2. Canggung

1807 Words
Author Pov. “Pagi, Dev,” ucap sebuah suara yang membuat Devina menoleh dan menatap Ars yang tengah menatapnya. Devina beranjak dari pembaringannya dan memilih duduk. “Pagi, Ars,” jawab Devina. “Kamu mau berselancar?” “Nggak. Aku nggak suka berselancar, aku lebih suka baca buku dan nonton.” “Wah. Gitu ya?” “Hem. Kamu mau nggak nonton denganku?” tanya Ars. Devina berdiam diri ketika Ars mengajaknya, ia memang harus mencari cara agar ketika bertemu Zein mereka tidak saling canggung. Jika Devina nonton bersama Ars, ia pasti tidak akan bertemu Zein. “Dev, apa kamu mendengarkanku?” tanya Ars. “Baiklah. Aku mau, jam berapa?” “Aku tunggu kami di studio 1 malam ini, jam 8,” jawab Ars. “Baiklah. Aku akan ke sana,” jawab Devina. “Ya sudah. Aku tinggal ya, aku harus ke perpustakaan.” Ars beranjak dari duduknya. “Baiklah. Oke,” jawab Devania. Zein terbangun ketika merakan cahaya mulai masuk dengan sengatannya, Zein hendak memeluk Devina, namun yang ia peluk adalah boneka beruang Devina, Zein membuka lebar matanya dan melihat hari sudah mulai siang, dan Devina pasti sedang bekerja. Zein tersenyum ketika mengingat malam pertamanya dengan Devina, ada hal yang membahagiakan yang tidak bisa Zein jelaskan, pokoknya semalam indah sekali, apalagi terbangun di kamar Devina yang begitu wangi dan mungil. Zein tidak pernah menyangka akan bertemu dengan wanita yang sesuai keinginannya, liburannya pun akan lebih menyenangkan. Zein lalu mengenakan kembali pakaiannya dan keluar dari kamar Devina, lalu meregangkan ototnya didepan pintu. Lalu, langkahnya terhenti ketika melihat Devina tengah mandi dilaut bersama seorang lelaki padahal hari sudah mulai siang, dan matahari mulai menyengat. Zein hendak menghampiri Devania, namun langkahnya kembali terhenti ketika Temmy menghentikannya dan menghadang jalannya. “Lo darimana saja?” tanya Temmy. “Gua baru bangun,” jawab Zein melihat Devania tertawa riang. “Baru bangun? Gua nggak lihat lo di kamar, kemana lo semalam? Tidur dimana?” “Ish. Lo ganggu aja, gua bukan anak kecil apalagi anak gadis yang harus mengatakan ke lo dimana gua tidur,” kata Zein. “Ayo, Zein, sarapan dulu,” kata Pelinda. “Itu Devania berenang sama siapa?” “Oh itu? Dia Keiro,” jawab Temmy. “Anak muda di pantai ini. Dia peselancar.” “Apa?” “Kayaknya lo cemburu nih? Apa ada kemajuan semalam?” tanya Temmy. “Udah donk, Sayang, kamu ini, ajak Zein sarapan aja,” kata Pelinda menghentikan godaan suaminya pada Zein. “Ayo, Zein, kita sarapan, gua udah lapar nih nunggu lo daritadi,” kata Temmy menarik sahabatnya dan masuk ke kedai. Mata Zein terus melihat Devina yang masih berenang bersama peselancar itu, Zein beranjak dari duduknya ketika tak lagi melihat kepala Devina muncul, Zein berlari menghampiri laut dan tak melihat Devina sejak tadi. “Dimana Devina?” tanya Zein. “Saya juga tidak tahu, tadi masih di sini,” jawab Keiro. “Sialan!” umpat Zein lalu menyelam ke laut dan mencari Devina, sepertinya Devina tenggelam, segeralah Pelinda dan Temmy meninggalkan kedai dan menghampiri laut. Zein terus mencari Devina dan menemukan wanitanya itu yang sudah kehabisan napas. Devina tidak tahu berenang, namun entah mengapa dia menjadi sok jago ketika Keiro menantangnya. “Bantu Zein, Sayang, kasihan Devina,” lirih Pelinda. “Aku percaya pada Zein, Sayang, dia pasti menemukan Devina.” Sesaat kemudian kepala Zein muncul dan dia menggendong Devina ala bridal style dan menidurkannya di pinggiran pantai. Devina tidak sadarkan diri dan Zein memberi napas buatan dari bibirnya beberapa kali, dan akhirnya Devina batuk dan mengeluarkan air dari mulutnya. Semuanya bernapas lega dan Zein menarik Devina lalu memeluknya membuat suasana canggung terlihat. Pelinda tidak perlu mendengar penjelasan Devina karena ia tahu sekali ada yang terjadi antara Devina dan Zein semalam. “Syukurlah,” ucap Zein dan terus memeluk Devina. Devina melepaskan pelukan Zein dan beranjak dari duduknya. “Aku nggak apa-apa,” jawab Devina lalu melangkah meninggalkan Zein yang sudah menyelamatkannya. “Dev, kamu mau kemana?” teriak Pelinda. Devina meninggalkan pantai dan berjalan menuju kamarnya, Zein menautkan alis melihat perubahan sikap Devina. Baru saja semalam mereka mesra-mesraan, bahkan b******a sampai pagi, namun pagi ini Devina telah berubah. “Ayo, Zein,” ajak Temmy, sedangkan Pelinda sudah menyusul langkah kaki Devina. “Dev, kamu kenapa?” tanya Pelinda ikut masuk ke kamar sahabatnya. “Zein meninggalkan sarapannya dan langsung berlari menyelamatkanmu, tapi kamu nggak ngomong apa-apa?” “Semalam aku dan Zein melakukan kesalahan, Nda,” jawab Devina. “Aku hanya sedang menyadarkan diriku bahwa semua yang ku lakukan semalam adalah salah adanya. Sangat salah.” “Aku tahu. Kamu dan Zein tidur, ‘kan? Aku tahu dan aku nggak akan menyalahkanmu, apa yang salah dari itu? Kamu dan Zein laki dan perempuan, jadi wajar melakukan itu.” “Kamu nggak marah?” “Ya nggak lah, aku yang sudah mengenalkan kalian.” “Tanpa alasan aku sedih telah memberikan diriku pada Zein.” “Udah. Lagian masih banyak orang yang lebih dari kamu,” jawab Pelinda. “Sekarang … tanya hatimu, kamu bukan orang yang mudah yang memberikan dirimu pada lelaki, bahkan pada Gino, kamu nggak pernah melakukannya. Jadi … tanyakan pada hatimu.” Devina menganggukkan kepala. Zein mengganti pakaiannya dan menanggalkan pakaiannya yang basah kuyup, ia merasa perubahan Devina sangat aneh dan itu melukai hatinya, ia juga melihat jalan Devina berubah, pasti karena rasa perih yang terbilang cukup pedih karena semalam mereka harus b******a sampai pagi. Hujan pun menggelayut di bumi semalam, membuat keduanya tak mengira waktu cepat sekali berlalu. Zein keluar dari kamarnya dan melihat Pelinda memanggilnya, Zein menyusuri setiap tempat dan tidak menemukan Devina dimanapun, Zein menghela napas panjang, ia tak tahu salahnya dimana, namun sampai saat ini ia masih memutar jelas rekaman terakhirnya bersama Devina. “Tem, Devina mana?” Zein menyikut sahabatnya. “Katanya ada janjian baca buku dan nonton film bersama Ars.” “Ars?” “Iya. Dia salah satu peselancar juga yang tinggal di sini beberapa bulan yang lalu, karena proyeknya di sini, jadi ia di sini,” jawab Temmy. “Emang ada apa? Tumben lo tanyain dia?” “Oh nggak ada apa-apa, heran saja kan, bukannya dia kerja di sini?” “Dia nggak kerja di sini, Bro, dia hanya liburan di sini, dia juga tamu kita, hanya saja sering dia membantu Pelinda mengurus kedai ini,” jawab Temmy. “Oh,” jawab Zein lalu menghela napas, semalam sangat indah. Namun, hari ini sikap Devina berubah, bahkan seperti menghindari Zein yang tidak tahu apa salahnya. “Apa sesuatu terjadi antara lo sama Devina?” tanya Temmy. Zein menggelengkan kepala, “Nggak ada.” “Beneran?” “Ya.” “Lalu kenapa lo tanyain dia?” “Kan kalian yang kenalin gua sama Devina, apa salah gua tanyain?” “Ya ampun. Lo sensi banget sih,” kekeh Temmy. “Kayak orang yang cemburuan.” “Tapi emang ya, Devina dekat sama cowok-cowok di sini? Kayaknya dia nggak enggan mendekati satu persatu.” “Iya. Devina emang sudah terkenal di sini, bahkan kecantikannya membuat semuanya hampir berlomba-lomba mendapatkan perhatiannya,” jawab Pelinda membawa sepiring nasi goreng pedas sedang dihadapan Zein. “Kok bisa? Dia nggak cantik amat kok kelihatannya,” kata Zein. “Gua tahu dia tuh cantik, tapi dia benar-benar anak yang baik, kok,” jawab Pelinda duduk disamping suaminya dan merangkul lengannya, membiarkan Rens mengatur segalanya didalam sana. “Dia juga jahat,” gumam Zein. “Hem?” Temmy dan Pelinda menatap Zein. “Nggak ada apa-apa. Gua nggak nafsu makan, gua mau jalan-jalan,” kata Zein beranjak dari duduknya. “Tapi kan lo belum sentuh makanan apa pun sejak tadi, lo nggak lapar?” “Udah. Nggak usah bawel deh,” kata Zein lalu melangkah meninggalkan kedai. Ia terluka atas sikap Devina yang sepertinya pura-pura lupa atas kejadian semalam, Zein kesal sekali dan tak menyangka Devina seperti w************n saja. Mau memberikan tubuhnya pada lelaki yang baru pertama kali ia temui, bahkan lelaki itu menaruh perasaan padanya setelah kejadian semalam. Zein berjalan-jalan dan meninggalkan pantai, ia berjalan disekitaran pertokoan, dan tak sengaja melihat apotik, Zein mengingat ketika jalan Devina berubah, ia pun langsung masuk tanpa berpikir panjang. “Permisi, Mr, apa ada yang bisa saya bantu?” tanya penjaga apotik ini menggunakan bahasa inggris. “Saya mencari obat—“ “Obat? Obat apa, Mr?” “Obat perawan,” jawab Zein menggaruk tengkuknya. “Maksudnya? Seseorang telah kehilangan perawan dan perih?” tanya apoteker itu. “Iya, benar. Apa ada obat seperti itu?” “Tentu ada. Anda mau yang mahal atau yang murah?” “Yang mahal saja,” jawab Zein. “Baik, Mr, wait saya ambilkan.” Wanita itu lalu melangkah ke rak yang ada dibelakangnya dan membungkus obat tersebut dengan kresek kecil. Setelah itu diberikannya pada Zein yang masih menunggu. “Ini, Mr,” jawab wanita itu. “Oke. Makasih,” kata Zein lalu memberikan sejumlah uang pada wanita itu. “Uang Anda kelebihan, Mr?” Wanita itu setengah berteriak. “Ambil saja,” kata Zein lalu berjalan meninggalkan apotik dan menaruh obat itu di kantung celananya. Ia akan berikan pada Devina nanti, setelah ia pulang dari berjalan-jalan. Zein berjalan disekitaran toko dan melihat ramainya pengunjung, di sini padat sekali, bahkan Zein tidak bisa bergerak bebas, hari ini adalah weekend, sebagian orang di sini menghabiskan waktu di area pertokoan untuk jalan-jalan atau nonton. Zein melangkah masuk ke studio dan membeli tiket, setelah itu ia masuk ke studio satu dan duduk paling atas. Zein terkejut ketika melihat Devina yang duduk berdampingan dengan lelaki lain, Zein hendak menghampiri Devina dan menariknya, ia membutuhkan penjelasan dari sikap Devina yang berubah. Hari yang sulit bagi Zein, namun langkahnya terhenti ketika pintu tertutup dan semua lampu dimatikan. Zein menghela napas dan tidak melihat ke layar, ia melihat ke arah Devina dan Ars yang tengah nonton bersama. Devina menghela napas panjang ketika ia mengingat semalam adalah malam yang indah yang harus ia lupakan, ia belum mengenal Zein, namun betapa bodohnya dirinya, ia memberikan dirinya pada Zein begitu mudah. Bagaimana jika Zein sudah menikah? Atau … sudah memiliki tunangan? Hubungan mereka pasti tidak akan berjalan mulus. “Ada apa, Dev? Kamu tidak suka filmnya?” tanya Ars. “Tidak, Ars, suka kok.” “Lalu kenapa?” “Aku tidak apa-apa,” jawab Devina menggelengkan kepala. Ars menganggukkan kepala dan kembali melihat ke layar dan menonton film. Sebenarnya … Zein kemari karena ingin berjalan-jalan saja, namun ia tidak menyangka bisa bertemu Devina di sini, ia harus membuat perhitungan pada wanita yang sudah berani mempermainkannya, Devina sudah membuat hatinya terusik. Hari sudah mulai gelap, bahkan ia belum makan apa pun sejak kemarin. Zein tidak perduli dengan perutnya yang lapar, yang ia perdulikan adalah Devina yang duduk berdampingan dengan lelaki lain. Hampir dua jam Zein menonton Devina dan Ars, ia lalu keluar dari studio karena film sudah mau selesai, ia harus berdiri di depan sana dan menunggu Devina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD