SYLMT 02

1114 Words
"Argh, s**l!" Aga mengacak rambut dengan frustasi. Melirik ke kanan lalu ke kiri. "Bengkel dimana lagi?" gumamnya. Aga mendengus kesal. Mengeluarkan ponsel di dalam saku celana lalu menghubungi seseorang. "Ke jalan melati sekarang. Ban motor saya bocor," ucapnya begitu sambungan terhubung. "Baik Tuan," jawab seseorang diseberang sana. Aga memasukan kembali ponselnya begitu sambungan terputus. Menatap motor kesayangannya sekilas lalu berjalan pergi sembari menenteng helmnya. Di tempat yang berbeda, Dea berlari sekencang mungkin mengerahkan segala kekuatan yang ia punya agar bisa segera sampai di halte bus. Sesekali ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 07.25 pagi. "Argh, Dea oon! Kenapa sampai lupa pasang alarm sih? Jadinya gini kan," gerutu Dea sepanjang jalan. Kedatangan Dea di halte bersamaan dengan bus yang tiba. Dea segera masuk ke dalam dan duduk bersandar pada penyangga kursi. Mengatur napas yang memburu. "Huh, hari pertama masuk sekolah baru udah terlambat," keluhnya. Bus berhenti sejenak kemudian kembali melaju. "Geser!" Dea mendongak saat mendengar suara yang begitu dingin dan tegas. Alih-alih menuruti perintah orang yang berdiri di sampingnya itu, Dea justru memiringkan posisi kakinya agar orang tersebut bisa masuk dan duduk di bangku sebelahnya disamping jendela. "Gue bilang geser, bukan awas. Budeg?" Dea mengerit menatap orang bertampang songong itu. "Gue nggak mau. Lo duduk aja di situ," ucapnya seraya menunjuk bangku disamping jendela. "Gue mau duduk ditempat lo. Cepet geser!" Dea menghela napas berat. "Ogah! Kalau nggak mau duduk ya udah," jawabnya acuh. Terdengar dengusan dari orang itu, namun Dea tak peduli. Ia memasang tampang sok tak mendengar. Lalu secara tiba-tiba, Dea merasa tubuhnya diangkat kemudian dijatuhkan kembali di atas bangku sebelah kaca. "Lo apa-apaan sih?!" Dea menatap murka orang tersebut yang kini sudah duduk di bangku Dea sebelumnya. "Shuutt.... Udah ya, diem dan duduk anteng." Kemudian Aga memasang headphone merah miliknya, membuat Dea menggeram marah. "Nyebelin!" seru Dea. Aga tersenyum miring. Menutup wajah Dea dengan telapak tangannya, buru-buru Dea menepis tangan Aga di wajahnya. Kemudian Dea menarik headphone Aga sampai terlepas. "Apaan sih?" Aga menaikan kedua alisnya. "Pindah! Gue nggak mau duduk di sini," rengek Dea. Aga tersenyum. Kemudian menggeleng tegas. "Ogah!" Dea menghembuskan napas lelah. "Gue nggak biasa duduk di samping jendela bus." "Biasain." "Nanti gue muntah." "Emang gue peduli?" Dea mendengus kesal. Menatap lurus ke depan dengan tampang cemberut. Dea jarang naik bus, biasanya selalu naik mobil pribadi. Sekalinya naik bus, Dea menolak untuk duduk di samping kaca. Bukan apa-apa, ia merasa pening saat melihat ke luar kaca. Aga menoleh ke arah Dea yang berubah membisu. Mengangkat bahu acuh lalu memasang kembali earphone-nya. Sedangkan dalam diam, Dea berusaha mati-matian menahan gejolak di dalam perutnya. Aga mengerti heran saat tak sengaja menangkap wajah Dea yang mendadak pucat. "Kenapa lo?" Aga bertanya. Tak ada respon dari Dea. Tatapan Aga turun ke arah tangan Dea yang sedang meremas ujung baju seragamnya. Aga menahan tawa saat kembali menatap Dea. Sumpah! Ekspresi wajah gadis di sampingnya itu sangat lucu. "Woy, kenapa lo? Ambeien, ha?" Aga menyimpan telapak tangannya di atas kening Dea. Lalu secara tiba-tiba, Dea mengeluarkan isi dalam perutnya hingga mengenai Aga. "Huekk.... Uhuk.... Uhuk...." Aga menganga dengan mata melotot menatap seragamnya yang terkena muntahan Dea. "Aish, lo jorok banget sih!" Dea menutup mulutnya yang menganga saat melihat muntahannya mengenai Aga. "Ya ampun, maaf-maaf. Gue nggak sengaja, sumpah!" Aga menggeram kesal. Bau khas muntahan langsung menyergap hidungnya. Sesuatu yang terdapat pada tubuh Dea, membuat Aga seketika diam dengan dahi mengerit. "Gue kan udah bilang, gue nggak biasa duduk disamping kaca bus. Jadinya gini kan," ucap Dea dengan tampang bersalah. "Kiri! Kiri!" Aga berseru dan bus pun berhenti. Aga mendelik kesal pada Dea. Segera bangun dan turun dari bus. Dea bersandar pada penyangga bangku. Menghembuskan napas panjang lalu menatap seragamnya yang tak sedikit pun terkena muntahan. ♡ Dea menghentikan lariannya tepat di depan pintu yang tertutup. Mengatur napas yang memburu lalu mengusap peluh di pelipisnya. "Huh, tenang Dea. Anggap lo nggak ngelakuin kesalahan apapun," gumam Dea. Menarik napas panjang lalu mengetuk pintu sebanyak tiga kali, lantas membukanya dengan pelan. Melontarkan cengiran lebar meski jantung sudah berdebar tak menentu. "Permisi, maaf saya terlambat." Bu Rere yang sedang mengajar di dalam kelas itu, menurunkan kaca mata dan memicing menatap Dea. "Siapa kamu?" "Saya Dea, Bu." "Murid pindahan dari Bandung itu, ya?" tebak Bu Rere seraya membenarkan letak kacamatanya. Dea tersenyum lalu mengangguk. "Iya, Bu." Bu Rere manggut-manggut mendengarnya. "Ya sudah, tak apa. Berhubung ini hari pertama kamu masuk, Ibu maafkan. Tapi jangan sampai terulang lagi ya, Dea." "Iya, Bu. Dea nggak akan datang terlambat lagi," ucap Dea. "Kamu perkenalkan diri terlebih dahulu pada teman-teman baru kamu ya, Dea." Bu Rere tersenyum, mempersilahkan Dea untuk memperkenalkan diri. Dea mengangguk. Tersenyum menatap wajah baru yang akan menjadi teman-temannya. "Hai, semua. Gue Dea, pindahan dari Bandung. Semoga kalian nggak keberatan ya dengan kehadiran gue." "Sama sekali nggak dong cantik," sahut Rangga sembari mengedipkan sebelah matanya. "Huuuhh...." sorak seisi kelas. Bu Rere terkekeh pelan. "Ya sudah, kalian bisa berkenalan nanti saat jam istirahat. Sekarang Dea duduk di bangku sana ya," ucapnya seraya menunjuk ke arah bangku yang paling belakang. "Iya, Bu. Terima kasih," jawab Dea tersenyum sopan pada Bu Rere. Saat Dea hendak melangkah menuju bangkunya, tiba-tiba suara dingin terdengar hingga membuat semua pandangan jatuh kepada sosok itu. "Permisi, Bu." Dea terbelalak kaget melihat kedatangan seseorang itu yang tak lain adalah Aga. "Lho, itu kan cowok yang gue muntahin," gumamnya. "Aga, dari mana saja kamu? Kenapa jam segini baru sampai?" Bu Rere menggelengkan kepala menatap Aga. "Ada masalah di jalan," jawabnya dengan tampang datar. Dea masih mematung di tempat. "Jadi nama dia Aga?" batinnya. Bu Rere menatap Aga dari atas kepala hingga ujung kaki. "Terus kenapa kamu pakai hoodie, Aga?" Tatapan Aga seketika jatuh pada Dea yang sedang melongo bodoh padanya. "Baju seragam saya dimuntahin sama cewek jorok, Bu." Dea mengerjap beberapakali. Lantas berjalan cepat ke arah bangkunya. Bu Rere menghela napas panjang. Menggeleng tak percaya pada Aga. "Kamu ini, selalu saja beralasan." "Saya boleh duduk, Bu?" Aga bertanya. "Tidak. Kamu sudah melanggar dua peraturan sekolah. Sekarang pergi ke lapangan dan hormat kepada bendera sampai pelajaran Ibu selesai," perintah Bu Rere dengan tegas. Aga melayangkan tatapan tajam pada Dea. Seketika, Dea menjadi salah tingkah dan menutupi wajahnya dengan tas. Tanpa permisi, Aga mengelang pergi keluar kelas. Bu Rere hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Aga. "Anak-anak, kalian jangan tiru sifat jeleknya Aga ya. Kalian harus patuhi peraturan sekolah." "Iya, Bu." Semua murid menjawab. Dea terdiam. Bersandar pada penyangga bangku. "Kenapa harus satu kelas sama dia? Aduh, kacau deh hidup gue." Dea tersentak kaget saat merasakan tepukan di bahunya. "Hai, gue Lena." Gadis berponi itu tersenyum merekah pada Dea sembari melambaikan tangan. Dea tersenyum. "Hai, Lena."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD