Anantha
Seorang gadis tengah duduk di bangku panjang sisi koridor dengan earphone biru dongker yang melekat di kedua telinganya. Pandangannya tak teralihkan dari buku novel di tangannya. Menghiraukan sapaan dari beberapa murid yang lalu lalang di depannya.
Anantha, si gadis dingin yang tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Gadis penyendiri yang menyukai sepi. Bukan Anantha tidak mempunyai teman. Hanya saja ia memilih menjauh dari mereka.
Menjauh lebih baik dari pada mendapatkan 'Fake Friend' Pikirnya.
Anantha benci kepalsuan, Anantha juga benci permainan yang membuatnya seperti ini. Ia juga membenci dirinya. Terjebak dalam masa lalunya, sulit bangkit dan berpendar dalam kerapuhan.
"Anantha"
Tak ada respon dari Anantha membuat gadis yang berdiri di depannya pun melepas sebelah earphone Anantha. Anantha mendongak menatapnya datar.
"Lo nggak ke kantin?" tanya gadis berambut sebahu itu yang bernama Vera.
Anantha menggeleng singkat lalu kembali beralih pada buku novelnya.
Vera menghela napasnya. "Nggak capek apa baca mulu? Kantin yuk!"
"Pergi!" usir Anantha tanpa menatap Vera.
"Apa?"
Anantha mendongak, menatap Vera dingin. "Budeg lo?"
Vera mendengus kemudian berlalu dari sana.
Anantha memasang earphonenya kembali, belum membaca sebaris kalimat. Ia kembali di ganggu oleh getaran ponsel di saku seragamnya. Anantha langsung saja menekan tombol yang terdapat di earphone nya tanpa lebih dulu melihat siapa penelfonnya.
'Anantha?'
Tubuh Anantha membeku mendengar suara seseorang di seberang sana. Anantha mengeluarkan ponselnya dari saku seragamnya, melihat layar ponselnya.
Fake Friend
"s**l!" batin Anantha.
'Akhirnya lo jawab telfon gue juga'
Anantha hanya diam mendengarkan, tidak berniat untuk membuka suaranya.
'Tha, lo masih denger suara gue kan Tha?'
'Tha, please jawab gue Tha.. gue pengen denger suara lo, gue kangen sama lo'
Anantha hanya berdecak sinis mendengarnya.
'Tha... Lo nggak mau lagi kayak dulu gitu? Gue pengen kita kayak dulu lagi Tha..'
'Main bareng, ketawa bareng, gue kangen semua itu Tha, gue kangen lo yang dulu. Tha, gue-'
Tut. Anantha langsung memutuskan sambungannya sepihak, muak dengan celotehan orang di seberang sana. Anantha menutup novelnya kasar dan beranjak pergi.
❄
Bel pulang sekolah berbunyi. Anantha yang sejak istirahat berada di perpustakaan pun beranjak keluar menuju kelas XI-1 untuk mengambil tasnya. Langkahnya langsung terhenti saat melihat Vera berjalan kearahnya sambil menjinjing tas miliknya.
"Nih gue bawain tas lo." Anantha mengambil tasnya dengan kasar dan melewati Vera begitu saja.
Vera menghela napasnya, berhadapan dengan Anantha butuh kesabaran yang ekstra. Vera pun berbalik menyusul Anantha yang sudah jauh melangkah.
"Eh, ada apaan tuh?" tanya Vera ketika ia melihat kerumunan di lapangan. Anantha ikut mengarahkan pandangannya ke arah lapangan. Tapi, namanya Anantha, ia tidak perduli dengan keadaan sekitar, bahkan Vera sekalipun yang berada di sampingnya. Anantha tetap melangkahkan kakinya menuju parkiran.
Vera menarik tangan Anantha menuju lapangan. Tidak mempedulikan wajah Anantha yang mengeras menahan amarahnya, rasa penasaran Vera membuat dirinya tak bisa menahan diri dan ikut menarik Anantha menuju kerumunan. Dengan tangannya yang masih menarik tangan Anantha, Vera menerobos kerumunan melihat apa yang menjadi bahan tontonan murid SMA Galaksi ini.
Ketika keduanya sudah sampai di barisan terdepan, Vera membulatkan matanya. Sedangkan Anantha terlihat biasa saja melihat pemandangan yang ada di depannya itu. Vera menoleh menatap Anantha disampingnya.
"Tha ...."
Anantha melihat pemandangan itu dengan datar. Seakan tak tertarik dengan apa yang dilihatnya, Anantha berbalik hendak meninggalkan tempat itu, tetapi tangan Vera menahannya.
"Tha, lo nggak mau pisahin mereka?"
Anantha hanya menatap Vera datar kemudian menarik tangannya hingga genggaman Vera terlepas. Tapi Vera kembali menahannya.
"Tha tolongin, kasian kak Arga!"
"Gak peduli!"
"Tolongin kak Arga kali ini aja, Tha ,,, please!" Anantha menatap Vera penuh amarah.
"b*****t lo!" ucap Anantha kemudian melangkah mendekati dua cowok itu lalu menarik cowok yang tengah memukul Arga di bawah kukungannya. Keduanya menoleh.
Farel Gibran. Cowok itu bangkit dan melepas cekalan Anantha. Vera langsung berlari menghampiri Arga dan membantunya berdiri.
"Ngapain disini?" tanya Anantha dengan ekspresi datarnya.
Farel menatap Arga.
"Ngasih b******n ini pelajaran!" jawab Farel seraya menatap Arga tajam. "Lo jadi kayak gini gara-gara dia!"
"Kenapa nyalahin gue? Kapan gue buat salah?" Arga menampik, membuat Farel kembali emosi dan ingin memukulnya, namun Anantha langsung mencegahnya.
"Cukup, Rel. Pergi!" usirnya.
"Tapi, Tha—"
"Nggak usah ikut campur!" potong Anantha cepat. Farel menghela napas panjangnya dan pergi dari sana.
Sepeninggal Farel, Anantha menatap Arga.
"Tha, gue—" Anantha pergi begitu saja sebelum Arga selesai bicara.
"Tha, maafin gue" ucap Arga menatap punggung Anantha yang menjauh.
Arga mendesah panjang seraya tertunduk. Jauh di lubuk hatinya Arga merasa bersalah, tapi Arga terlalu egois untuk mengakuinya. Karena Arga tahu, Anantha tidak akan pernah memaafkannya.
"Ke UKS ya, Kak, kita obatin luka lo dulu!" ujar Vera lalu memapah Arga menuju UKS.
❄
Suara deru mesin motor ninja berwarna hitam itu terdengar bising hingga mengundang perhatian orang-orang di sekitar jalan raya itu. Anantha memainkan gasnya dengan geram, amarah menguasai dirinya. Apalagi ketika mengingat wajah mereka yang membuat Anantha mau tak mau mengingatkannya kembali ke masa lalu.
Anantha memutuskan untuk berhenti sejenak di danau. Ia turun dari motornya, berjalan ke arah pinggiran danau dan mendudukan dirinya di atas rerumputan hijau.
Suasana sepi dengan kicauan burung membuat Anantha memejamkan matanya sejenak. Memang tak banyak orang di tempat ini sehingga Anantha tak merasa terusik dengan keramaian.
Anantha membuka matanya, tatapannya berubah kosong. Anantha meraih batu kerikil di sampingnya kemudian melemparkannya ke arah danau.
Anantha Varesha Handika, Anak kedua dari keluarga Handika, memiliki rambut panjang sebatas pinggang berwarna coklat kehitaman. Warna mata senada yang selalu menampilkan sorot dinginnya. Raut wajah datarnya seolah menunjukan bahwa ia tak pernah bahagia.
Di sekolah, Anantha terkenal akan sosok dinginnya, judes dan tak perduli dengan sekitar. Selalu berdiam diri di kelas, rooftop atau perpustakaan dengan membaca novel. Tempat yang minim dari keramaian.
Anantha tak lagi menyukai keramaian, ia juga benci kepalsuan. Anantha juga membenci dirinya. Semua yang ada pada dirinya, hingga ia tidak bisa bangkit dan terjebak dalam masa lalunya.
Hati beku di dalam dirinya kini menunjukan bahwa ia tak mempunyai kehangatan lagi. Masa lalu membekukan hati dan segalanya di diri Anantha.
Anantha menjambak rambutnya ketika kepingan kepingan masa lalu itu muncul di otaknya. Tangannya mulai bergetar, ia kembali meraih batu kerikil dan melemparnya ke danau. Anantha menghela napasnya. Ia paling benci saat situasi seperti ini.
Anantha membuka tasnya. Mengambil tabung kecil dan mengeluarkan satu buah pil lalu menelannya tanpa bantuan air.
Anantha menghela napas lagi. Ia menatap kedua tangannya yang masih bergetar dengan tatapan kosong. Memejamkan matanya sejenak, lalu mendongak menatap langit yang perlahan mulai merubah warnanya. Menunjukkan semburat jingga yang terang di atas sana.
Anantha tersenyum kecut. Ia tak lagi menyukai warna terang. Terangnya habis di telan masa lalu. Anantha membenci itu, semua hal yang ada di masa lalu menyangkut hati Anantha, dan itu menyakitinya.
Anantha bangkit dari duduknya. Menghampiri motor ninja hitamnya yang terparkir di pinggir danau dan berlalu dari sana. Tempat yang menjadi kenangan menyakitkan di masa lalunya.
"Dari mana Tha, kok baru pulang?" tanya Arga yang berdiri di depan pintu apartementnya.
Anantha hanya meliriknya sekilas, mengabaikan pertanyaan Arga, memasukan kode apartementnya hingga terdengar bunyi 'klik'. Anantha lalu menekan knop pintu apartementnya.
Anantha berhenti saat ada tangan yang mencekalnya. Anantha menoleh ke arah Arga yang merupakan kakaknya kandungnya itu.
"Gue lagi ngomong sama lo Tha"
Anantha menatapnya datar lalu menarik tangannya dan masuk ke dalam apartementnya tanpa mengucapkan apapun.
Arga menghembuskan nafas beratnya, tangan kanannya terangkat menyentuh pintu apartement Anantha, menatapnya dengan sendu.
"Maafin gue, Tha."
❄