Ternyata Bukan Sari?

1027 Words
Tanda Merah Di Leher Suamiku 9 Ternyata Bukan Sari "Nah, kamu keasyikan ngobrol sih, Dek. Jadi nggak dengar saat aku masuk, lagian pintu depan juga nggak dikunci kok. Hey, Sari! Ngapain kamu masih di sini, sudah sana pergi ke dapur, ganggu aja deh!" ucap Mas Andi sambil melotot pada Sari. Kurasa, tatapan yang diberikan Sari pada Mas Andi itu, sangat tidak wajar, bagi seorang asisten rumah tangga pada majikannya. Terlalu lancang, namun kulihat, suamiku pun tak marah dengan hal itu. Setelah kepergian Sari, Mas Andi pun kini duduk di sampingku. Lalu dia memberikan sebuah bungkusan. "Apa ini, Mas?" tanyaku sembari terus menimang bungkusan itu. "Apalagi kalau bukan martabak manis toping pisang coklat, kesukaanmu, Dek," jawabnya sembari menjawil hidungku. "Wah...makasih banget. Tahu aja sih, kalau aku lagi pingin makan ini." Aku yang memang dari kemarin ingin makanan ini, tentu saja langsung bergegas membukanya, dan mulai memakannya. "Dek, tadi kamu ngobrolin apa aja sih sama si Sari?" tanya Mas Andi, yang kini juga ikut makan martabak manis bawaanya itu. "Ya, ngomongin biasa aja sih, Mas. Dia kan tadi lagi mijitin kakiku, ya jadi kita ngobrol, apa aja yang bisa diobrolin gitu." Kali ini aku berbohong pada Mas Andi, karena ingat dengan janjiku pada Sari tadi. Dan tentunya aku tak ingin gegabah, hingga bisa mendapat banyak info dari semua ini. "Tapi kalian nggak ngomongin masalah pribadi 'kan?" tanyanya lagi. "Nggak kok, masak iya sih, aku menceritakan hal seperti itu pada dia," elakku. Padahal jika di runut, Sari sudah tahu semua apa yang terjadi di rumah ini. Namun untuk urusan ranjang, semua adalah rahasia perusahaan. "Bener nih, nggak ngomingin masalah pdibadi? Tapi kenapa kok tadi sampai peluk-pelukan gitu sih? Apa itu etis, dan rasanya nggak pantes banget deh." Suara Mas Andi, kini terdengar mulai ada sedikit emosi. Dan aku pun kini bingung harus membuat alasan seperti apa, yang kelihatannya masuk akal. "Oalah, itu toh! Itu...tadi si Sari cerita, kalau lagi diputusin pacarnya, dan kini pacarnya itu lagi selingkuh gitu!" Kuputuskan menjawab seperti itu pada Mas Andi, sekalian untuk memancing, hehehe. Toh, aku tadi 'kan janji ke Sari, nggak bilang yang masalah kehamilan saja. Jadi, aku masih tetap tak berhianat bukan? Hehehe... Uhukk Uhukkk Entah kenapa, saat mendengar ucapanku itu, sepertinya Mas Andi amat kaget, dan langsung tersedak. Apa ini ada hubungannya dengan si Sari itu? Kalau feelingku sih, iya. Namun prasangka saja tak cukup, aku harus mencari bukti yang lebih nyata, sebelum nanti akhirnya bertindak. "Ya ampun...hati-hati dong, Mas. Ini diminum dulu," ujarku sembari memberikan minumanku padanya. Mas Andi pun langsung menghabiskan segelas jus buah, yang dari tadi belum sama sekali kuminum. "Kamu kenapa sih, Mas, kok kayaknya kaget banget gitu? Saat aku bercerita tentang Sari? Sampai tersedak segala!" ucapku langsung to the point. "Ah...nggak kok, memang martabak manisnya terlalu enak, jadi aku nggak sabaran makannya," jawabnya sembari tesenyum, yang sangat terlihat hanya dibuat-buat. Reaksi Mas Andi saat ini, sama persis dengan tadi siang, saat aku menanyakan tentang perihal tanda merah yang ada di lehernya tadi siang. Apa mungkin Sari juga ada hubungannya dengan tanda merah itu? Segera hal ini akan kita ketahui. "Ya sudah, kukira gara-gara dengar tentanng si Sari. Aku itu kasihan banget lih sama dia, Mas. Serasa aku ikut merasakan hatinya yang sedang patah itu. Tapi salah dia sendiri sih, kok mau-maunya menyerahkan apa yang dimilikinya pada laki-laki yang sudah beristri!" Suaraku kubuat sejelas mungkin, sambil menatap layar televisi. Dari ekor mataku, kulihat Mas Andi langsung menatapku, dan raut wajahnya terlihaat berubah. "Pacarnya si Sari itu sudah punya istri? Lalu katanya siapa sih pacarnya itu?" tanya Mas Andi yang wajahnya seperti orang yang keseretan. "Nah itu, dia tadi udah mau cerita ke aku. Eh...malah kamu datang, dan sepertinya lagi sewot banget gitu, ya auto lari deh dia!" ucapku sambil berlagak kesal. Nampak sekali ada kelegaan di wajah suamiku ini, malahan dia membuang nafas dan tersenyum simpul. "Kok kamu tiba-tiba kayaknya seneng banget gitu, Sari nggak jadi cerita padaku, Mas?!" ucapku sambil menatap wajahnya . "Ya lega dong, berarti kamu nggak keterusan bergosip ria dengan si pembantu itu!" "Lah, kok gitu sih. Kami itu nggak sedang ngegosipin orang kok, Mas. Tapi dia itu curhat, alias mengungkapkan apa yang kini terjadi pada dirinya, gitu!" ucapku sambil mencebik. Wajah Mas Andi kini terlihat lebih tenang dari pada tadi, senyum pun lagi-lagi menghiasi wajahnya. "Mulai sekarang, kamu itu nggak boleh terlalu percaya pada pembantu, apalagi sampai dekat banget. Kita dan mereka itu beda, jangan sampai dia ngelunjak!" ucapnya sembari mengelus pipi perutku yang membuncit. "Beda gimana sih, Mas? Kita ini sama-sama manusia, nggak ada yang berbeda kok dihadapan Tuhan. Apalagi Sari itu 'kan sudah lama bekerja di sini, dan sudah seeprti keluarga sendiri. Oh iya, kamu dulu kan dekat banget sama si Sari, Mas? Sampai apa-apa kamu bantu kerjain, dan kemana-mana kamu antar. Kok bisa sih sepertinya sekarang benci banget?" Pertanyaan ini sebenarnya sudah lebih dari semingguan ingin kutanyakan, tapi selalu kelupaan, dan sekarang adalah waktu yang tepat. "Itu...itu karena si Sari itu tukang tipu, Dek. Dia itu suka berbohong, jadi kamu juga harus hati-hati, jangan sampai nanti tertipu mulutnya, dia itu tukang bohong pokoknya! Ya sudah aku mau mandi dulu, gerah lagi ini." Mas Andi kemudian langsung berdiri dan akan menuju ke kamar, tanda merah di lehernya itu masih bisa terlihat. Tentu saja saat ini pikiranku jalan kemana-mana, apalagi dengan sikap Mas Andi pada Sari tadi, amat mencurigakan sekali. Sepertinya aku butuh bantuan, untuk mengungkap semua ini. Namun, aku tak ingin dulu ada yang tahu tentang kecurigaan pada suamiku sendiri ini. Karena bagiku, ini adalah sebuah aib, yang sebisa mungkin harus kututupi, apalagi belum pasti seperti ini. Handphone yang dari tadi kuletakkan di meja, tiba-tiba berbunyi, dan itu adalah tanda ada pesan yang masuk. Ternyata pesan dari Dewi lagi. [Itu suamimu 'kan Sis? Ini tadi di Cafe Boby's, sejam yang lalu sih aku ngambilnya. Tapi tadi lum sempat ngirim, karena anakku rewel.] Chat dari Dewi itu, di sertai dengan sebuah foto. Tampak Mas Andi sedang duduk menghadap kamera , dengan baju yang saat ini dipakainya, sedang mencium tangan seorang perempuan yang membelakangi kamera, seorang wanita dengan rambut panjang, dan mengenakan dress warna putih. Satu jam yang lalu? Beraarti itu saat aku sedang berbincang dengan Sari dong? Lalu siapa lagi wanita ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD