Tanda Merah Di Leher Suamiku 10
Aku Tak Boleh Lemah
[Itu suamimu 'kan Sis? Ini tadi di Cafe Boby's, sejam yang lalu sih aku ngambilnya. Tapi tadi lum sempat ngirim, karena anakku rewel.]
[Kamu seriusan, Wi?] balasku yang sebenarnya bingung mau merespon apa.
[Seriusan gimana?! Ya ampun Siska...masak kurang jelas sih, kalau yang di foto itu, suami kamu?]
[Ya jelas banget sih, Wi. Tapi kok kayaknya aku belum bisa menerima kenyataan ini ya, kalau Mas Andi bakal ngeduaian aku, saat sedang menjalani kehamilan yang melelahkan ini. Tadi kamu lihat mereka hanya berdua, atau rame-rame?]
Seperti balasanku di atas, jujur, aku memang belum bisa seutuhnya mempercayai foto yang dikirim oleh Dewi ini. Sejak siang tadi chat dengan Dewi, tanda merah di leher Mas Andi, kecurigaan pada cerita Sari, dan kini berujung pada foto mesra suamiku itu dengan wanita berambut panjang itu.
Dan foto dari Dewi itu, juga menunjukkan semua yang kusangkakan pada sari, tak nyata adanya. Sebuah kesimpulan bisa ditarik di sini, bahwa pacar gelap si Sari itu, adalah Bambang, suaminya si Linda, tetanggaku, dan bukan Mas Andi.
[Kamu harus sabar, Sis. Dan harus bisa menerima kenyataan. Ya cuman berdua dong, Sis, masak iya mau mesra-mesraan berjamaah? Dan satu lagi, perempuan ini, adalah perempuan yang sama dengan yang tadi pagi!]
Balasan dari Dewi itu, menbuatku makin yakin, jika itu buka Sari, dan aku tak boleh lagi berpikiran buruk padanya. Perubahan sikapnya dengan Mas Andi, mungkin hanya karena ada masalah antara pembantu dan majikan saja, nggak lebih.
[Ya ampun...Wi, bagaimana aku bisa kuat menghadapi semua ini? Di saat keadaanku seperti ini, apa yang harus kulakukan?]
[Aku tahu, Sis. Ini amat berat untukmu, tapi kamu harus kuat, dan tak terlalu down. Ingat, saat ini kamu lagi hamil, jaga baik-baik anak yang ada di dalam kandunganmu itu.
Satu lagi, jangan pernah kamu terlihat lemah dihadapan Andi, dan juga sebisa mungkin kamu harus pura-pura tak tahu, dan menyikapi dengan cerdas permasalahan ini. Dengan kata lain, main cantik aja dulu, tapi mematikan di ending-nya. Kamu mengerti 'kan, apa arti ucapanku tadi?]
Benar juga ucapan Dewi, aku nggak boleh lemah, dan main cantik diperlukan di sini. Dan satu lagi, aku tak boleh sedih, karena dengan ini, berarti Allah telah menunjukkan kepadaku bahwa Mas Andi bukan laki-laki yang baik. Jadi, buat apa meratapi dan menangisi laki-laki seperti itu. Yang penting saat ini, aku dan bayiku sehat.
[Iya deh, Wi. Insyaallah aku akan kuat menghadapi ini semua. Terima kasih banyak atas infonya, ya. Kamu memang teman terbaik deh, hehehe. Oh iya satu lagi Wi, kira-kira umur berapa sih perempuan yang bersama Mas Andi itu?] balasku.
[Usianya kalau kutaksir sih, paling masih dua puluh deh, Sis. Kelihatan masih imut dan cantik banget kok.
Aku senang kalau kamu tabah, sekarang kamu harus mulai siaga sih kalau kubilang, amankan aset dan kekayaan lain selagi kamu bisa, karena itu adalah mutlak hak kamu dan anakmu. Jangan sampai jatuh ke tangan pelakor itu, karena kalau telat, bisa-bisa kamu nggak dapat apa-apa.
Ingat Sis, pelakor sekarang ini pintar-pintar, jadi kamu harus bertindak cepat dan lebih cerdik darinya, sambil mencari tau lebih jelas lagi. Eh, Sis udahan dulu ya, anakku rewel banget. Kalau kamu butuh bantuan, langsung hubungi aku saja, jangan sungkan-sungkan.]
[Baik, Wi. Terima kasih banyak atas info dan sarannya. Assalaamualaikum.]
[Sama-sama. Waalaikumsalam.]
Seperti apa yang dikatakan Dewi tadi, kini aku harus bergerak cepat, mengamankan semua selagi bisa, sembari terus menyelidiki.
Tapi, kalau dipikir-pikir sih, nggak banyak juga harta Mas Andi di sini. Rumah yang kami tinggali, adalah rumah warisan dari orang tuaku, hanya saja, memang ada sedikit uang Mas Andi yang kugunakan untuk merenovasinya.
Saat ini, ada dua buah mobil. Satu atas nama Mas Andi dan atas namaku. Mobil itu kami beli dengan mengumpulkan uang hasil kerja kami berdua, namun tetap ada sumbangan dari tabunganku, yang kukumpulkan sebelum kami menikah, dan itu jumlahnya hampir separuh.
Tapi sebulan terakhir ini, mobil Mas Andi tak ada di rumah, sedang turun mesin katanya. Dan dia pun selalu memakai mobilku, karena kini pun aku tak lagi bekerja.
Untuk aset lain, semua perhiasan tentu saja atas namaku, dan ada lagi dua petak tanah kavling, yang dulu kami beli secara kredit, namun kini telah lunas. Dan keduanya, saat ini masih atas nama Mas Andi.
Aku harus mengamankan semuanya, paling tidak memindahkannya ke tempat yang lebih aman, namun tidak saat ini. Mungkin besok saja semuanya harus kulakukan, saat Mas Andi sedang bekerja.
Aku pun kemudian masuk ke kamar, melihat jikalau saat ini Mas Andi sedang mandi, mungkin saja ada sesuatu yang berhubungan dengan main api yang dibuatnya di luar.
Tokk tokk tokk
"Dih, ngapain aja sih, Mas, di kamar mandi? Dari tadi kok belum selesai?!" teriakku, sambil mengetuk pintu kamar mandi.
Sebenarnya, dengan melakukan hal ini, aku ingin tahu, seberapa lama lagi, Mas Andi akan di kamar mandi. Jadi aku bisa lebih tenang saat mencari barang bukti.
"Ya ampun, Dek. Ini juga baru masuk.je kamar mandi kok. Dan sekarang masih BAB," jawab Mas Andi dari dalam.
"Lah dari tadi kamu masih ngapain aja sih, Mas? Katanya tadi pamit mandi, gerah, kok malah sekarang baru masuk sih!" ucapanku kubuat seperti aku sedang kesal.
"Tadi masih capek, terus rebahan sebentar. Ada apa sih? Kamu mau ke kamar mandi? Ke belakang aja dulu sono," ucapnya lagi.
"Iya nih, aku juga pingin BAAB. Ya sudah aku ke kamar mandi belakang saja!" bohongku.
Karena Mas Andi pasti di dalam lebih dari lima menit, jadi kesempatan ini harus kugunakan sebaik mungkin. Untuk handphone, tentu saja tak mungkin ada, karena suamiku itu, selalu membawanya saat ke kamar mandi.
Untungnya, aku bisa menemukan celana panjang yang tadi dia pakai, saat ini tengah bergantung di sebelah almari. Gegas kuambil, dan segera ku cek apa yang ada di saku kirinya.
Di sini kutemukan dua lembar kertas kecil berwarna putih. Kertas yang lebih kecil ternyata adalah bill dari cafe Bobby, dan waktunya pun sekitar satu jam yang lalu, dan berarti ini cocok dengan apa yang tadi diinfokan Dewi.
Mataku seketika langsung terbelalak, saat ternyata kwitansi yang lebih besar itu, adalah nota pembelian sebuah handphone baru, yang harganya hampir mencapai sepeuluh juta. Kira-kira Mas Andi membelikan handphone mahal ini untuk siapa?