03

1080 Words
Seperti biasanya, suara gaduh yang berasal dari kamar Windy kembali terdengar. Kali ini ia sudah bersiap dengan kemeja berwarna baby blue juga celana panjang berwarna putih gading, jangan lupakan sepatu hak berwarna hitam juga tas selempang berwarna serupa. Dengan terburu-buru dirinya menuruni tangga, duduk di meja makan dan mengambil roti isi buatan sang Bunda dengan segera. "Pelan-pelan," tutur sang Bunda yang saat itu tengah menggoreng telur. Wanita berusia baya itu tersenyum kecil melihat kelakuan anak bungsunya itu. Mulutnya menggembung layaknya seekor tupai saat menyembunyikan kacang di mulutnya. Belum lagi ia yang berbicara sambil mengunyah, membuat kata-kata yang ia lontarkan terdengar abstrak, tidak jelas. "Makan jangan sambil ngomong, keselek baru tahu rasa." Seorang laki-laki dengan kaos tanpa lengan juga celana pendek itu turut bergabung. Rambutnya yang berdiri tidak beraturan menandakan dirinya yang baru saja terbangun dari tidurnya. "Uhuk uhuk!" Benar seperti apa yang dikatakan sang kakak, Windy tiba-tiba saja tersedak. Dengan segera ia meraih air putih yang memang sudah disediakan. "Kan, baru juga dibilang." Windy mendengkus, ia menelan kunyahan terakhir roti isi dan meminum air s**u sebelum berpamitan. "Bunda, Windy berangkat dulu." Ia mengecup pipi sang Bunda, menyalami wanita itu dan beranjak pergi. "Nggak pamitan sama Mas?" teriak si lelaki. "Nggak! Mas rese, soalnya!" balas Windy juga berteriak. "Anak itu," gumam sang kakak gemas. Sementara Bunda dari keduanya hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersennyum kecil. Sudah terbiasa dengan kelakuan abnormal kedua anaknya. Windy berjalan cepat ke arah sebuah toko bunga tidak jauh dari rumahnya. Ia lupa jika dirinya juga harus membawa mawar untuk diberikan pada salah satu kekasih boss nya pagi ini. "Kalo nggak karena harus beli bunga dulu, pasti aku bisa santai sedikit. Dasar boss nyebelin, siapa yang punya pacar, tapi siapa yang repot!" dumal Windy sambil menghentakkan kakinya ke atas tanah. Sesampainya ia di toko, Windy langsung memesan bunga mawar. Sesekali dirinya mengecek jam pada arloji yang terpasang di pergelangan tangan. "Duh, bakalan telat lagi nih," gumamnya lirih. Tidak lama kemudian, suara lonceng kecil yang menggantung di atas pintu masuk toko terdengar. Sultan datang dengan setelan rapi juga rambutnya yang ditata model coma. Membuat dahi indah pria itu terekspos luas. Windy melongo selama beberapa detik, belum lagi Sultan yang tersenyum kecil saat menyadari dirinya juga ada di sana. Jarak keduanya makin dekat, bahkan secara tidak sadar pria itu sudah berdiri di samping Windy untuk saat ini. "Kamu beli bunga juga?" tanya pria itu basa-basi. Windy mengangguk kaget. "Iya, disuruh Pak Chakra hehehe," tawanya canggung. "Kamu sendiri? Beli bunga buat siapa?" Mencoba sksd. Windy coba mencairkan suasana. Sekalian pendekatan, pikirnya. "Buat Ibu. Hari ini beliau ulang tahun, niatnya mau ngasih surprise cuma masih bingung." "Bingung kenapa?" "Saya nggak tahu apa yang biasanya disukai perempuan." Windy terkekeh, tanpa sadar dirinya menepuk bahu Sultan. Bentuk reflek tiap kali gadis itu tertawa. "Oh, maaf. Nggak sengaja." "Nggak apa-apa, kamu lucu kalo lagi ketawa." Senyum tertahan jelas terlihat di wajah Windy, ia menoleh ke arah lain guna menghindari tatapan Sultan yang tengah tersenyum padanya. Hal itu tidak baik untuk jantungnya tentu saja. Sultan terlalu manis! "Kamu nggak papa?" "Nggak. Saya, oke!" Dengan ekspresi cukup bodoh Windy mengacungkan dua jempolnya. Beberapa detik kemudian ia sadar dengan kelakuannya sendiri dan bergumam, mengumpat dalam hatinya karena ia yang pasti terlihat seperti gadis bodoh beberapa second lalu. "Kamu mau bantuin saya?" "Eh, bantuin apa ya?" "Pilihin hadiah buat Ibu. Saya mau hadiah yang terbaik buat beliau." Windy mengangguk-angguk kan kepalanya sesekali. "Boleh. Gimana kalo selesai kerja? Hari ini kamu nggak lembur kan?" "Nggak harusnya. Oke, deal! Sepulang kerja saya tunggu kamu di parkiran," sahut Sultan dengan senyum merekah. Keduanya saling berjabat tangan dan tidak lama kemudian pesanan bunga keduanya telah selesai dibuat. "Ayo bareng sekalian." Sultan membuka pintu bagian penumpang. Windy masih saja melongo sampai kemudian pria itu mendorongnya pelan, hingga naik ke kursi sebelah pengemudi. "Nanti kamu telat lagi kalo kelamaan mikir, dimarahin Chakra dan beneran di pecat nanti," ujar Sultan sambil mengemudikan mobilnya. "Nggak bakalan bisa Pak Chakra mecat saya. Kan saya punya Oma, hehehe." "Oma?" "Iya, Oma. Neneknya Pak Chandra." Alis Sultan menukik. Dalam benaknya bertanya ada hubungan apa antara nenek Chakra juga Windy? "Ceritanya panjang. Intinya Pak Chakra nggak bisa mecat saya tanpa persetujuan Oma. Karena itulah sampai sekarang saya nggak bisa-bisa dipecat." Jelas Windy seolah mengerti ekspresi wajah Sultan saat ini. *** "Kamu darimana aja jam segini baru dateng?! Kamu tahu kan bunganya mau saya pake buat dikasih ke Celine?" Baru saja Windy tiba, ia sudah mendapatkan semprotan dari Chakra di lobby utama. Pria itu sudah sejak tadi mondar-mandir menunggu kedatangan Windy. "Maaf, Pak. Tadi antre, macet juga," Windy beralasan. "Terserah kamu lah," tukas Chakra menyambar se bucket mawar merah dari tangan Windy. Pria itu berjalan menuju ruangannya diikuti Windy di belakang. "Bapak nggak mau pecat saya?" Pertanyaan tiba-tiba yang keluar dari mulut Windy membuat Chakra menoleh. Ia menatap sengit ke arah si gadis yang menatapnya balik dengan tatapan kebingungan. "Kalo saya pecat kamu sekarang, apa kamu mau nerima?" Dengan polosnya Windy menggeleng. Chakra menghela napas kasar, malas menanggapi Windy untuk pagi ini. Ada urusan lain yang lebih penting untuk ia selesaikan saat ini. Pria itu membuka pintu ruangannya, masuk ke dalam dan memasang senyum lebar yang sebenarnya hanya ke pura an. "Kamu darimana aja, aku kangen tahu," ucap seorang gadis dengan dress selutut yang langsung bergelayut manja di bahu Chakra. "Celine, ini kantor. Nggak enak kalo diliat yang lain," kata Chakra sambil melepaskan pelukanmu Celine. "Itu apa?" tunjuk Celine pada bunga yang ada di tangan Chakra. "Ini? Bunga." "Bunga buat aku?" "Oh, iya. Ini bunga buat kamu." Chakra menyerahkan bunga itu dengan buru-buru pada Celine. Sedikit informasi. Celine adalah salah satu dari beberapa kekasih yang dimiliki Chakra, tapi bisa dibilang kedudukan gadis itu jauh lebih tinggi dibandingkan pacar Chakra yang lainnya. Celine adalah tunangan pria itu. Keduanya dijodohkan karena wasiat mendiang sang kakek yang merasa berhutang budi pada keluarga Celine karena telah menyelamatkan perusahaan mereka diambang kehancuran dulu. Tapi meski mereka dijodohkan, Chakra menerima kehadiran Celine dengan suka cita. Oh, maksudnya pria itu tidak terlalu mau ambil pusing dengan perjodohan mereka. Baginya Celine atau beberapa kekasihnya yang lain kedudukannya sama. Tidak ada yang istimewa. Terdengar suara pintu diketuk. Setelah mempersilakan Windy datang dengan beberapa laporan yang harus diserahkan pada Chakra hari itu juga. "Maaf menganggu. Saya hanya mau memberikan beberapa laporan," katanya sopan. Windy dengan segera undur diri setelah meletakkan laporan di meja Chakra. Tring! Bunyi notifikasi di ponsel Chakra. Saat pria itu melihatnya, ia hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Pesan dari Windy yang berbunyi. "Pak, uang buat beli bunga belum diganti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD