bc

MAHAR DUA RATUS JUTA

book_age16+
1.1K
FOLLOW
4.1K
READ
family
HE
drama
widow/widower
like
intro-logo
Blurb

Baju bekas lagi? Baju ini terlalu bagus untuk dikatakan bekas. Kenapa Ibunya Om Duda itu selalu memberikannya pada kami?

chap-preview
Free preview
BAB 1
“Gita, barusan Ibu papasan sama mobilnya Bu Ajeng. Dia habis nganterin baju bekas lagi?” Ibu yang baru saja pulang dari rumah Mbok Inah---pemilik warung sembako menatapku penasaran. Diletakkannya plastik hitam yang biasanya berisi sayuran itu di atas meja tivi. “Iya, Bu.” Aku mengangguk dan menggaruk tengkuk. Lalu menunjukkan satu plastik yang berisi tiga set gamis anak bekas yang diberikan Bu Ajeng tadi. “Apa benar ini bekas, Gita? Baunya saja masih wangi baru kayak gini. Apa kalau orang kaya beli baju sekali pakai saja, ya?” Ibu menelisik satu per satu baju yang diberikan Bu Ajeng tadi. Sudah tiga kali dalam bulan ini, Bu Ajeng berkunjung ke rumahku dan mengantarkan baju-baju bekas, katanya bekas Arsyla---cucunya. Kebetulan usianya sama dengan Nacita---adikku dan postur tubuhnya hampir sama. “Ya bebas kali Bu kalau orang kaya, mah. Lagian dia ‘kan pemilik butik besar. Mungkin sekali pakai, terus ganti, sekali pakai terus ganti.” Aku yang sebetulnya merasa ragu kalau baju ini bekasan pun ikut berasumsi. Bingung sebetulnya dengan perubahan sikap Bu Ajeng akhir-akhir ini. Enam bulan aku kerja di butiknya yang cukup besar, tetapi baru satu bulan terakhir dia rajin sekali ke rumah dan mengantarkan baju bekas untuk Nacita. Dia pun cukup kepo dengan kehidupan pribadiku. Dia tanya umurku, tanya kerjaan Ibu, tanya kebutuhan hidup tiap bulan hingga aku harus putus sekolah dan tak lagi kuliah. Bahkan dia pun ada tanya, apakah aku ada rencana nikah muda? Aneh memang. Rasanya perubahan itu terjadi semenjak siang itu dia mengajak cucunya---Arsyla ke butik dan ketika gadis itu ngamuk, aku bisa menenangkannya. Aku sudah terbiasa mengemong Nacita, karena itu tak masalah bagiku menghadapi Arsyla. Meskipun semenjak ditinggal oleh Mamanya, Arsyla menjadi begitu manja. Namun, aku masih bisa menanganinya. “Assalamu’alaikum!” Suara Nacita dari ambang pintu membuyarkan lamunanku. Tampak adikku yang manis itu berjalan mendekat. Usianya baru enam tahun dan sudah ikut TPA. Dia mengenakan gamis yang terlihat mahal, baju bekas yang minggu lalu dikirimkan Bu Ajeng juga langsung ke rumah ini. “Wa’alaikumsalam! Eh sudah pulang! Lihat ini, Mbak punya apa?” Aku menerima uluran tangannya yang mencium punggung tanganku. Begitupun pada Ibu, dia melakukan hal yang sama. “Wah, apa, Kak?” Kedua mata indahnya tampak berbinar. “Baju buat Cita!” Aku mengeluarkan tiga set gamis lengkap dengan kerudungnya dan akan pas sekali di badan Nacita, rasanya. “Wahhh dari majikan Kakak lagi, ya?” Dia meraih tiga set gamis yang kusodorkan padanya itu dan segera meletakkan tas dan membuka kerudung yang dipakainya sekarang. Tanpa kusuruh, dia pun langsung mencobai gamis yang diberikan Bu Ajeng itu dengan semangat. “Muat, Kak! Pas banget. Makasih Kakak!” Dia berlari ke depan cermin di dalam kamar dan membiarkan pintunya terbuka. Kulihat dia melompat-lompat girang dan memutar-mutar di depan kaca. Ah, rasanya haru sekali. Memang semenjak satu setengah tahun lalu ayah kami memilih perempuan lain dan hidup dengan keluarga barunya, aku dan ibu terseok-seok. Jangankan untuk beli pakaian, untuk makan saja seketemunya. Ah, jika ingat itu … ingin sekali rasanya sekalian bilang kalau gak usah punya ayah. Aku benci setiap mengingat tawanya dengan perempuan itu dan anaknya yang seumuran denganku. Ayah sudah mengkhianati Ibu, menyakitinya dan meninggalkan kami di sini. Semenjak hari itu, jarang sekali Cita dibelikan baju baru. Setahun sekali biasanya pas lebaran saja. Waktu perceraian Ibu dengannya, aku masih harus menyelesaikan dua tahun sekolahku di SMA. Jadi Ibu benar-benar banting tulang dan kami harus mengencangkan ikat pinggang. Alhamdulilah, lulus sekolah aku direkomendasikan seorang guruku untuk kerja di butik mamanya temannya. Pak Adrian---ayahnya Arsyla adalah teman dari guruku yang katanya sedang cari pekerja untuk butik milik mamanya itu. Alhamdulilah, sampai sekarang, sudah enam bulan aku bekerja di sana dan perlakuan Bu Ajeng semakin baik saja. “Ayo, lepas dulu bajunnya, Cita! Kita makan dulu! Ibu dikasih pindang goreng sama tumis jamur tadi oleh Bu Inah.” “Wah ada jamur, Bu! Horeee!” Nacita bergegas melepas pakaian yang melekat pada tubuhnya dan berlari menghampiriku yang duduk di ruang tengah. Ruang tengah kami yang hanya ada meja dan satu tivi. Tak ada sofa. Ibu sudah menjualnya ketika dulu harus iuran sekolah. Ayah man apeduli lagi denganku, bahkan nomornya saja tak bisa dihubungi, mungkin sudah ganti. Ibu membawa piring dan menyajikan makanan seadanya yang bagi kami sudah alhamdulilah. Duduk melingkar dan mengambil nasi dari dalam bakul kecil yang Ibu sudah ambilkan. Ibu membagi lauk tumis jamur itu ke piringku dan Cita. Sedangkan dia hanya dengan kuahnya saja. Lalu membagi juga ikan pindang seiris kecil itu untuk kami berdua, aku dan juga Cita. “Ibu jamurnya!” Aku hendak mengambilkan sedikit jamur dari piringku ketika dia menolaknya. “Ibu tadi sudah makan jamurnya di sana. Itu Ibu bawa pulang buat kalian saja.” Aku tak mendebat lagi. Bukan apa-apa, biasanya aku suka nangis dan sedih. Rasanya gak mungkin kalau Ibu sudah makan, tapi sekarang ikut makan lagi. Dia tiap hari hanya makan dengan kuahnya saja. Begitupun ketika aku hendak menyimpan irisan pindang itu ke piringnya lagi-lagi dia menolak. Katanya sudah makan. Aku rasa Ibu pasti bohong. Dia hanya takut jika anak-anaknya tak kenyang. *** Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah berangkat kerja. Jalan kaki ke depan yang lumayan agak jauh untuk naik angkutan umum menuju butik Bu Ajeng. Sementara itu, Ibu masih sibuk mendandani Cita dan akan mengantarnya sekolah TK. Baru sepulang Cita sekolah, Ibu akan bantu-bantu di warung sembakonya Bu Inah. Kadang menakar minyak sayur, membungkusi gula, tepung atau apa saja yang bisa dia kerjakan. Tak ada upah, hanya dua bungkus lauk dan terkadang sama nasinya untuk makan. Ah, perih memang. Uang gaji dari hasil kerjaku, aku serahkan semuanya pada Ibu. Katanya dia tabung sebagian untuk bekal masa depanku dan Cita. Meskipun tak mungkin kalau aku kuliah lagi karena biaya yang teramat sangat mahal. Menunggu panggilan dari pabrik-pabrik pun rasanya sudah lelah. Mungkin karena tinggi badanku kurang, jadinya susah masuk, apalagi aku tak punya kenalan orang dalam. Ada juga Pak RT yang biasa membantu masukkin kerja, harus bayar dulu lima juta. Mana ada aku dan Ibu uang sebanyak itu. Butik sudah dibuka. Ada sebuah mobil yang terparkir di depan. Hanya saja, rasanya mobil itu bukan milik Bu Ajeng. Aku gegas masuk, tetapi ayunan langkahku terhenti ketika mendengar orang mengobrol dari arah dalam. “Ck, sampai kapan Mami mau pura-pura ngasih baju bekas itu ke dia? Kenapa gak jujur saja? Semua baju itu ‘kan baru. Kenapa juga harus dilepas merknya dan disebutkan bekas?!” Suara bariton seorang lelaki yang rasanya aku tahu pemiliknya. Benar saja, dari balik baju-baju yang menggantung, aku melihat Pak Adrian---anak sulung Bu Ajeng yang kutahu jika dia sudah lama menduda, tengah berdiri dan menatap lekat wajah Ibunya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

BELENGGU

read
65.2K
bc

Revenge

read
19.2K
bc

The CEO's Little Wife

read
631.4K
bc

Hasrat Istri simpanan

read
9.5K
bc

After That Night

read
10.0K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
56.5K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook