Chapter 01

1768 Words
Mata yang awalnya tertutup rapat tiba-tiba terbuka dengan napas yang terengah-engah, detak jantung yang berpacu cepat. Mata itu kembali tertutup beberapa saat dengan helaan napas yang mulai normal. Tak berapa lama, netra cokelat madu itu kembali terbuka menyusuri setiap senti ruangan tempat ia berada. Di mana ini? Begitulah kiranya isi kepala sang pemilik netra madu tersebut. Ruangan putih dengan bau khas obat-obatan. Rumah sakit. Ia menyadari jika berada di rumah sakit saat ini. Asumsi itu dibuktikan dengan tangan yang sedang ditusuk jarum infus. Keningnya berkerut saat melihat tangan yang begitu besar. Ia menggerakkan tangannya. Genggam lalu renggang, selama beberapa saat. Ia mengubah posisinya menjadi duduk di atas ranjang rumah sakit lalu menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Melihat kaki panjang dan jenjang di balik selimut. Ia menaikkan bagian bawah celana rumah sakit yang ia kenakan hingga memperlihatkan bulu-bulu kaki yang hitam. “I-ini mimpi, kan?”                                          Orang itu tiba-tiba menegang mendengar suara yang baru saja terdengar telinganya. Besar, berat dan terdengar gagah sekaligus seksi. Terlebih penting lagi, suara yang dia keluarkan milik laki-laki. Pandangan matanya turun ke arah area antara kedua pahanya. Dengan tangan gemetar dan jantung berdetak cepat, ia mengangkat bagian pinggang celana tersebut. Matanya membelalak melihat belalai panjang ada di sana. Ingin rasanya ia berteriak dengan kencang namun sakit di bagian kepala lebih dahulu menyerang sebelum ia mengeluarkan jeritannya. Kepalanya serasa dipukul godam besar. Sakit, teramat sakit. Kilasan kejadian berputar di kepalanya seperti sebuah film. Tak kuat menahan sakit yang mendera kepala, ia kembali di telan kegelapan. Pingsan. *** Seorang gadis tengah berlari cepat memasuki sebuah gedung. Wajahnya tampak menunjukkan kekhawatiran yang sangat mendalam. Tak sekali dua kali ia menabrak orang di sana dan meminta maaf kemudian melanjutkan langkahnya. Rambut hitam yang diikat menjadi satu membentuk ekor kuda bergerak-gerak karena goncangan. Sampai di depan lorong dengan kata-kata Paviliun Anggrek, ia mulai mengedarkan pandangannya mencari nomor kamar yang akan ia tuju. Ia mengingat-ingat kembali nomor ruangan yang akan ia datangi. Nomor 523. Tanpa basa-basi ia membuka ruangan tersebut. Dengan langkah lebar ia berjalan ke arah ranjang yang berisi seorang lelaki. Air matanya mengucur tanpa bisa ditahan dan rasa khawatir yang makin membuncah saat melihat posisi lelaki itu tak benar. Kepala yang tak beralaskan bantal, condong ke tepi ranjang. Gadis itu berjalan cepat ke tepi ranjang. “Astaga Ri—“ Perkataannya berhenti di tengah jalan. “Kok bukan Rian?” Keningnya berkerut. Dia mengeluarkan ponsel dari tas selempangnya. “Perasaan tadi bener deh kamar Anggrek nomor 523.” Mencari nomor temannya dan segera melakukan panggilan untuk mengkonfirmasi kembali nomor ruang rawat Rian. Dengan cemas ia menunggu jawaban dari temannya. Kuku ibu jari menjadi sasaran kecemasannya. “Halo!” serunya cepat saat panggilannya diterima. “Gue udah di anggrek 523, nih. Tapi, kok bukan Rian, ya?” Gadis itu menoleh ke arah lelaki yang masih tak sadarkan diri dengan posisi yang tidak estetik. “Dodol lo emang kebangetan, ya, Li. Anggrek nomor 525 bukan 523, ya ampun!” sahut teman gadis itu. “Gue salah, dong berarti?” tanya gadis itu. Terdengar helaan napas kesal dari si penerima telepon. “Lo bener kok, Li! Bener-bener dodolnya enggak lo bagi-bagi!” kesal orang di seberang telepon. “Buruan ke 525, pacar lo sekarat!” seru kesal orang tersebut sebelum mengakhiri panggilannya. “Eh! Kok—“ Gadis itu menatap layar ponselnya. Panggilan sudah diakhiri sepihak oleh temannya. “Kebiasaan banget sih, Fera!” serunya kesal. Bibirnya mengerucut kesal.  Tak berselanga lama .... “Astaga! Rian sekarat! Haduh! Jangan mati dulu, Yan!” serunya panik saat mengingat kalimat terakhir gadis bernama Fera. Gadis itu beranjak dari ruangan nomor 523. Pandangan gadis itu kembali ke arah lelaki yang tidur dengan posisi tidak estetik sama sekali. Ia membawa langkahnya kembali memasuki ruangan. Membenarkan posisi tidur lelaki yang tidak ia kenal sama sekali. “Kasihan, kan ganteng-ganteng tidurnya lasak.” Setelah ia membenarkan posisi tidur lelaki tak dikenal itu barulah ia berjalan dengan cepat menuju ruangan sang kekasih yang berjarak satu ruangan dengan ruangan yang ia masuki. “Rian, jangan mati dulu!” *** “Pa, anak kita baik-baik aja, kan? Kenapa dia belum sadar juga? Padahal dokter Ivan tadi bilang kalau El bakal cepet sadar.” Suara lembut dari seorang wanita yang melihat anaknya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Mata wanita itu mengeluarkan air mata dalam pelukan sang suami. Pria paruh baya itu memeluk istrinya dengan lembut. Memberikan penguatan agar bersabar menunggu sang anak sadar. Percakapan sepasang suami-istri itu mengusik seseorang yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Perlahan, kelopak mata yang tadinya tertutup kini terbuka. Netra madu itu mengedar ke sekeliling ruangan. Dua orang paruh baya yang menunggunya sadar tersenyum cerah melihat ia membuka mata. Dia tak mengenal dua orang itu. Siapa meraka? Kenapa mereka terlihat senang? “Kalian siapa?” tanyanya. Tubuhnya menegang sekilas mendengar suara maskulin yang terdengar di telinga sebelum akhirnya ia menutup kedua mata dan memijat pelipisnya. Dua orang yang sejak beberapa saat lalu menunggui lelaki itu sadar saling berpandangan. Bingung. “Kamu enggak ingat siapa kami, Nak?” tanya si wanita. Dari sela tangannya lelaki itu melihat wajah wanita yang menanyainya. Mengingat-ingat. “Tidak, kalian siapa?” tanya si lelaki. Wanita itu menitikkan air mata. Ia menangis dalam pelukan sang suami. “Pa, El enggak ingat kita, Pa! Panggil dokter Ivan, Pa! Panggil!” Pria paruh baya itu mengusap punggung sang istri. Ia menekan tombol yang menempel di atas ranjang rawat. “Sabar, Ma! Sebentar lagi dokter Ivan datang, kita tanya kenapa El bisa amnesia begini, ya.” Sementara lelaki yang dibicarakan tak menyimak percakapan dua orang di sebelahnya. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Bagaimana ia bisa berubah menjadi laki-laki? Dia seratus persen perempuan! Dia yakin itu. Dia masih ingat kalau dia memiliki suami yang seratus persen, tulen seorang laki-laki dan seorang ibu mertua yang seratus persen perrempuan. Kenapa dia bisa berubah menjadi laki-laki? Dan seingatnya ia sedang kabur dari rumah bordir lalu tertabrak. Apa dia sudah mati lalu rohnya berpindah di tubuh orang lain? Lelaki itu tertawa renyah menyadari pemikiran konyolnya. Mana mungkin ada hal seperti itu? Ini dunia nyata bukan dunia fantasi. Pasangan suami istri yang melihat putra mereka tertawa sendiri merasa sedih. Apakah putra mereka gila? Tak berselang lama pintu ruangan tersebut terbuka. Seorang lelaki dengan setelan jas khas dokter masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa menghampiri pasangan suami istri tersebut. Dapat ia lihat jika putra dua orang tersebt sudah sadar. “Nigel sudah sadar rupanya,” ucap si dokter, ramah. Wanita paruh baya itu segera menghujani dokter tersebut dengan beberapa pertanyaan. “Kenapa El jadi amnesia? Dia bahkan tertawa sendiri. Tidak ada hal yang serius dengan El, kan, Dok?” Irvan segera memeriksa sang pasien. Namun, saat ia menekan bagian d**a pasiennya, sebuah tamparan mendarat mulus di pipinya. “Berani sekali Anda?” kata si pasien. Pria paruh baya itu memberikan pengertian jika dokter ingin memeriksanya. Dengan enggan akhirnya si lelaki itu memperbolehkan dokter memeriksa tubuhnya. Mulai dari memeriksa detak jantung, denyut nadi, dan bagian lainnya. “Kamu ingat nama kamu siapa?” tanya si dokter. Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia masih berpikir, apakah ia harus jujur mengatakan namanya adalah Liliana? Tidak! Yang ada dia dianggap kelainan mental lalu dibawa ke rumah sakit jiwa. Jangan sampai itu terjadi! “Nama?” tanya si lelaki seolah tak paham. Dokter Irvan menghela napas. “Kamu ingat umur kamu berapa?” tanya Irvan lagi. “24 tahun!” jawabnya dengan tegas. Lelaki itu tak berniat menutupi umurnya. “Tahun berapa sekarang?” tanya Dokter secara acak. Lelaki itu mengerutkan keningnya, bingung dengan pertanyaan si dokter. “2025?” jawabnya dengan ragu. Dokter Irvan menghela napas. Ia menoleh ke arah pasangan suami istri yang menunggu kputusan darinya. “Sepertinya Tuan Nigel mengalami amnesia, tetapi untuk membuktikan dugaan saya kita perlu melakukan beberapa tes lain seperti MRI, CT scan, pemeriksaan darah, EEG atau elektroensefalogram.” Nigel—tubuh yang ditempati jiwa Liliana—tentunya mendengar dengan jelas ucapan sang dokter. Ia menoleh ke arah Irvan dengan tatapan protes. Aku bukannya amnesia tapi aku pindah ke tubuh orang lain yang bahkan tidak kukenal! Saat Nigel menoleh ke arah Irvan, tanpa sengaja ia melihat kalender yang tergantung di dinding belakang dokter tersebut. Netra madu itu membulat melihat empat angka yang terangkai menjadi satu membentuk sebuah bilangan. 2020! “Tanggal berapa sekarang?” tanya Nigel tiba-tiba. Tiga orang yang sedang mendiskusikan tindakan lanjut untuk mengetahui apakah Nigel benar-benar amnesia atau tidak, menoleh ke arah Nigel yang bertanya. “3 November 2020,” Irvan mengerutkan keningnya saat menjawab pertanyaan Nigel, “ada apa, Tuan? Apakah Tuan mengingat sesuatu?” tanya Irvan. Jawaban dari Irvan membuuat tubuh Nigel membeku. Di dalam kepala Nigel penuh dengan berbagai spekulasi. Kenapa? Bagaimana bisa? Ia yang harusnya hidup di tahun 2025 terlempar ke masa lalu. Tunggu, tahun ini adalah tahun 2020 berarti saat ini dirinya—Liliana—masih menjadi seorang mahasiswa di universitas Jayataruna dan masih menjadi kekasih suaminya—di masa depan. Apakah ini kesempatan kedua yang diberikan Tuhan untuk Liliana? Jika memang seperti itu, Nigel berjanji akan mengubah jalan hidup Liliana. Ia tak mau kehidupan Liliana tak beruntung di masa depan. Nigel bertekat untuk mencari Liliana secepatnya. “Kapan aku bisa pulang?” tanya Nigel pada Irvan. Irvan tidak bisa menjawab karena kondisi Nigel belum stabil. “Maaf, tetapi Anda harus dirawat selama beberapa saat sampai kondisi Anda benar-benar stabil.” Nigel membantah, ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja. Tetapi, Irvan tidak bisa mempercayai perkataan Nigel karena lelaki itu bahkan tidak mengingat siapa namanya sendiri. Nigel mengumpat kesal mendengar jawaban Irvan sebelum meninggalkannya di ruang rawat bersama dengan pasangan paruh baya yang sejak tadi menunggui ruang rawat. Pertama yang harus ia lakukan sebelum mencari Liliana adalah mengingat siapa tubuh yang ia tempati. Mata madu itu menutup rapat, mengobrak-abrik memori yang ditinggalkan pemilik tubuh. Kilas memori yang tersimpan di kepala Nigel berputar seperti film layar lebar. Sebelumnya memori itu memaksa masuk ke ingatan jiwa Liliana namun karena dia menolak akhirnya sakit kepala yang teramat mendominasi dan membuat tubuhnya pingsan. Kini jiwa Liliana sendiri yang menjelajahi memori sang pemilik tubuh. Liliana mengetahui jika pemilik tubuh ini bernama Nigel Jayatama, berusia 25 tahun. Putra tunggal dari pasangan Rakasa dan Arum Jayatama. CEO di Tama Grup. Lelaki itu bisa berada di rumah sakit karena ada seseorang yang mencampurkan racun ke minumannya. Mungkin musuh dari Nigel yang melakukan hal itu. Liliana mengerutkan keningnya, ia seperti pernah mendengar nama Nigel di suatu tempat. Tetapi di manakah itu? Liliana berpikir. Ia seperti familier dengan nama Nigel. Netra madu itu terbuka saat ia berhasil mengingat dari mana ia mengetahui nama Nigel. Pemilik netra madu itu menoleh ke arah kalender yang menggantung di dinding. “Nigel Jayatama harusnya meninggal hari ini,” gumamnya. Liliana mengerti sekarang, mengapa dia bisa nyasar di tubuh Nigel. Tak lain karena tubuh ini tidak memiliki jiwa alias tempurung yang kosong. “Nigel, aku berterima kasih padamu karena telah meminjamkan tubuh ini padaku. Aku akan membalas kebaikanmu dengan mencari dalang yang meracunimu.” Netra madu itu menatap ke arah langit-langit. “Aku akan menyelamatkan diriku di kehidupan ini. Agar di masa depan ia tidak bernasib sama sepertiku. Dan awas saja mertua ular kadut itu, tunggu pembalasanku!” Pancara netra madu itu berapi-api saat mengingat ibu mertua yang tega menjualnya ke rumah bordir. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD