Chapter 2

1872 Words
“Kau sudah dapat pekerjaan baru?” tanya Brianna di seberang telepon. “Belum. Aku masih mencari pekerjaan yang tepat untuk gadis sepertiku,” jawab Ruby. Malam ini, Ruby hanya berdiam diri di dalam flat-nya. Berbaring tengkurap di atas tempat tidur seraya membolak-balik koran. Setelah beberapa hari ia dipecat dari supermarket, ia masih belum mendapat pekerjaan baru. Hingga satu-satunya sumber penghasilannya hanya berasal dari restoran. “Jangan berkata seperti itu. Kau pasti akan menemukan pekerjaan baru setelah ini,” ucap Brianna, mencoba menghibur sang sahabat. “Semoga saja,” ujar Ruby yang masih sedih karena telah kehilangan salah satu pekerjaannya. “Tapi, apa kau tidak bekerja?” tanyanya. “Tentu saja aku harus bekerja. Aku hanya merasa kesepian tanpa kau di sini,” ucap Brianna. “Kalau begitu, tutup saja teleponnya. Jangan sampai kau juga dipecat karena meneleponku di jam kerja,” pinta Ruby. “Sudah terjadi PHK kemarin, tidak mungkin aku juga akan dipecat hanya karena meneleponmu di jam kerja,” bantah Brianna. “Itu mungkin saja terjadi. Karena, penyebabnya adalah restrukturisasi produksi. Jadi, besar kemungkinan mereka akan mencari kesalahanmu agar kau juga bisa dipecat,” ucap Ruby. “Benarkah?” tanya Brianna yang dijawab gumaman oleh Ruby. “Baiklah. Kalau begitu, sudah dulu. Aku akan menghubungimu lagi nanti,” lanjutnya kemudian segera memutuskan sambungan teleponnya membuat Ruby terkekeh. Namun, sedetik kemudian kekehannya berhenti dan ia kembali murung. Ia tahu, mencari pekerjaan memang sangat sulit. Tapi, ia tak menyangka akan semakin sulit seperti ini. Ia telah menghubungi beberapa nomor yang tertera di koran dan mendatangi berbagai tempat yang mungkin akan menerimanya. Tapi, tidak ada satu pun di antara mereka yang mau menerima gadis yang bahkan tak lulus Junior High School sepertinya. “Di mana lagi aku mencari pekerjaan?” gumam Ruby kemudian membuang koran yang sejak tadi ia baca lalu meletakkan kepalanya di atas tempat tidur. Sesaat kemudian, Ruby menghela napas lelah. Hingga matanya terasa berat dan ia jatuh tertidur di sore hari menjelang malam ini. ------- “Pagi, Ruby,” sapa Jane. “Pagi, Jane,” balas Ruby lesu. “Kau masih belum dapat pekerjaan tambahan?” tebak Jane tepat sasaran. “Begitulah,” ucap Ruby. “Tenanglah. Kau pasti akan segera menemukannya,” ujar Jane. “Lebih baik, sekarang kau gunakan waktumu untuk beristirahat sejenak. Kau sudah bekerja terlalu keras beberapa tahun terakhir,” lanjutnya. “Terima kasih atas perhatianmu, Jane. Tapi, kalau aku tidak segera mencari pekerjaan lain dan hanya bersantai ria, aku tidak akan bisa bertahan lebih dari dua bulan. Kau tahu ‘kan, tahun ini harga barang dan makanan naik semua,” ungkap Ruby. “Aku tahu. Tapi, kau juga butuh istirahat. Tubuhmu butuh istirahat. Kau tidak bisa terus memaksakan dirimu untuk bekerja terus menerus. Kau masih muda. Masih banyak pekerjaan yang bisa kau lakukan saat tubuhmu telah siap bertempur kembali. Take your time. Ok?” ujar Jane. Ruby menghela napas mendengar Jane yang memberinya nasihat. Baginya, Jane sudah seperti kakak baginya. Wanita yang lebih tua delapan tahun darinya itu selalu memperhatikan dirinya dan memberinya nasihat seperti saat ini. “Akan kupikirkan,” ucap Ruby. “Itu bukan hal yang harus kau pikirkan, tapi sesuatu yang memang harus kau lakukan. Tapi, apa pun itu, semoga kau membuat keputusan yang tepat, Rub. Bagaimanapun, itu juga demi dirimu,” ujar Jane kemudian beranjak dari sana setelah mengganti pakaiannya. “Jane,” panggil Ruby membuat langkah Jane yang hendak mencapai pintu terhenti lalu berbalik pada Ruby. “Terima kasih,” ucapnya membuat Jane tersenyum. “It’s my job,” ujar Jane lalu beranjak dari sana. ------- “Apa ada yang bisa kubantu?” tanya Ruby begitu memasuki dapur seraya memasang celemeknya. “Nothing!” jawab para koki bersamaan. “Ok,” ucap Ruby seraya mengendikkan pundaknya. Ia telah mendengar jawaban itu setiap pagi dan pada akhirnya, ucapan dan tindakan mereka tidak pernah sinkron. “Baiklah. Aku siap bertempur hari ini,” gumam Ruby setelah memasang sarung tangan cuci di kedua tangannya. “Untuk apa kau bersiap sekarang? Jam makan siang masih ada satu jam lagi,” sahut Leo yang tengah mencuci berbagai jenis sayuran. “Memang apa salahnya bersiap sekarang?” dengus Ruby. “Dari pada kau berdiri di sana tanpa melakukan sesuatu, lebih baik ke sini dan bantu kami,” ucap Harry. “Tadi kalian bilang tidak membutuhkan bantuan,” sindir Ruby. “Itu tadi,” balas Harry seraya mengendikkan pundaknya.    “Kalau begitu, tiga belas dolar,” ujar Ruby seraya bersandar di tepi wastafel cuci piring dan  menyilangkan kedua tangannya di d**a. “Kau menaikkan harganya lagi,” decak Troy. “Aku baru saja dipecat dari pekerjaanku. Anggap saja kalian memberiku pekerjaan tambahan,” ucap Ruby. “Sebelas dolar,” tawar Wildan. “Tiga belas dolar. Harga itu termasuk pajak. Aku bahkan sudah memberi kalian diskon sebanyak dua dolar,” tolak Ruby. “I’m out,” sahut Leo. “I’m out,” tambah Harry. “Me too,” sambung Troy. “Yes, me too,” lanjut Wildan. “Mm-hm. Harganya terlalu tinggi,” celetuk Gery ikut membenarkan. “Baiklah. Terserah kalian. Tapi, jangan panggil namaku nanti. Yang memanggilku akan dikenakan biaya lima belas dolar,” ancam Ruby. “Astaga, kau semakin menaikkan harganya!” seru Gery. “Kenapa? Bukankah kalian tidak butuh bantuanku?” sindir Ruby seraya mengendikkan pundaknya tak peduli. Satu jam kemudian. “Ruby! Ambilkan aku s**u kedelai dan kerang!” teriak Troy. “Ruby! Sekalian ayam di freezer!” tambah Harry. “Ruby! Udang!” sahut Leo. “Ruby! Tolong ambilkan ikan salmon!” sambung Gery. “Ruby! Ikan tuna juga!” tambah Wildan. Terikan para koki tersebut lantas membuat Ruby tersenyum miring. See? Kehadiran Ruby sangatlah dibutuhkan di dalam dapur tersebut. “Lima belas dolar,” ucap Ruby yang tengah bersilang tangan di d**a. Memandangi para koki itu berkutat dengan masakan masing-masing. Sementara dirinya masih santai berdiri menunggu tumpukan piring kotor. Karena, jam makan siang baru saja dimulai. Jadi, para koki sudah sibuk sejak awal sedangkan dirinya masih bisa bersantai ria. “Ruby!” teriak para koki kompak. “Baiklah, baiklah. Lima belas dolar,” putus Leo membuat Ruby menyerukan kemenangannya dan mulai bergerak mengambil semua bahan-bahan yang disebutkan para koki tersebut. Dengan kecepatan tinggi, Ruby berlari menuju ruang freezer dan mengambil pesanan para koki. Tak lupa ia ke ruang penyimpanan untuk mengambil s**u kedelai pesanan Troy. Setelah selesai mengambil semuanya, Ruby kembali berlari dan memerikan pesanan mereka masing-masing. “Ruby! Ambilkan aku Fettucini –sejenis mie untuk membuat pasta dengan bentuk yang lebih lebar dan tipis- dan yogurt!” teriak Wildan. “Siap!” seru Ruby kemudian segera melaksanakan perintah Wildan. Beberapa saat kemudian, akhirnya piring kotor mulai berdatangan ke dapur. Dan inilah saatnya bagi Ruby untuk memulai tugas sesungguhnya. Yaitu, mencuci piring. Saat ini, jumlah piring yang harus ia cuci memang masih sedikit, tapi akan segera bertambah seiring cepatnya pergerakan para koki. “Ruby! Tolong ambilkan aku tomat, telur, dan jamur!” teriak Leo. “Baik!” balas Ruby. Ia lalu menyimpan piring yang telah ia cuci di tempatnya dan segera berlari menuju ruang penyimpanan. Namun naasnya, saat Ruby hendak tiba di ruang penyimpanan bahan makanan, tiba-tiba saja seorang pelayan yang membawa banyak piring muncul di balik pintu hingga Ruby menabrak pelayan tersebu. Dan suara pecahan piring-piring yang pelayan itu bawa terdengar nyaring di dalam dapur berukuran enam kali enam meter tersebut. Para koki yang melihat kejadian itu seketika menghentikan pergerakan mereka dan fokus pada Ruby serta sang pelayan. Pecahan piring telah berserakan di mana-mana. “Ruby,” gumam Harry yang terpaku di tempatnya. “Ruby!” seru sang pelayan terlihat kesal, tapi juga takut. “Kenapa kau berlarian di dapur? Apa kau tahu berapa harga piring yang pecah karena kau menabrakku? Apa kau tahu berapa jumlah piring yang pecah itu? Harga masing-masingnya bahkan melebihi gajimu dan kau malah memecahkan tujuh piring!” bentak pelayan tersebut. Sementara itu, Ruby yang masih sangat terkejut hanya bisa terdiam di tempatnya. Tubuhnya gemetar, bibirnya kelu hanya untuk mengucapkan satu kata pun, tangan dan kakinya terlalu kaku untuk bergerak. “Apa yang ter-” ucapan Priscilla yang merupakan seorang manajer terhenti saat melihat banyaknya pecahan kaca yang berserakan di lantai. “Siapa yang bisa menjelaskan apa yang baru saja terjadi di sini?” tanya Priscilla geram. menahan amarah. ------- Saat ini, Ruby tengah duduk termenung di kursi panjang halte, menunggu bus seperti biasa. Bedanya, kali ini ia mengabaikan semua hawa dingin yang menyerang kulitnya. Ia seakan mati rasa terhadap hawa dingin yang menyerangnya. Wajah Ruby perlahan memanas, pandangannya menjadi buram akibat air mata yang menggenang di matanya. Dengan satu kedipan saja, air mata itu akan terjatuh. Namun, sebelum ia mengedipkan mata, air mata itu lebih dulu terjatuh dan membuatnya menahan isakan yang akan keluar dari bibirnya. Tak lama kemudian, seorang pria datang dan duduk di samping Ruby. Dia adalah Leo. Pria itu segera menyusul Ruby begitu melihat gadis itu meninggalkan restoran. Tangannya terulur menepuk pelan punggung Ruby. Menenangkan gadis itu. “Maafkan aku, Ruby,” ucap Leo. “Andai tadi aku tidak menyuruhmu, kau pasti tidak akan dipecat seperti ini,” lanjutnya. Ya. Setelah kejadian tadi, Ruby langsung dipecat dari pekerjaannya. Meski begitu, Priscilla tetap membiarkan Ruby menyelesaikan pekerjaannya hingga selesai. Dan kini, Ruby resmi menjadi pengangguran tanpa penghasilan apa pun. Di mana ia akan bekerja setelah ini? Di saat pekerjaan sangat sulit didapatkan. Satu-satunya sumber penghasilan yang ia harapkan telah tak ada. “Aku sungguh minta maaf, Ruby,” ucap Leo lagi merasa sangat bersalah. Namun, tetap tak ada respons dari gadis itu. ‘Tentu saja dia tidak akan menjawab, bodoh! Kau baru saja membuatnya kehilangan pekerjaan,” batin Leo merutuki dirinya sendiri. Rasa bersalah pun semakin menyerang Leo. Hingga ia teringat sesuatu. “Ruby,” panggilnya. “Kalau kau mau, aku punya pekerjaan untukmu,” ujarnya membuat Ruby yang telah berderai air mata menoleh pada Leo. “Beberapa hari yang lalu, temanku yang bekerja sebagai koki di rumah seorang pengusaha memberitahuku kalau di sana sedang membutuhkan pela ... yan,” ucap Leo. “Tapi, apa tidak apa-apa kalau kau menjadi pelayan?” tanyanya. “Di mana?” tanya Ruby dengan suara seraknya. “Aku akan mengirimkan alamatnya padamu setelah menanyakannya pada temanku nanti,” ucap Leo tersenyum. “Tapi, sebelum itu,” ujar Leo seraya mengeluarkan sesuatu dari balik saku coat-nya. “Ini,” ucapnya sembari meletakkan uang sebanyak seratus dua puluh lima dolar di tangan Ruby. “Kami menambahkan masing-masing sepuluh dolar dari harga awal,” jelas Leo. “Dan ini,” lanjutnya seraya menambah lima puluh dolar di tangan Ruby. “Hanya ini yang bisa kuberikan padamu,” ujarnya. “Leo,” gumam Ruby terharu. Selama ini, ia telah menganggap Leo sebagai kakaknya. Karena, di antara yang lain, Leo-lah yang paling dekat dengannya meski mereka sering bertengkar. Ruby lalu memeluk erat Leo dan terisak di pundak pria itu. Perlahan, Leo membalas pelukan Ruby dan menepuk pelan punggung gadis itu. “Setidaknya, aku harus ganti rugi karena membuatmu kehilangan pekerjaan,” ucap Leo. “Terima kasih,” bisik Ruby. “Kami pasti akan sangat merindukanmu nanti,” gumam Leo membuat Ruby tak kuasa menahan tangisnya. Jika tadi ia menangis karena sedih setelah kehilangan pekerjaan terakhirnya, kini ia menangis haru karena Leo yang terlampau baik padanya. ------- Love you guys~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD