“Aku ingin berhenti sejenak dari peperangan,” ujar Raja Ryasion mengagetkan semua orang di meja pertemuan.
Berminggu-minggu setelah peperangan besar usai, dunia menjadi kacau. Perebutan dan perluasan wilayah dari Negera penguasa semakin gencar dilakukan. Para petinggi kerajaan mengusulkan p*********n kembali pada negara-negara yang ditinggalkan pendukungnya untuk menambah wilayah kekuasaan.
“Maaf paduka raja, kelemahan kerajaan-kerajaan terdekat setelah perang dunia ini akan sangat menguntungkan. Kita bisa dengan mudah menambah wilayah kekuasaan.”
“Aku tahu, Clint.”
Clint berdeham, mereka serentak menatap Clint. Perkataannya terdengar seperti menggurui seseorang paling tinggi statusnya. “Maafkan kelancangan saya, Paduka.” Lalu menunduk.
“Tak apa, aku mengerti kalian ingin menjadikan kerjaan ini semakin besar dan berkuasa secepat mungkin. Aku senang kalian punya semangat itu. Tapi ada waktunya. Semua harus dilakukan secara bertahap. Lagi pula, permaisuri akan melahirkan penerusku dalam waktu dekat. Aku ingin berada di sampingnya saat itu terjadi.”
Semua orang diam.
“Apa paduka mengizinkan kami turun sendiri merebut wilayah-wilayah itu?” Tirta bersuara menarik perhatian sang raja padanya.
“Bisa saja,” Terdengar helaan napas lega banyak mulut. “Aku sangat mempercayaimu, Tirta. Maka dari itu aku menjadikan kamu sebagai panglima, agar bisa mewakili aku dalam beberapa kesempatan. Tapi untuk yang satu ini, aku tidak bisa mengizinkan. Ada lagi yang ingin menyampaikan pendapat?”
Pandangan Ryasion mengedar, rata-rata para petinggi di ruangan itu menunduk. Tampak jelas kecewa berat. Semangat para prajurit serta petinggi kerajaan ini sangat besar. Ryasion sadar keputusannya akan memunculkan perdebatan. Bukan hal aneh bila nanti di belakangnya akan ada pemberontakan. Sebagai seorang pemimpin, dia siap menghadapi apa pun.
Ryasion berdiri, tersenyum lebar sebelum meninggalkan ruangan. “Kabar baiknya, kita akan berpesta setelah penerusku lahir ke dunia. Buat pesta semeriah mungkin untuk menyambut pangeran kalian.”
Beberapa orang berdecih, mereka saling melirik begitu menyadari sepertinya berada di pihak yang sama. Tirta mengangguk patuh pada sang raja. Menyaksikan rajanya melenggang diikuti beberapa penjaga kerajaan.
***
Suatu hari Tirta menerima undangan rahasia ke sebuah tempat terpencil. Di sana dia mendapat sambutan hangat, beberapa orang yang ada adalah orang yang sama di pertemuan dengan raja. Mereka mengangkat gelasnya begitu Tirta membuka pintu. Seolah menyambut pahlawan.
Sudah Tirta duga, dirinya akan bertemu para penentang keputusan raja. Aura mereka kelam seperti ruangan minim cahaya itu. Kepulan asap hilir mudik mengambang di udara. Mereka merencanakan penggulingan kekuasaan. Demi menegakkan apa yang mereka anggap benar.
Lantas Tirta menolak mentah-mentah. Menggulingkan raja yang telah menempatkan dirinya di posisi ini sangat menjijikan. Tapi dirinya pun mengakui, keputusan-keputusan raja sangat lemah. Bisa mengundang banyak masalah untuk ke depannya. Entah akan berapa lama kerajaan ini bertahan di bawah kepemimpinan Raja Ryasion jika terus seperti ini. Tirta khawatir, bagaimanapun ia dan raja bertema sejak kecil.
“Aku tidak bisa,” tolak Tirta tidak berubah.
Tirta bahkan tidak menyentuh makanan yang tersaji sedikit pun. Pedang pemberian raja menjadi fokus utamanya. Para pemberontak hanya menatap Tirta sekilas.
“Ayolah, Tirta, jangan munafik. Beri tahu kami apa alasannya.”
Mereka saling lirik dan mengangguk setuju.
“Aku punya seorang raja bijaksana. Berkatnya aku ada di posisi ini sekarang. Apa lagi yang aku butuhkan?”
Clint tertawa, terbatuk-batuk kemudian sebab asap rokok. “Naif, kau Tirta.”
Tirta mengernyitkan kening, tak mengerti. Apalagi tawa menggema Clint mengundang tawa yang lainnya.
“Aku tahu kamu mengukai Ratu Natalia yang cantik itu, kan?” katanya.
“Apa maksudmu?" Sontak Tigreal menegakkan punggung.
“Jangan berpura-pura bodoh. Sejak belum menjadi apa-apa kau menyukai ratu kita. Jika kau bisa membuat Ryasion tewas, bukankah istana dan seisinya akan jadi milikmu termasuk Ratu Natalia?”
Ruangan itu kembali riuh oleh tawa. Tirta baru menyadari memang tempat itu dipenuhi tawa orang-orang yang merasa bisa semena-mena meledek sebuah hubungan.
Kemudian yang didapat Clint adalah cengkeraman kuat Tirta. Panglima itu menubrukan mendorong keras petinggi kerajaan pada tembok hingga menimbulkan retakan. Clint sedikit meringis, lalu tertawa lagi. Ia merasa menang telah menggenggam kelemahan seorang Tirta.
***
Hari itu sangat ditunggu-tunggu seluruh rakyat Azurastone. Tangisan bayi di salah satu ruangan menarik seluruh perhatian istana. Orang-orang berbondong-bondong mencari tahu bayi siapa yang menangis kencang itu. Ternyata sang ratu melahirkan seorang putra sesuai dugaan Raja Ryasion. Karena kelahiran seorang putra yang akan meneruskan tahta kerjaan, kebahagiaan mereka berlipat ganda. Mereka menamai bayi itu Gyuseon. Anak lelaki yang lahir dengan pisau di genggamannya untuk menghunus kejahatan, kira-kira begitu harapan mereka pada pangeran penerus tahta.
Tirta menyaksikan Ratu Natalia dari kejauhan. Har demi hari aura perempuan itu terpancar terang setelah kehadiran bayi yang selalu ia dekap kemana-mana. Ratu Natalia lebih banyak tersenyum dan bersenandung demi putranya. Tirta bisa menemui Ratu Natalia mendekap makhluk kecil di lorong istana diikuti penjaga, di balik pilar-pilar besar Tirta mengintip. Bagaimana Ratu Natalia tersenyum di tengah hamparan bunga Tirta jadi bertanya-tanya pada diri sendiri sejak kapan rasa ingin memiliki itu hadir dan berubah menjadi keinginan besar?
"Tirta kau di sini?"
Tirta terperanjat. Suara itu berasal dari salah satu lorong menuju paviliun. Entah sejak kapan Ratu Natalia melihatnya. Kini mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak lumayan dekat.
Tirta berdeham, mengusir suasana kikuk. Sudah sangat lama mereka tidak dihadapkan pada situasi berdua. Terakhir terjadi saat mereka masih muda. Itu sudah lama.
Sekarang hubungan mereka tak lebih dari keluarga kerjaan dan pelayan. Tirta tahu dimana posisinya. Meski harus ia akui, sulit membohongi diri sendiri. Sulit mengabaikan perasaan yang telah berkembang subur sejak lama. Tapi apa daya Tirta? Wanita yang ia cintai milik orang lain.
"Maaf mengganggu, Ratu. Kalau begitu saya pamit?" Tirta hendak undur tetapi dicegah Ratu Natalia.
"Tunggu, Tirta. Kami tidak mengganggu siapapun di sini. Ini tempat kesukaanmu juga, bukan? Ternyata kami masih berkunjung ke paviliun tanaman ini."
"Saya cukup sering ke sini."
"Oh, iya?" Ratu Natalia terlihat kaget, lalu raut wajahnya berubah bersalah, "aku sudah lama tidak ke sini. Sekarang tanamannya semakin banyak. Pasti kamu yang mengurusnya, kan?"
Tirta menggeleng, "Tukang kebung yang mengurus semua tanaman di paviliun ini, Ratu. Raja dan saya sering membicarakan hal penting di sini, kami juga beberapa kali membawa tanaman langka dari tempat yang pernah kami kunjungi."
"Wah, pantas banyak tanaman yang asing di sini."
"Apa Ratu menyukainya?" tanya Tirta hati-hati.
Ratu Natalia mengangguk. Kedua matanya menyerupai lengkungan bulan sabit ketika tersenyum. Untuk sesaat membuat Tirta lupa bahwa wanita di hadapannya adalah seorang ratu. Tirta segera mengalihkan pandangannya begitu terdengar langkah kaki berlari memasuki paviliun.
"Ratu, Ratu, ini selimut milik pangeran." Salah satu anak pelayan berlari ke arah mereka.
Tirta pergi dari sana tanpa sepengetahuan Ratu Natalia. Ia sadar diri tidak akan baik bila orang-orang melihatnya bicara di paviliun bersama ratu.
"Terima Kasih, Bella. Tirta habis ini kalian akan ke negeri man--" Ratu Natalia celingukan, "kemana Tirta?"
Di balik sebuah pilar besar Tirta berdiri. Ratu mencarinya. Namun, Tirta harus menahan diri agar tidak muncul lagi di hadapan ratu. Atau ia akan benar-benar gila, ingin memiliki wanita itu.
==BDSP==
[Makasii dukungannya ya]