4. Sahabat Baik

2056 Words
“Kamu marah ya, Dek?” tanya Aila pelan. Mereka sedang berjalan menuju garasi rumah. “Enggak. Cuman sebal saja. Selalu masalah bekal diungkit-ungkit terus,” jawab Radit dengan muka yang tertekuk. Dirinya bukan anak kecil. Toh, jika membeli makanan ia akan berusaha mencari makanan yang sehat dengan harga yang masih masuk di akal. “Ya kan bawa bekal itu baik, Dek. Makanannya lebih terjamin. Kamu juga bisa lebih hemat,” tutur Aila dengan pelan sambil mendongak ke arah Radit yang masih menunjukkan wajah betenya. Aila menerima uluran helm yang diberikan oleh Radit. Helm bogo warna cream yang khusus Radit belikan untuknya karena sering nebeng dan tidak memiliki helm. “Ya aku tahu. Tapi gak suka aja, Kak,” jawab Radit. Radit segera memakai helm full face-nya. Aila pun hanya menghela napas pelan. Mau dipaksa bagaimana pun, Radit tidak akan pernah mau lagi membawa bekal. Padahal dulu adiknya adalah anak penurut dan tidak pernah menolak saat mama mereka membawakan bekal. Mungkin Radit pernah mendapat ledekan dari teman-temannya sehingga membuat Radit tidak pernah mau lagi membawa bekal. Perjalanan dari rumah menuju kantor Aila kurang lebih 20 menit. Helm bogo yang dikenakan Aila diberikan pada Radit. Aila tidak mau jika harus menenteng helm di kantor. Radit pun beruntungnya tidak cerewet dan menerima helm yang dikenakan oleh Aila. Helm itu ia letakkan di besi belakang motor sport-nya. “Nanti kakak pulang naik apa?” tanya Radit saat Aila membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan setelah memakai helm. Radit juga membuka kaca helmnya agar suaranya dapat didengar Aila. “Gampanglah. Mungkin papa mau jemput. Atau gak ya nanti naik ojek online,” jawab Aila. “Oke deh. Aku berangkat ya, Kak,” pamit Radit sambil menurunkan kaca helmnya. “Oke. Terima kasih adekku sayang. Hati-hati di jalan,” jawab Aila sambil melambaikan tangannya. Aila masuk ke dalam kantornya setelah motor yang dikendarai Radit telah melaju dan bergabung di jalan raya yang penuh dengan kendaraan bermotor. Setelah melakukan cek kehadiran pada salah satu finger print di lobi, Aila segera naik ke lantai lima, letak kubikelnya berada. Kantor masih lumayan sepi karena jam kantor masih akan dimulai 30 menit lagi. Aila lebih suka datang di kantor lebih awal dari pada mepet dengan jam masuk. Selain karena harus mengantri untuk melakukan finger print, ia juga harus antri lift untuk naik ke lantai lima. Ruangannya masih sepi. Hanya dirinya seorang yang baru datang. Aila meletakkan tasnya di atas meja. Ia segera menyalakan komputer kerjanya. Sambil menunggu layar laptopnya menyala, Aila berjalan ke arah pantry seperti sebelum-sebelumnya jika baru saja sampai kantor. Di kantornya memang disediakan pantry di setiap lantainya. Hanya lantai dua dan tiga yang tidak memiliki pantry. Lantai itu digunakan untuk pusat pertokoan produk organik yang dijual perusahaannya. Cabang toko penjualan produk organik sudah banyak. Hampir di semua kota besar di Indonesia. Aila melihat salah satu OB yang sedang menyiapkan dan menata alat makan di pantry. Aila menyapa dan memberikannya senyum singkat kepada OB yang memang bekerja khusus di lantai lima. Aila segera mengambil gelas keramik putih yang tertulis namanya, ia memiliki dua gelas keramik sebagai persediaan. Aila memang membawa semua peralatan makannya sendiri. Ia selalu menjaga kesehatan dan kebersihan. Bukan ia tidak percaya dengan tingkat kebersihan peralatan makan di kantornya, hanya saja ia memang lebih nyaman dengan membawa semua peralatan makan dari rumah. Ia ingin lebih menjaga kebersihan diri dan menjaga semua peralatan makan yang ia punya. Aila pun selalu mencuci peralatan makannya sendiri setelah ia menggunakannya. Tidak pernah meninggalkan peralatan makannya dalam kondisi bekas pakai. Aila menuang minuman coklat sachet kesukaannya. Setelahnya ia menuangkan air panas yang sudah mendidih. Aroma coklat menguar memenuhi ruangan pantry. Aila mengambil sendok teh miliknya yang pegangannya dilapisi plastik warna biru dengan bunga di bagian kepala pegangan. Aila mendapatkan sendok itu dari Rena saat ia dan Rena jalan-jalan di mall dan sedang membeli peralatan makan untuk Rena. Aila tidak bisa menolak. Dan akhirnya sendok kecil itu ia gunakan untuk mengaduk setiap membuat minuman yang mana seharusnya digunakan Rena untuk makan. Aila baru saja selesai mengeringkan tangannya menggunakan tisu setelah mencuci sendok dan panci. Ia mengambil tutup cangkir dan berjalan kembali ke ruangannya. Aila berjalan ke ruangannya dengan pelan. Panas di cangkirnya yang mulai merambat ke kulitnya membuatnya harus lebih hati-hati. Dalam ruangannya sudah ada beberapa rekan kerjanya yang hadir. Tak lupa ia menyapa dengan ceria teman-temannya. Layar komputernya sudah menyala sempurna. Ia meletakkan cangkirnya di sisi meja yang bersih dari peralatan kerjanya. Aila segera menyambungkan laptopnya pada WiFi kantor. Ia harus segera menyusun teks promosi tentang produk baru yang sedang ditawarkan oleh perusahaannya. Aila segera melanjutkan kegiatan mengetiknya kemarin. Ia belum selesai melanjutkan review produk baru yang datang. Beberapa jenis sayuran organik baru datang kemarin. Ia akan melanjutkan me-review sayuran yang akan dikemas dalam satu kesatuan dengan warna yang sama yaitu kuning kehijauan, topik yang masih sama dengan pekerjaan Aila tempo lalu. Namun, kali ini ia harus me-review mulai dari proses penanaman hingga pemanenan agar konsumen lebih percaya terhadap kualitas sayuran yang kantornya tawarkan. Review kali ini sedikit berbeda agar konsumen semakin tertarik dan penjualan mengalami peningkatan yang pesat. Aila mulai membuka dokumen dengan judul si kuning kehijauan yang lucu. Ia selalu berusaha memberikan nama dokumen yang menarik dan panjang serta detail. Hal ini bertujuan agar untuk meningkatkan semangat dalam menuliskan kalimat persuasif dan tidak lupa akan produk yang sedang ia review. Selain itu, Aila juga akan menuliskannya pada sticky note yang akan ditempel pada meja kerjanya tentang pekerjaan apa yang sedang ia lakukan. Jika ia sudah menyerahkan file tersebut pada editor dan pengelola web, ia akan melepaskan sticky note tersebut dan menumpuknya pada bagian pojok meja kerjanya. Sticky note itu baru akan dibuang pada akhir bulan jika kepala koordinator bagian pemasaran sudah melakukan rapat akhir bulan mengenai progress kerja dari tiap-tiap bagian. Kemudian file yang sudah selesai ia kerjakan akan ia masukkan dalam folder dengan nama bulan dan tahun dia mengerjakan dokumen tersebut. Aila membuka catatannya tentang sawi pakcoy yang baru datang kemarin. Ia membaca informasi mengenai proses penanaman bibit, perawatan, pemberian pupuk, hingga proses pemanenan. Ia juga sering membeli produk dari kantornya sendiri untuk dibawa pulang. Sebagai karyawan kantor penjualan produk organik, Aila tentu mendapatkan potongan harga 10% tiap produk. Ia percaya pada produk yang dijual kantornya karena ia juga ikut terjun dalam proses pengawasan jika produk datang dan ia tahu informasi mengenai produk tersebut secara mendalam. Selain itu, ia juga tidak ingin menyia-nyiakan perkembangan teknologi dengan selalu mem-posting sayuran atau buah yang baru saja ia beli pada sosial medianya untuk mempersuasi teman-temannya. Aila menyusun kalimat per kalimat dengan teliti dan hati-hati. Ia tidak ingin kena semprot editor jika ada kalimat yang kurang berkaitan, tidak menarik minat pembaca maupun typo-typo yang tidak sengaja ia tulis atau typo otomatis karena pengaturan kata pada Microsoft Word yang sudah ter-setting dengan Bahasa Indonesia baku dan Bahasa Inggris yang otomatis terdetek. “Aila, untuk review produk yang baru datang kemarin sudah sampai sayur apa?” tanya Mbak Dian yang merupakan bagian editor sebelum dokumen diserahkan pada bagian pengelola web. Selain Mas Ridho, ada juga Mbak Dian yang bertugas me-review hasil tulisan Aila. “Baru sampai bagian sayur sawi pakcoy, Mbak. Kan ini ada tiga produk yang dijadikan satu dalam kemasannya nanti yaitu sawi pakcoy, bunga kol, dan selada hijau. Aila baru sampai sawi pakcoy, Mbak. Apa sudah ditagih bagian web, mbak?” tanya Aila sambil memperhatikan Dian yang berdiri tepat di kubikelnya. “Enggak, sih. Tapi ini barusan Bu Retno—wakil dari Pak Bagyo sudah minta agar kita segera gerak cepat untuk memperkenalkan pengemasan produk baru ini,” jawab Mbak Dian. “Aila usahakan sebelum jam istirahat sudah selesai, Mbak,” jawab Aila dengan tersenyum paksa. Pekerjaannya kadang menuntutnya untuk bekerja cepat. Padahal menulis review suatu produk dengan kalimat persuasif tidaklah mudah. Namun, ia selalu memberikan semangat dalam dirinya bahwa ia yang telah memilih pekerjaan ini maka ia juga harus menerima semua konsekuensinya. “Oke deh. Usahakan sudah bagus dan rapi ya. Jangan banyak kesalahan kalau bisa, Ai,” jawab Mbak Dian enteng. Jika Ridho masih memiliki rasa tak enak hati kepadanya, Dian jelas berbeda 180 derajat dengan Ridho. Ibu satu anak itu tidak akan memasang wajah tak enak hati atau sebangsanya, masalah pekerjaan adalah hal yang harus diprioritaskan bagaimana pun kondisinya, maka bagi semua penulis review produk harus mampu memahami mimik muka Dian yang datar dan terlihat tidak berperikemanusiaan itu. Aila menghembuskan napas pasrah. Bu Retno juga bisa-bisanya mendesak tim pemasaran agar lebih cepat dalam bekerja. Produk baru datang kemarin tetapi hari ini sudah diminta agar sudah bisa mulai upload mengenai perkenalan produk ini. Aila sudah sering bekerja cepat seperti ini. Barang baru datang kemarin dan hari ini harus selesai. Ia tahu tim pemasaran juga harus selalu memperbarui feed pada i********: yang juga akan mencantumkan alamat web. Maka dari itu, Aila selalu bekerja cepat dan memaksa otaknya agar bisa menyelesaikan semua pekerjaannya dengan cepat tetapi dengan sedikit kesalahan. Akhirnya sebelum jam istirahat, Aila sudah memberikan dokumen hasil review produk. Mbak Dian tersenyum puas karena Aila menepati janjinya untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum jam istirahat. Aila berharap agar tidak terlalu banyak revisi pada hasil tulisannya. Ia ingin rehat sejenak dari pekerjaannya dan menikmati WiFi gratis kantornya untuk melihat youtube tentang mahasiswa yang mendapat beasiswa kuliah di Jepang. Aila selalu menyukai sesuatu yang berbau traveling. Konten youtube tersebut saat ini banyak diisi kegiatan traveling Sang Pemilik Konten dengan teman-teman kuliahnya yang berlibur mengelilingi Jepang. Aila bisa mendapatkan informasi baru tentang negara Jepang yang juga dulu pernah ia impikan agar bisa melanjutkan kuliah S2 di sana. Namun, ia membatalkan niatnya dan memilih langsung bekerja karena mama dan papanya tidak mengijinkan Aila untuk jauh dari mereka apalagi Aila anak perempuan satu-satunya dan merupakan anak pertama. *** Aila baru saja selesai mencuci tangan pada wastafel pantry ketika handphone yang ia letakkan di meja pantry berdering nyaring. Untung hanya dirinya seorang sehingga tidak akan mengganggu orang lain. “Halo. Assalamu’alaikum, Dew,” salam Aila. “Wa’alaikumsalam. Nanti jadi beli tea break, nggak? Sekalian temenenin aku makan malam. Di rumah nggak ada orang,” ajak Dewi tanpa penawaran. Yang berarti Aila harus menemaninya tanpa ada penolakan. “Iya. Iya. Maksa banget,” ucap Aila sambil membereskan kotak bekalnya yang baru saja ia keringkan dengan tisu. “Salah satu langkah biar kamu nggak berkelit dengan berbagai alasan,” sindir Dewi tajam. Aila paham akan maksud sindiran itu. “Galak banget, mbak.” “Aku juga nggak tahu kenapa hari ini tiba-tiba menjadi manusia yang menyeramkan,” kekeh Dewi. Aila hanya membalasnya dengan dengusan. “Pokoknya aku nggak menerima alasan penolakan. Aku sudah ijin ke mama kamu buat nyulik kamu dan nemenin aku makan malam. Jika sampai kamu tiba-tiba membatalkan ajakanku, awas saja, Ai!” ancam Dewi tegas, tidak ada nada bergurau di dalamnya. “He.em. Jemput aku di kantor ya tapi. Kan kamu yang ngajak,” rayu Aila. “Hello! Yang kemarin mau nraktir kan kamu. Jadi kamu dong yang ngajak. Kok jadi diputer ke aku,” protes Dewi. “Kan kamu maksa. Kalau aku kan kemarin hanya menawarkan.” “Pinter banget ya mbak satu ini. Mentang-mentang pekerjaannya berurusan dengan merangkai kata. Jadi akunya dibujuk-bujuk dengan kalimat yang menyudutkan.” “Sudah deh jangan banyak protes,” ucap Aila. “Oke. Nanti aku jemput. Ingat jangan sampai kamu membatalkan ajakanku ini. Aku nggak segan-segan lapor ke mama kamu.” “Ngancem aja terus.” “Biar kamu kapok.” “Iya. Bawel, deh. Kalau gitu kututup dulu sambungannya. Aku mau sholat, keburu jam kantor masuk lagi.” “Sukanya kok nunda-nunda sholat,” peringat Dewi. “Kalau jam istirahat langsung sholat, masjid kantor penuh.” “Alasan saja. Sudah dulu ya. Assalamu’alaikum.” “Iya. Wa’alaikumsalam.” Ucapan Dewi memang ada benarnya. Ia harusnya tidak banyak alasan untuk mendahulukan sholat sebelum makan. Namun, ia selalu merasa tak nyaman jika harus berdesakan dengan karyawan kantor yang lain. Menurutnya jika ia sholat dengan kondisi masjid penuh dan banyak yang menunggu tempat untuk sholat malah membuat sholatnya terburu-buru dan tidak khusyuk. Maka ia memilih dimenit-menit terakhir sebelum jam masuk kantor dilanjutkan. Ia hanya berharap semoga Allah juga tidak menunda-nunda pahala akan ibadah yang ia kerjakan. Note: Maafkan aku lupa nulis note, bahwasannya insyaAllah di bulan Juni aku akan update setiap hari untuk cerita Menepi. Untuk My Porter is My Partner akan berlanjut bulan Juli ya :) Terima kasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD