3. Kehangatan

2099 Words
Mencintai dalam sepi dan rasa sabar mana lagi? Yang harus ku pendam dalam mengagumi dirimu. Melihatmu genggam tangannya, nyaman di dalam pelukannya. Yang mampu membuatku, tersadar dan sedikit menepi. (Cuplikan lagu Menepi yang dipopulerkan oleh Guyon Waton) Lagu yang sedang terputar di handphone Aila seakan menyentak ulu hati Aila dengan kuat. Lagu itu menggambarkan dirinya dengan sangat baik. "Kamu kapan mau coba membuka hati dan tidak selalu menuruti kemauannya Angga, Nak? Kamu tahukan, kalau Angga hanya seakan menjadikan kamu teman. Menurut mama, dia hanya memanfaatkan sikap tidak enakan kamu untuk menolak semua permintaan tolongnya," ucap mama Aila—Kanya. Jeda dan hening di antara mereka. Aila memandang fokus pada piring keramik putih yang di atasnya terdapat sendok dengan posisi tertelungkup. Aila dan Kanya baru saja selesai makan malam dengan menu sederhana tapi mampu mengumpulkan semua anggota keluarga. Saat papa Aila dan adik laki-laki Aila beranjak dari meja makan, Kanya memanfaatkan kesempatan ini untuk berbicara serius dengan putri sulungnya. Putri yang selalu dia banggakan. Radit—adik laki-laki Aila juga tentu ia banggakan. Ia tidak pernah membedakan kasih sayang untuk putri dan putranya. Mereka adalah anugerah bagi Kanya dan suaminya. Dan dapur menjadi saksi perbincangan antara ibu dan putrinya seperti perbincangan tempo lalu yang masih berada pada topik yang sama. Setelah makan malam, selalu menjadi waktu yang tepat untuk membicarakan hal tersebut. Karena Aila yang baru memiliki waktu longgar setelah makan malam. Pagi hingga sore sibuk di kantor. Dan kemungkinan ia akan melanjutkan aktivitas di luar rumah hingga malam untuk menemani Rena, baik sekedar jalan-jalan atau bermain. "Mama tahu kamu anak yang baik. Namun, sikap tidak enakan kamu ini malah akan dimanfaatkan dengan baik oleh teman-teman kamu untuk memforsir kamu, Ai. Sekali-kali tolak jika kamu tidak ingin. Apalagi jika ini berkaitan dengan Angga atau pun Rena. Biarkan Angga dan orang tuanya yang mengurus Rena. Kamu boleh bertemu dengan Angga, Rena, maupun orang tua Angga. Tapi ingat, hati kamu juga perlu dijaga," tegas Kanya. “Mama tidak tega melihat kamu harus pulang lebih larut beberapa hari ini karena harus menemani Rena. Rena punya ayah dan nenek serta kakek yang bertanggung jawab untuk menjaganya. Bukan kamu! Mama tidak ingin kamu terlalu lelah, Ai. Pekerjaan kamu sudah mengurus energimu. Jangan menambahi beban diri dengan harus menjaga Rena,” lanjut Kanya. Malam ini ia berusaha menegaskan dan mengingatkan Aila agar segera sadar. Bertahun-tahun putrinya harus melewati masa-masa seperti ini, masa-masa di mana ia harus membuang banyak waktunya untuk orang lain. Ingin menjauh rasanya masih berat. Seperti ada jangkar yang menancap kuat sehingga tidak mampu untuk bergerak jauh. “Mama tahu kan kalau aku sayang Rena?” tanya Aila akhirnya. Ia menyayangi dan mencintai Rena dengan sangat. Walaupun hatinya harus selalu ia pagari agar tidak berharap lebih pada Angga untuk membalas perasaannya. Bagaimana bisa Angga membalas perasaannya jika Angga saja seakan tidak pernah menoleh untuk melihat perasaan yang dimiliki oleh Aila? “Tentu mama tahu, Ai. Mama sangat tahu. But, come on. Wake up, honey. Angga gak pernah menoleh ke kamu. Rena boleh saja sayang sama kamu, tapi apa Angga juga seperti itu? Tidak kan? Cukup satu minggu sekali saja kamu menemui Rena. Jangan pernah lagi menemui Rena jika tanpa seijin mama atau papa. Mama akan memberi tahu papa agar tidak memberikan ijin ke kamu jika ingin menemui Rena sepulang kamu dari kantor!” tegas Kanya. Setelahnya ia beranjak dari ruang makan setelah meletakkan piring bekas mereka makan ke dalam bak cuci piring. Meninggalkan Aila yang masih termenung di kursinya. Kanya sudah sering mengingatkannya untuk mengurangi frekuensi dirinya bertemu dengan Rena. Namun ia masih bandel. Dan untuk saat ini, Kanya terlihat tidak main-main dengan ancamannya. *** Ucapan Kanya saat makan malam tadi masih terngiang dalam benak Aila hingga ia rebahan di atas kasur. Ia sadar jika selama ini dia sangat bodoh. Terlampau bodoh bahkan. Namun, bagaimana ia bisa menolak rengekan Rena saat gadis kecil itu memintanya untuk bertemu? Ia tidak bisa menolak kepolosan gadis imut itu. Ia sudah terlanjur cinta mati. Dering ponselnya membuyarkan lamunan Aila dari jalan hidup yang harus ia alami saat ini. Nama Dewi—sahabat baiknya sejak SMA meneleponnya. Aila pun menerima panggilan itu. Ia berharap Dewi tidak menyadari kegundahan hati yang sedang dialaminya saat ini. “Halo, Dew. Assalamu’alaikum,” sapa Aila. “Halo calon mamanya Rena. Wa’alaikumsalam,” balas Dewi dengan cekikan di seberang sana. Aila hanya mendengus mendengar sapaan Dewi. Membuat mood-nya semakin anjlok. “Ada apa?” tanya Aila dengan nada garang. Ia sedang tidak dalam mood yang bagus. Dan Dewi menjadi sasaran kemarahannya malam ini. “Wiss… Galak amat mbaknya.” “Ngapain sih?” tanya Aila dengan jengkel. “Cuman pingin telepon kamu saja. Habis lihat instastory kamu jadinya aku memutuskan buat telpon kamu. Kayaknya kamu lagi galau.” “Emang aku buat story?” tanya Aila heran. Ia merasa tidak sedang membuat story di i********:. “Terus siapa dong yang buat story? Gak mungkin tiba-tiba ada hantu yang mainin HP kamu kan?” tanya Dewi sangsi. Akhirnya Aila pun mengecek aplikasi instagramnya dan benar saja beberapa menit yang lalu ia membuat story. Ia tidak sadar jika tadi pergerakan tangannya membuat lagi Guyon Waton yang sedang diputar ter-share ke i********:. Aila merasa terharu saat Dewi langsung menghubunginya karena tahu bahwa dia sedang galau. Aila memilih menghapus story tersebut sebelum banyak teman di Instagramnya yang melihat dan mengetahui kegalauannya. Aila sangat jarang membuat story. Dan jika tiba-tiba ia membuat story dan berisi kegalauan, ia pasti akan mendapatkan respons yang berlebihan dari para manusia yang kepo. “Gak salah aku punya sahabat kayak kamu, Dew. Sangat perhatian dan begitu mengerti aku,” ucap Aila dengan terharu. “Telat, mbak. Tadi aku sudah kamu galakin. Males deh aku jadinya,” jawab Dewi merajuk. “Besok jalan yuk. Beli tea break bolehlah,” saran Aila agar Dewi tidak merajuk kembali. “Bisa banget ya kamu. Tahu sekali bahan sogokan agar aku nggak sebel sama kamu. Sogokan murah pun tidak masalah asal enak dan mengenyangkan.” Mereka berdua pun tertawa karena kekonyolan mereka. “Kamu ada masalah apa, Ai? Masih tetap Angga yang jadi bahasan kita?” tanya Dewi pelan. Aila pun menceritakan semua yang ia bicarakan dengan mamanya. Ia juga menceritakan kegundahan hatinya. “Apa yang dikatakan mama kamu itu benar, Ai. Hidupmu tidak hanya berpusat pada Angga dan dunianya. Kamu juga punya dunia sendiri. Ingat, kamu juga punya dunia sendiri, Ai!” tegas Dewi berulang. Hening di antara mereka. “Kamu kapan terakhir keluar bersama keluargamu sendiri? Kamu sering menolak jika diajak Radit ke gramedia atau ke mall hanya untuk jalan-jalan. Kamu juga punya kehidupan, Ai. Keluargamu juga pasti merindukan momen-momen saat kamu ikut bergabung dalam kebersamaan mereka,” ujar Dewi lagi. “Kapan kamu menghabiskan waktumu untuk me time? Kapan kamu menghabiskan waktumu untuk quality time dengan keluarga besarmu? Dan kalau ingatanku nggak salah, lebaran kemarin kamu lebih memilih menemani Rena yang merajuk dari pada bergabung dengan keluarga besarmu untuk halal bi halal.” Dewi berusaha mengingatkan waktu Aila yang sudah terbuang hanya untuk keluarga Angga. Aila diam dan mencerna apa yang diucapkan oleh Dewi. Aila pun membangkitkan kenangannya bersama keluarganya. Ia hanya bergabung dengan keluarganya saat sarapan atau pun makan malam. Saat makan malam pun terkadang ia belum pulang karena masih bersama Rena. Terakhir dia bersama orang tuanya adalah saat Angga menikah dan belum memiliki Rena. Empat tahun. Empat tahun dia meninggalkan kehangatan keluarganya. Aila merasa tertampar dengan ucapan Dewi. Selama ini Dewi hanya melarang dan meminta agar Aila tidak lagi menghabiskan waktunya dengan keluarga Angga. Namun Aila tetap menjadi wanita yang bandel. “Ai,” panggil Dewi. “Kamu masih di sanakan? Apa perkataanku menyakiti kamu?” tanya Dewi pelan. Ia tak enak hati. Takut menyakiti perasaan Aila. Ia khawatir ucapannya melukai hati Aila yang sedang galau. “Enggak, Dew. Apa yang kamu ucapkan benar adanya. Aku yang bodoh karena seakan merasa keluargaku baik-baik saja ketika aku tidak bergabung bersama mereka. Namun nyatanya aku malah membuat mama kecewa padaku. Mama, papa, dan Radit pasti merindukanku,” ucap Aila dengan suara serak. Ia menangisi kebodohannya. Kenapa ia tidak mendengarkan ucapan orang di sekitarnya? Kenapa ia bodoh karena cinta? “Ai, tenangkan pikiranmu. Menangislah jika itu bisa meringankan bebanmu. Aku tutup ya telponnya. Menangislah sepuasnya,” ucap Dewi. Aila mengucapkan terima kasih dan Dewi memberikan semangat agar Aila bisa menjadi wanita tangguh serta mampu memikirkan kebaikan untuk hidupnya. Aila juga benci pada dirinya sendiri. Kenapa dia begitu bodoh. Sudah banyak orang yang mengingatkannya. Namun hati dan pikirannya seakan tertutup kabut tebal. Tertutup dari peringatan-peringatan orang di sekitarnya. Aila menangisi hidupnya di kamarnya. Sisa malam itu ia isi dengan tangisan nelangsa. Tangisan tersedu-sedu dan laju air mata yang tak mau berhenti. Ia meredam tangisnya dengan menggunakan bantal yang bersarung coklat muda. Tidak ingin membuat adik laki-lakinya yang kamarnya berada di sebelah kamarnya tahu dan mendengar tangisnya yang menyayat. Sudah hampir setengah jam Aila menangis. Jejak tangisan di sarung bantal membuatnya menghela napas. Bahkan air matanya yang terbuang untuk Angga begitu banyaknya. Menyebalkan. Aila bergegas ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Ia tidak ingin saat bangun esok pagi, mukanya tampak sembab dan mengundang tanya keluarganya. *** “Pagi, Ma, Pa, Dodit,” sapa Aila saat bergabung di ruang makan. Semua anggota keluarganya sudah siap di kursinya masing-masing. Di hadapan mereka sudah tersaji nasi goreng kecap dengan telur mata sapi dan potongan acar timun. Hanya piring Aila yang masih tertelungkup rapi. “Kebiasaan deh. Namaku itu Radit,” ucap Radit sebal. “Salah sendiri badan kamu kurus banget kayak Dodit,” ejek Aila sambil menyendokkan nasi goreng ke atas piringnya. Tidak ada alasan khusus, Aila hanya suka dengan panggilan yang tiba-tiba pernah terlontar itu. Kemudian sejak itu, ia selalu memanggil adik semata wayangnya dengan panggilan Dodit. “Sudah, sudah. Kalian memang kebiasaan ya membuat suasana pagi menjadi ricuh,” lerai sang mama. Papa Aila hanya menggelengkan kepala melihat perdebatan kedua anaknya. Mereka selalu berisik jika bertemu. Namun, akan saling merindukan jika tidak bertemu sehari. Misal saat Aila ada agenda kantor atau Radit sedang ada acara kampus yang mengharuskannya untuk menginap. Mereka pasti akan saling menanyakan. Padahal jika ingin tahu kabar masing-masing bisa saling menghubungi. Dasar sama-sama gengsi. Aila dan Radit pun fokus dengan piring mereka masing-masing. Mereka tidak ingin membuat suasana pagi semakin kacau dengan amukan sang baginda ratu. “Kakak berangkat naik apa?” tanya sang papa—Danu. “Naik ojek online saja, Pa,” jawab Aila setelah dia menandaskan air putih dalam gelasnya. “Bareng aku saja, Kak. Aku berangkat pagi. Hematkan lebih enak, Kak,” tawar Radit. “Boleh deh, Dit,” ujar Aila dengan senyum cerah. Secerah mentari pagi ini. “Bawa bekal, Kak,” teriak Kanya dari arah dapur. Kanya sedang fokus mencuci peralatan makan mereka pagi ini. “Iya, Ma,” jawab Aila. “Kamu juga bawa bekal, Dek,” lanjut Aila dengan nada mengejek. “Mana mau adek kamu bawa bekal, Ai. Dia sejak SMP saja sudah malu kalau diminta bawa bekal,” jawab Kanya meledek Radit yang sedang meletakkan gelas bekas minum di bak cuci. “Kalau musuh mama dan kakak pasti diejek terus aku,” jawab Radit dengan pura-pura memasang wajah sendu. Danu yang mendengar percakapan istri dan anak-anaknya tertawa senang. Diikuti dengan Kanya dan Aila. Sedangkan Radit masih memasang wajah sebal dan berjalan ke arah kamarnya untuk mengambil ransel. Aila dan Kanya pun saling pandang. Aila menggelengkan kepalanya pertanda dia tidak tahu menahu apakah sang adik lelakinya itu marah atau hanya sebal saja. Aila kembali memasukkan nasi goreng buatan Kanya ke dalam kotak makan warna abu-abunya. Dia memang lebih senang membawa bekal dari rumah dari pada membeli makanan di luar. Selain lebih hemat, makanan buatan mamanya dirasa lebih sehat dan jauh dari MSG. Danu—papa Aila dan Radit adalah orang yang menolak tegas penggunaan MSG dan kawan-kawannya. Lidah Danu akan peka dan tahu jika dalam makanan ada kandungan MSG atau sebangsanya. Maka dari itu Danu menghindari membeli makanan di warung atau restoran jika tidak sangat mendesak. Hal itu membuat Danu juga selalu membawa bekal dari rumah. Dan Aila pun mengikuti jejak Sang Papa untuk membawa bekal. Aila sudah siap dengan tas dan bekalnya. Dia menunggu Sang Adik di ruang tamu. Jam kantornya dimulai pukul 8 pagi hingga pukul empat sore. Jam kerjanya hanya 8 jam dengan satu jam di tengah-tengah jam kerja digunakan untuk makan siang dan sholat Dhuhur. “Ayo, Kak,” ajak Radit yang sudah siap dan sedang berdiri di depan Aila. Aila yang tadinya fokus melihat handphone-nya pun segera mendongakkan kepalanya. Aila memasukkan handphone-nya ke dalam saku tasnya yang berada di dalam. Kemudian Aila beranjak kembali masuk ke dalam ruang tengah untuk berpamitan kepada papa dan mamanya. Diikuti oleh Radit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD