, tetapi perasaan ingin terus bersama, dan ingin memiliki ini, masih terus tersimpan. Apalagi dengan semua yang kami lewati bersama. Semua begitu indah dan terlalu berharga untuk dilupakan." Wajah Sari saat itu, nampak berseri sekali, pasti dia sedang membayangkan masa indah bersama pacar gelapnya itu. "Kamu bisa berucap seperti itu, karena kamu masih amat mencintainya, jadi meskiipun kamu telah tau itu salah, namun tetap saja kau terjang. Namun, pernahkah kamu memposisikan dirimu sebagai si istri? Istri yang sedang hamil, lalu suaminya malah main api dengan wanita lain, coba bayangkan, betapa sakit hati yang dia rasakan. Apa kamu juga nggak takut dengan yang namanya karma? Sesungguhnya memang apa yang kita lakukan, pasti akan mendapat balasannya. Jika tak mengenaimu, bisa saja akan menghampiri salah satu anak cucumu. Nah, pertanyaanku, apa kamu rela jika anak cucumu terkena imbaas dari hasil perbuatanmu yang merusak pagar ayu pernikahan orang lain? Pikirkan itu Sar!" ucapku panjang lebar, dengan sedikit kesal. Beberapa saat, Sari terdiam dan terlihat dia tengah berpikir, atau mungkin dia emosi dengan perkataanku barusan. "Apa kamu marah, Sar, dengan perkataanku barusan?" tanyaku lagi. "Eh...maaf, bukan begitu, Bu. Saya hanya sedang berpikir, bahwa yang sudah Bu Siska katakan tadi. Semua ibu katakan itu benar adanya. Dan saya pun juga sering memikirkannya. Tapi, mau bagaimana lagi, saya ini sedang cinta buta istilahnya itu, Bu. Jadi, semua yang berhubungan dengannya, terlihat benar. Apalagi jika sampai dia mau meninggallan pacar barunya, dan mau kembali lagi dengan saya, maka seisi dunia pun bisa saya abaikan, demi bersatunya hubungan kami berdua," jawab Sari serius. Ya ampun, ternyata si Sari ini telah benar-benar dibutakan oleh cinta. Dan sayanganya, itu adalah cinta yang salah. "Kamu bucin banget sih, Sar? Apasih, hebatnya pacar gelapmu itu? Hingga kamu klepek-klepek kayak gini?" tanyaku penasaran. "Seperti itulah, Bu, saya memang amat mendamba bisa hidup bersama dengannya selamanya. Karena dia sangat tampan, kaya, baik hati, perhatian dan yang pasti, dialah yang telah merenggut kegadisan saya. Semua yang saya impikan, pokoknya ada pada dia. Dan jujur, sebelum hubungan terlarang itu terjadi, saya sudah mengidolakannya," jawab Sari teramat jujur. Sejenak, akupun mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasannya itu, kemudian menarik nafas dalam-dalam. "Oke, bisa dimaklumin sih, Sar, apa yang kamu rasakan itu. Cinta memang tak pernah salah, dan tak bisa diduga datangnya. Namun, kita sebagai manusia yang mempunyai pikiran dan perasaan, harusnya bisa memilah dan memilih, mana yang benar. Aku kini cuma bisa berdoa, semoga kamu nantinya bisa dapat jodoh seperti yang kamu mau, tapi kalau bisa sih, jangan suami orang, hehehe. Aku tahu sekali kok, Sar. Jika sebenarnya kamu itu orang baik, jadi aku yakin, kamu akan berubah, dan melupakan lelaki yang telah beristri itu," jawabku sembari menatapnya dan tersenyum. Sari terdiam, kemudian dia berhenti memijit kakiku, dan tiba-tiba dia memelukku. Tentu saja tindakannya ini membuatku amat kaget. "Maafkan saya, Bu. Saya sudah banyak salah pada Bu Siska. Padahal Bu Siska sudah sangat baik pada saya, namun saya tetap tak tahu diri, dan menusuk dari belakang. Maaafkan saya , Bu, huhuhu..." Sembari terisak, Sari masih tetap memelukku sambil berucap, sedikit banyak aku mengerti, bahwa mungkin saat ini dia ingin menceritakan semuanya padaku. "Memangnya kamu berbuat salah apa padaku? Dan menusuk dari belakang? Coba jelaskan terlebih dahulu," ucapku sambil mengusap punggungnya. "Sebenarnya...." Yes, kali ini Sari pasti akan langsung mengatakan semuanya padaku. Duh, rasanya aku akan sangat lega jika Sari mengatakan siapa sih kekasih gelapnya itu. "Wah, ada acara apaan nih? Hingga seorang pembantu, memeluk majikannya?!" Tiba-tiba, Mas Andi sudah berdiri bersedekap d**a dihadapan kami, dan tentu saja membuat Sati mengurungkan ucapannya dan menjauh dariku. "Eh...kamu sudah datang, Mas. Kok aku nggak dengar suaramu masuk sih?" tanyaku heran. "Nah, kamu keasyikan ngobrol sih, Dek. Jadi nggak dengar saat aku masuk, lagian pintu depan juga nggak dikunci kok. Hey, Sari! Ngapain kamu masih di sini, sudah sana pergi ke dapur, ganggu aja deh!" ucap Mas Andi sambil melotot pada Sari. Mas Andi tampak tak suka sekali pada pembantuku itu, padahal dulu dia sangat baik pada Sari. Dan sebelum pergi, kulihat Sari juga meghadiahkan sebuah tatapan tajam pada suamuiku itu. Kali ini gagal deh, rencanaku menginterogasi Sari, padahal kurang sedikit lagi. Duh, ngapain sih mas Andi harus datang di saat tidak tepat seperti ini? gagal lagi deh!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD