1. Cinta Satu Malam

1712 Words
“Aku … Zeindra, panggil Zein saja,” ucap lelaki itu membuat Pelinda dan Temmy tersenyum. Zein memang pria yang gentle. Itu yang ku lihat darinya. Aku lalu meraih tangan Zein, dan berkata, “Aku … Devina, biasa dipanggil Dev,” jawabku dengan enteng. “Dia ini usianya masih 20 tahun, tapi udah ditinggal nikah,” kata Pelinda membuat Temmy menyikut istrinya itu, Pelinda memukul pelan bibirnya karena sudah keceplosan. Aku tersenyum melihatnya, apa pun yang Pelinda lakukan meski itu menyakitiku, aku tidak akan pernah bisa marah padanya. Zein menoleh sesaat menatapku yang tengah mengupas kulit kacang dan menaruhnya di wadah, Zein tersenyum melihatku, aku sadari senyumannya yang mengarah padaku. “Gua mau jalan-jalan,” kata Zein. “Lo nggak istirahat dulu?” tanya Temmy. “Udaranya segar, gua mau jalan-jalan dulu,” jawab Zein beranjak dari duduknya. “Oh iya, Zein, nanti Devina menemani lo jalan-jalan,” kata Pelinda membuatku menoleh menatap sahabatku itu dan menggelengkan kepala. Zein menoleh menatapku, sepertinya membutuhkan jawaban dari tawaran Pelinda, aku mana bisa berjalan-jalan dengan lelaki yang baru aku kenal. Namun, karena paksaan Pelinda, aku nggak bisa menolaknya. “Iya benar. Lo biar ditemani saja sama Devina, yakin gua, lo nggak akan nyasar kalau Devina temenin lo, dia udah tahu tempat di sini,” sambung Temmy yang diinjak kakinya oleh istrinya agar membenarkan perkataannya. Aku menggelengkan kepala melihat sikap Pelinda “Tapi, kerjaanku—“ “Udah. Kan ada Rens, kamu tenang aja, nikmati jalan-jalanmu, ya,” paksa Pelinda lalu melepaskan celemekku dan menaruhnya diatas meja. “Kalian jalan-jalan saja, pulang juga nggak apa-apa kalau larut,” sambung Pelinda membuat Temmy menggelengkan kepala melihat semangat istrinya. Zein mempersilahkanku berjalan duluan dan mereka berjalan berdampingan meninggalkan kedai yang dimana pengunjungnya sangat ramai. Zein tersenyum dan sesekali menoleh menatapku.  “Sayang, apa maksudmu lagi ini?” tanya Temmy pada istrinya. “Aku mau jodohin Devina sama Zein,” jawab Pelinda. “Sayang, kamu kan juga baru saja kemarin menjodohkan Devina dengan Ars,” kata suaminya. “Bagaimana jika Ars itu malah—“ “Sayang, aku itu tahu kalau Devina suka apa nggak, nyaman apa nggak, jadi aku paling tahu bagaimana dia, kemarin dia jalan sama Ars, tapi udah mewek aja duluan, berarti dia nggak suka sama Ars.” “Kamu kayak emaknya aja,” kekeh Temmy. “Sayang, Devina itu melebihi teman bagiku, dia saudaraku, dia berarti banget,” jawab Pelinda. “Jadi … aku nggak berarti bagi kamu?” “Berarti donk, Sayang,” jawab Pelinda mencubit dua pipi suaminya. Aku dan Zein masih berjalan-jalan sekitar pantai, kami sudah sangat jauh dari kedai milik Pelinda dan Temmy, tak ada obrolan sejak kami jalan-jalan, kami berdua sibuk dengan pikiranmasing-masing, aku tidak ingin bertanya duluan dan Zein pun melakukan hal yang sama. Kami masih di fase bingung karena terseret oleh situasi ini.  “Kamu udah lama di sini?” tanya Zein, akhirnya ia memberanikan diri dan berhasil membuatku menoleh dan menganggukkan kepala. “Hem. Aku udah hampir dua bulan di sini,” jawabku. “Kamu asli sini?” “Bukan. Aku asli Jakarta,” jawabku lagi. “Wah. Sama donk,” seru Zein. Aku menganggukkan kepala, suara bising ombak yang menerpa tepi pantai membuat kaki Zein dan kakiku basah. Aku menghela napas panjang dan mendengar suara teriakan Zein disampingku. Yang sontak membuatku terkejut, namun merasa bingung. “YEYY AKU DI SPANYOL!” teriak Zein. Aku menioleh dan menatap Zein yang tengah berteriak ke arah laut. Zein tertawa dan berhasil membuat ku ikut tertawa.  “Kamu mau mencobanya?” tanya Zein. “Bolehkah?” “Tentu saja boleh. Mereka mungkin tidak akan mendengarkan kita, tapi berteriak ke arah laut akan membuat hati kita lega,” kata Zein membuatku menganggukkan kepala. “AKU BENCI KALIAN!” teriakku dan menitikkan air mata membuat Zein menatapku dengan rasa penasaran. “AKU SANGAT MEMBENCI KALIAN! KALIAN ORANG YANG JAHAT!” Aku lalu duduk di tepian pantai dengan helaan napas lega, membuat Zein duduk disampingku. “APA KALIAN DENGAR? DEVINA MEMBENCI KALIAN!” teriak Zein berhasil membuatku tertawa terbahak-bahak. Zein tersenyum, tanpa alasan pun ia tertawa dan bahagia didekatku. Zein menggelengkan kepala mencoba menyadarkan dirinya, namun entah mengapa aku mampu mengusik hatinya, ia menoleh menatapku yang kini duduk disampingnya dan tanpa alasan tersenyum menatapku. “Apa kamu punya masalah?” tanyaku menoleh dan menatap Zein. “Hem? Masalah? Semua orang punya masalah, bukan?” Aku menganggukkan kepala. Setidaknya aku lebih baik setelah berteriak. “Aku di khianati oleh pacar dan kakakku,” kataku mulai terbuka pada Zein meski baru saja bertemu Zein sejak beberapa jam yang lalu. “Teruskan, aku akan mendengarnya, semoga saja setelah cerita padaku, kamu jadi lebih baik,” tutur Zein membuatku menganggukkan kepala dan menunduk. “Aku sedih saja, nggak ada orang lain yang ada disampingku, hanya ada Pelinda,” kataku. “Aku memiliki kekasih dan kekasihku itu hendak menikahiku, namun dengan entengnya, kakakku melarangku keras dan memintaku mengalah agar lelaki itu mau menikahinya bukan menikahiku. Ku tekadkan diriku mengatakan niatku pada lelaki itu, dan ku pikir dia akan menolak dengan lantang, dan ternyata … nggak sesuai ekspetasiku, dia malah setuju dan melebarkan senyum tanpa menolak.” Air mataku luruh begitu saja. Ku rasakan tepukan di punggungku, membuatku makin menangis, aku sudah berusaha melupakan semua ini, namun entah mengapa malah makin sulit dan makin terluka saja rasanya. Apalagi mengingat ketika ibuku sendiri yang mengusirku dan menyuruhku keluar dari rumah, aku merasa semua hal yang ku inginkan dan ku dambakan malah menjadi sesuatu yang tidak di sukai ibuku. Selama ini aku berusaha menjadi anak dan adik yang baik buat Ibu dan kakakku, namun mereka tak pernah menganggapku ada, bahkan sering kali mengabaikanku. Zein menepuk punggungku, rasanya nyaman sekali dan aku merasa damai, entah keberanian apa yang ku punya, Zein menarikku dan menyandarkanku di bahunya, pertemuan apa ini, mengapa pertemuan kita mendekatkan kita seperti ini, ku coba memutar rekaman terakhirku bertemu dengan Zein, namun ya kami baru bertemu beberapa jam yang lalu. “Semua orang pernah punya masalah, bahkan ada masalah yang lebih berat dari masalahmu, namun mereka selalu tegar dan nggak down, berusaha menjadikan masalah yang dihadapinya untuk menguatkan dirinya,” kata Zein membuatku menyeka air mataku. Aku merasa nyaman berada didekat lelaki ini. “Masalahku memang nggak seberat masalah yang mungkin menimpa orang lain, namun aku sadar bahwa masalah yang ku hadapi nggak berhasil menguatkanku,” jawabku. “Ya aku tahu. Tapi, setidaknya bangkit lah dan tunjukkan pada mereka yang menyakiti dan melukaimu, bahwa kamu bisa,” kata Zein. Aku bangun dari sandaranku dibahunya dan menatap wajah Zein yang mencoba menguatkanku, dan apa yang terjadi, aku malah nyosor mencium bibirnya, apa yang ku lakukan? Apa aku sesepi ini sehingga mencium lelaki yang baru aku kenal? Aku melepaskan cengkramanku di leher Zein dan mencoba memalingkan wajahku, namun yang Zein lakukan adalah menarikku dan memagut bibirku, aku membulatkan mataku dan pagutan Zein memaksaku membalasnya, aku nggak mabuk, aku nggak lagi tak sadar, namun mengapa aku malah menciumnya, dan dengan mudahnya aku membalas ciumannya yang mulai liar. Kami masih saling mencumbu, kami saat ini sedang dikamarku yang berada dibelakang kedai milik Pelinda, aku mencoba memaksa diriku untuk bangun, namun nyatanya aku nggak bisa bangun dan malah aku menginginkan lebih dari ini, Zein terus memagutku dan kali ini pagutannya turun keleherku, aku terangsang, persetan dengan semuanya, aku nggak perduli lagi dengan masa depan yang akan aku jalani nanti, dan keperawana yang ku jaga akhirnya menjadi milik Zein yang baru ku temui beberapa jam yang lalu. Aku sudah mulai basah, bahkan aku menjadi lebih liar ketika aku menarik rambutnya dan mendesah tak tahu malu. *** Aku melihat cahaya masuk ke kamarku dari arah jendela, dan ku lihat wajah Zein yang tak berdaya berbaring disampingku, kami tidak mengenakan pakaian apa pun, bahkan kami masih bertelanjang, aku bangun dari tidurku dan mengenakan kembali pakaianku, aku tidak terkejut sama sekali ketika melihat Zein ada disampingku, karena semalam aku masih sangat sadar ketika kami b******a. Inikah yang dinamakan b******a dimalam pertama bertemu? Aku sudah seperti seorang mucikari melihat diriku yang bangun tanpa sehelai benangpun. Aku keluar dari kamar dan mendengar obrolan Temmy dan Pelinda. “Kamu udah bangunin Zein?” tanya Pelinda. “Aku udah cari dia di kamar, tapi dia nggak ada,” jawab Temmy. Aku membulatkan mata penuh, apa yang akan aku katakan pada Pelinda dan Temmy, aku sudah b******a dengan Zein dan itu menyakitiku dibawah sana, rasanya perih sekali. Namun, aku berusaha berjalan normal. “Dia nggak ada? Kok bisa?” “Mungkin dia ketiduran di pantai kali,” kata Temmy. “Sayang, temanmu itu nggak akan mungkin tidur ditepi pantai.” “Tapi aku beneran udah cari dikamarnya nggak ada, bahkan ranjangnya itu masih rapi seperti kemarin, kayaknya emang nggak pulang deh,” jawab Temmy membuat Pelinda menganggukkan kepala. “Udah ah nggak usah dicari kan udah gede juga dia.” Aku melangkah masuk ke kedai, masih dengan pakaian semalam, aku bodoh sekali ketika tidak mengganti pakaianku. “Pagi, Dev,” ucap Pelinda. “Pagi.” “Eh iya, Dev, kamu semalam kan jalan-jalan tuh sama Zein, kamu lihat dia nggak?” tanya Temmy membuatku terkejut saja. Dia masih tidur dikamarku, dan aku nggak membangunkannya. Aku nggak mungkin bilang seperti itu pada Pelinda dan Temmy, Pelinda pasti akan memarahiku habis-habisan. “Udah ah nggak usah di cari, kan dia udah gede katamu,” sambung Pelinda. Aku menganggukkan kepala, lalu menghampiri Pelinda dan membantunya, aku berusaha berjalan senormal mungkin karena perih sekali rasanya, aku juga tidak mungkin mengatakan itu pada Pelinda bahwa dibawah sana sangat perih, karena semalam harus b******a untuk yang pertama kalinya. Aku mencoba menyadarkan lamunanku dan membantu Pelinda menyiapkan sarapan untuk pengunjung yang datang dipagi hari. “Oh iya, Dev, kamu nggak usah bantuin aku, kamu mandi aja sana,” kata Pelinda. “Udah biar aku bantu saja,” paksaku. “Kamu belum mandi, ‘kan?” “Belum sih.” “Ya udah. Mandi aja, bukannya kamu bilang akan mandi dilaut?” “Iya sih, tapi—“ “Udah pergi aja sana,” kata Pelinda membuatku menganggukkan kepala. Aku lalu melangkah meninggalkan kedai dan berjalan menuju pantai, aku sudah lama tidak mandi dipantai dan meski masih sangat pagi, namun sudah banyak peselancar ditengah laut sana, aku memilih berbaring dipinggiran pantai dan menikmati hari pagi yang masih buta. Apa sih yang aku lakukan? Mengapa aku melakukan ini? Apa aku sudah gila?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD