04

1133 Words
Pukul enam sore saat Windy tengah bersiap untuk pulang. Ia sedang mengemas barang-barangnya, memasukan ke dalam tas sampai kemudian terdengar seseorang memanggil namanya. Dia adalah Sultan. Pria dengan kemeja yang ditenteng di tangan kanan itu mengetuk pintu kaca pelan, tersenyum kecil dan melambaikan tangan saat Windy menyadari keberadaannya. Sikap yang begitu manis sampai-sampai membuat senyum merekah di bibir Windy saat itu juga. Namun sepertinya keberuntungan itu belum sepenuhnya berpihak pada gadis itu. Secara tiba-tiba kepala Chakra menyembul dari sela pintu, pria itu berkata jika dirinya memerlukan bantuan Windy saat itu juga. "Windy, masuk ke ruangan saya sekarang. Saya perlu bantuan kamu." Hela napas lelah keluar dari sela bibirnya, dengan hentakkan kaki penuh rasa kesal ia menghampiri ruangan Chakra. Tidak lupa sebelumnya memberitahu Sultan lewat bahasa isyarat. "Kenapa Pak?" tanya Windy saat ia memasuki ruangan Chakra. Penampilan pria itu sudah tidak berbentuk. Dasi yang tidak terpasang pada tempatnya, jas yang ia letakkan sembarangan juga kemeja yang tidak terpasang rapi. "Duduk dulu, saya mau minta bantuan kamu." "Bantuan apa?" "Besok saya ada jadwal apa aja?" Sedikit mengingat, Windy mengetuk jarinya di atas dagu. "Pagi Bapak ada meeting dengan perwakilan Persona Grup, siangnya ada jadwal makan siang bareng mbak Karin, kalo malamnya free sih pak," terang Windy yakin. "Bagus! Kamu free juga nggak besok?' Mata Windy memincing, melihat dengan lamat ke arah sang atasan. " Besok, 'kan weekend, Pak. Ya jelas, free lah." "Kamu jomblo ya?" Mata Windy melotot, seenaknya saja Chakra mengatai nya. Windy itu bukan jomblo, ia hanya sedang dalam fase menjadi seorang single demi mempersiapkan diri menjadi kekasih yang baik untuk Sultan di masa depan. "Sembarangan bapak, saya itu single bukan jomblo," jawab Windy bangga. Chakra menatap malas ke arah gadis itu. "Sama aja," batinnya. "Yasudahlah, terserah kamu. Yang jelas besok kamu nggak ada acara, kan?" Hanya anggukan singkat yang jadi jawaban Windy selanjutnya. "Oke, besok saya jemput kamu jam tujuh malam. Kamu temani saya ke acara reuni sekolah. Ingat! Dandan yang rapi, jangan malu-maluin saya!" Windy tercengang. Apa katanya tadi? Ia harus menemani Chakra untuk hadir di acara reuni sekolah pria itu? Yang benar saja. "Bentar, pak. Tahan dulu. Apa tadi? Saya nemenin bapak ke acara reuni?" "Iya, ada yang salah?" "Bapak masih nanya? Saya nggak mau, nanti dikira pelakor lagi. Capek, pak saya ngadepin pacar, pacar bapak yang sering ngira saya deket sama bapak. Suer." Windy mengacungkan jari tengah juga telunjuknya ke atas, membentuk huruf V sebagai bentuk meyakinkan Chakra. "Nggak bakal. Pacar saya nggak ada yang satu sekolah sama saya. Udah besok pokoknya kamu saya jemput, atau gaji kamu saya potong nanti." Tidak bisa membantah, Windy itu lemah jika berhubungan dengan uang. Ia gadis yang terlalu logis juga realistis. "Ngapain lagi kamu masih di sini? Nggak mau pulang?" Dengan kaki yang menghentak keras, Windy melangkah keluar dari ruangan Chakra. Ingin rasanya ia membanting pintu kaca itu, namun otaknya masih cukup cerdas berpikir jika ia belum sanggup untuk mengganti rugi nantinya. Windy menghampiri Sultan dengan wajah tertekuk, membuat pria itu merasa heran karenanya. "Kamu nggak papa?" Windy hanya mengangguk, rasanya ia terlalu malas untuk berkata meski hanya sekadar, ya. "Yaudah, yuk jalan sekarang." *** Tujuan pertama Sultan dan Windy adalah pusat perbelanjaan. Keduanya berkeliling di sekitar area pakaian juga perhiasan. "Kamu beneran nggak papa?" Sultan bertanya lirih. Ekspresi Windy masih belum juga lebih baik dari yang pertama kali. Hembusan napas panjang terdengar, berasal dari Windy yang kini menundukan kepala. "Maaf, kayaknya mood ku mendadak nggak bagus," jawab Windy masih dengan kepala tertunduk. Gemas, Sultan justru tersenyum kecil melihat bagaimana tingkah Windy sekarang. "Mau ikut saya nggak?" Windy mendongak, menatap Sultan dengan wajah bertanya. "Kemana?" Tidak tahan, tangan besar Sultan terulur untuk mencubit pipi Windy. Ia merasa gemas bukan main pada gadis yang ada di hadapannya ini. Lain dengan Sultan, lain pula dengan Windy. Gadis itu mematung, jantungnya terasa berpacu dua kali lipat setelah apa yang dilakukan Sultan padanya. Pria itu tidak tahu, ya seberapa besar pengaruhnya terhadap kinerja jantung Windy sekarang? Rasa-rasanya Windy bisa pingsan saat itu juga. "Wajah kamu merah. Malu, ya?" Sialan! Batin Windy kesal. Oh, tentunya ia tidak bermaksud memaki. Dirinya hanya merasa malu ketahuan blushing terang-terangan oleh orang yang ia sukai. Pokoknya Windy merasa malu! "E-enggak, siapa juga yang malu. Saya, cuma laper." Sekali lagi, Windy mengucap kesal dalam hati. Hal bodoh apalagi yang ia lakukan sekarang? "Oh, kamu laper. Yaudah, yuk makan dulu." Demi Chocho pie kesukaan, Windy! Rasanya ia benar-benar akan pingsan saat Sultan menggandeng tangannya, setengah menggeret untuk membawanya ke suatu tempat. Restoran makanan Korea. Keduanya sudah duduk nyaman di kursi pelanggan. "Kamu mau pesen apa?" tanya Sultan sambil melihat-lihat buku menu. Sadar tidak ada jawaban, membuat Sultan menoleh. Pria itu agak heran melihat tingkah Windy yang sejak tadi hanya memandangi tangan sebelah kanannya. Tangan yang sebelumnya digandeng oleh Sultan. "Windy." "Eh, iya?" Panggilan Sultan membuat gadis itu tersadar. Ia tersenyum kikuk ke arah si pria karena ketahuan tengah melamun. "Kamu pesen apa?" "Samain aja," jawab Windy pendek. Sebenarnya itu hanya alasan supaya dirinya tidak kembali bertingkah bodoh hanya karena ada Sultan di dekatnya. Begitu-begitu, Windy masih punya harga diri untuk sedikit jaga image di depan gebetan. Tidak lama pesanan keduanya sampai. Dua porsi kimchi jjigae juga tumis gurita kecil jadi pilihan. "Kamu nggak alergi seafood, kan?" tanya Sultan memastikan. "Nggak kok. Saya cuma alergi nggak punya uang aja," jawab Windy jenaka. Sultan tertawa, gadis ini pandai sekali membuat sesuatu yang lucu. "Oh, iya. Setelah ini kita langsung aja cari hadiahnya, daripada kemaleman," usul Windy yang diangguki oleh Sultan. Setelah mengisi perut, keduanya kembali dalam misi mencari hadiah. Destinasi keduanya saat ini tertuju pada sebuah toko perhiasan. Baik Sultan maupun Windy sama-sama sibuk memilih. Windy tampak begitu serius melihat-lihat beberapa set perhiasan yang dipajang di toko tersebut. "Ibu kamu orangnya seperti apa? Biasanya tipe orang juga menentukan tipe perhiasan yang disuka," tanya Windy. "Ibu orangnya nggak ribet. Beliau suka sesuatu yang simpel, tapi elegan dan cantik. Sederhana tapi bermakna." Windy menganggukkan kepalanya, kemudian pandangannya tertuju pada sebuah kalung berbandul bunga gardenia. "Ku pikir ini cocok. Bunga Gardenia melambangkan kemurnian dan kecantikan, serta cinta yang tulus dan tidak pernah padam. Cocok untuk diberikan pada Ibumu." Sultan mengambil kalung emas tersebut, menimang sebentar sebelum mengangguk kemudian. "Baiklah, kita ambil yang ini." "Loh, Windy?" Merasa dipanggil, gadis itu menoleh. Bisa ia lihat seorang wanita dan pria berjalan ke arah mereka. Windy mematung, ia tidak percaya dengan siapa yang ia lihat saat ini. "Udah lama ya kita nggak ketemu. Gimana kabar kamu? Masih jadi b***k corporate terus ya?" Sultan agaknya cukup terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut wanita itu. Pasalnya hal itu bukanlah sesuatu yang pantas dikatakan untuk ukuran teman lama yang baru saja bertemu. "Dia siapa?" tanya si wanita sambil menunjuk ke arah Sultan. Memperhatikan Windy sejenak, Sultan kemudian berinisiatif menjabat tangan si wanita dan berkenalan. "Saya Sultan, salah satu petinggi WYB corp. Sekaligus tunangan Windy."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD