Tanda Merah Di Leher Suamiku 11
Nasibku Memang Buruk (Pov Sari)
Namaku Sari Sukmawati, usia masih dua puluh tahun deh, belum genap juga sih sebenarnya. Saat ini aku memang bekerja pada Bu Siska dan Pak Andi, sudah hampir setahun sih, dan aku sangat nyaman bekerja di sini.
Sejak berusia sepuluh tahun, aku sudah menjadi yatim piatu, dan kemudian tinggal bersama kakakku. Hingga kemudian lulus sekolah menengah pertama, aku mulai memutuskan untuk bekerja.
Sebenarnya kehidupan ekonomi Kakakku lumayan sih, mereka memiliki sebuah toko kelontong, dan hingga kini belum dikarunia seorang anak. Namun, kakak iparku itu amat jahat, dan katanya kehadiranku di rumahnya hanyalah sebagai beban. Padahal semua bagian warisanku, teksh habis dipergunkannya untuk membangun rumah.
"Mas, kamu itu nggak usah deh nyekolahin dia tinggi-tinggi, cukup sampai tamat SMP saja," ucap Mbak Nesya, kakak iparku.
Saat percakapan ini berlangsung, aku masih kelas tiga SMP, dan akan melaksanakan ujian akhir. Saat itu, kami bertiga sedang ada di toko, dan aku sedang membungkus gula, tiap pulang sekolah hingga malam, aku wajib bekerja di toko, jika tidak, maka tak ada jatah makan untukku.
"Lah, kok gitu sih, Dek? Paling tidak ya sampai lulus SMA. Kalau cuma lulusan SMP itu, nantinya dia mau kerja apa?" jawab Mas Bayu lirih.
"Ya terserah dia mau kerja apa, mau babu kek, cleaning service kek, terserah. Yang penting dia nggak terus-terusan jadi beban kita di sini."
"Kok beban sih? Dia ini adikku satu-satunya loh, dan almarhum ibu sudah mewasiatkanku untuk menjaganya. Dan bukanya dulu kamu bilang, jika akan menyekolahkannya hingga kuliah, sebelum menggunakan uang warisannya untuk membangun rumah? Lah kenapa sekarang kamu berubah pikiran, Dek?" tanya Mas Bayu, yang sebenarnya baik banget.
"Aduh, Mas...Mas! Masak iya sih gini aja kamu masih nanya? Bagian warisannya itu, sudah habis untuk biaya numpang hidupnya, biaya makan dan biaya sekolah. Malah itu kurang jika dihitung! Pokoknya, aku nggak mau jika dia sekolah lagi!" ucap Mbak Nesya ketus.
"Ya ampun, Dek, kamu kok mikitnya gitu banget sih? Aku tetap akan menyekolahkan Sari hingga lulus SMA, jika perlu hingga kuliah, toh dia 'kan anaknya pintar sekali. 'Kan dia tiap hari bantu kita di toko hingga malam , nggak pernah dibayar juga, nah anggap aja itu sebagai gantinya."
Mas Bayu masih juga berjuang untuk memberi keadilan untukku, sebenarnya kakakku amat baik, namun sayangnya dia takut dan selalu mengalah pada istrinya.
"Ya sudah, terserah kamu saja. Tapi ingat, jika kamu masih nekat menyekolahkan dia, maka aku akan minta cerai!"
Seperti biasa, akhirnya pertengkaran pun tak terelakkan antara mereka. Namun, baru saat itu kudenar Mbak Nesya meminta cerai , dan aku tak ingin keluarga mereka hancur hanya karena aku.
"Mas, aku nggak mau sekolah lagi kok, sampai tamat SMP saja, aku sudah malas mikir pelajaran, Mas. Aku ingin bekerja saja dan punya uang simpanan sendiri," ujarku berbohong saat itu.
"Nggak Sar, aku itu sudah berjanji pada almarhum ibu, untul menyekolahkanmu hingga tinggi, dan menjadikanmu orang sukses," ucap Mas Bayu.
Terlihat mbak Nesya, tersenyum licik saat aku berucap, aku yakin, saat itu hatinya amat gembira karena telah merasa menang.
"Pokoknya aku nggak mau sekolah lagi ,Mas. Aku ingin bekerja pokoknya!"
Singkat cerita, akhirnya saat aku telah lulus SMP, aku langsung pamit kerja, tentu saja hanya sebagai seorang pembantu.
Tempat pertamaku bekerja, adalah di kampung yang letaknya tak begitu jauh dari rumah Mas Bayu. Awalanya semua baik-baik saja, hingga kemudian setelah bekerja selama dua tahun, bos laki-laki ku mulai kurang ajar. Pria yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun itu, mencoba untuk menodaiku.
"Mau ngapai Tuan malam-malam datang ke kamar saya?" ucapku takut.
Malam itu, semua keluarga majikanku sedang pergi kondangan, dan aku tinggal sendiri dk rumah. Namun, ternyata bosku ini, pulang lebih awal, dan tiba-tiba masuk ke kamarku.
"Sudahlah Sar, ayo kita senang-senang dulu. Aku ini sudah lama banget loh, pingin berduaan dengan kamu!" ucapnya sambil tersenyum licik.
"Jangan, Tuan. Cepat pergi dari sini, atau aku akan berteriak," ucapku sembari mulai menangis.
"Berteriak?! Silahkan, memanya siapa yang akan mendengar? Tetangga? Nggak mungkinlah, rumahku ini kan berpagar tinggi. Lagian di rumah ini 'kan hanya ada kita berdua, jadi nggak akan ada yang mendengar teriakannmu!
Sudah, kamu nggak usah munafik gitu, ayi layani aku, nanti akan kuberikan apa yang kamu mau pokoknya, hahaha!"
Bosku itu, mulai maju sambil melepas kemeja batiknya. Sungguh aku takut dan merasa jijik saat itu.
"Tolong! Tolong! Tolong!"
Teriakku mencoba meminta bantuan, meski sebenarnya aku tahu, jika tak mungkin ada yang mendengarnya. Karena, rumah majikanku ini, letaknya sedikit jauh dari tegangga, dan amat luas sekali , serta ditembok tinggi sekilingnya.
Tanpa banyak kata lagi, bos tuaku itu langsung menyergapku, hingga kemudian dia berhasil merobek kaosku, dan tentu saja saat itu aku berteriak sembari menangis, namun dia seperti kesetanan, tak kasihan sama sekali padaku.
"Diam, jangan terus melawan, atau aku tak akan segan-segan membunuhmu! Tapi, jika kamu mau menurut, maka aku akan menjadikanmu gundik, yang akan kulimpahi banyak harta!" bujuknya sambil mencoba melepaskan celana pendekku.
"Tidak, aku bukan cewek murahan! Sekarang lepaskan aku! Tolong! Tolong! Tolong!" Aku terus merinta dan berteriak dan tentu saja aku masih kalah, karena tenaganya lebih kuat.
Kebiadabanya terus berlanjut, meski aku terus melawan, dia pun juga menghadiahiku beberapa tamparan karena aku terus berteriak. Saat dia akan penetrasi, aku juga masih terus saja melawan, untungnya saat itu, bu bos datang.
"Papa! Apa yang kamu lakukan!" teriaknya saat berdiri di depan pintu kamarku.
Kemudian wanita setengah baya itu masuk, dan mulai menarik suaminya, yang sudah berada di atasku. Kemudian menghadiahi sebuah tamparan untuknya.
Plakkk
"Dasar kamu, bandot tua! Nggak tahu diri! Dia ini masih kecil, masih juga kamu embat!" teriaknya.
"Dia yang terus menggodaku, Ma!" bohong suaminya sambil memegang pipi.
Selama ini, bos laki-lakiku itu, memang selalu kalah di depan istrinya, karena katanya sih, seluruh kekayaan ini, hanya warisan dari orang tua si istri.
"Banyak omong kamu! Aku lihat kamu yang merayunya! Sekarang bereskan pakaianmu, pergi dari kamar!" titahnya.
Dan bagai kerbau di congok hidungnya, sang suami langsung pergi meninggalkn kami.
"Kamu, Sar. Mulai besok kamu saya pecat, dan ingat jangan sampai orang lain tahu tentang kejadian ini, atau akan kubuat hidupmu menderita!" katanya padaku sambil mendelik.
Aku pun menerima semua ini, lagian jika tetap berada di rumah itu, aku takut bosku akan makin kurang ajar, dan tentu sjaa, akhirnya aku kembali ke rumah Mas Bayu.