bc

Cinta di Batas Samudera

book_age18+
109
FOLLOW
1K
READ
possessive
second chance
arranged marriage
tomboy
powerful
drama
comedy
sweet
bxg
brilliant
like
intro-logo
Blurb

Reiga, pria tampan dengan sejuta pesona terlalu membatasi diri hanya karena masa lalunya yang kelam, dia merasa cinta tidak pernah berpihak kepadanya, hingga sosok gadis belia bernama Diva berhasil membobol pertahanannya, melupakan rasa sakitnya dan mengenalkan dengan sebuah rasa yang sudah lama dia lupakan. Jarak tidak menjadi sebuah penghalang, Bandarlampung - Kalimantan hanyalah sebuah jarak.

Hingga kedatangan seorang Leila, cinta masa lalu Reiga membuat pria itu ragu, dia masih memiliki rasa yang nyatanya masih bersemayam indah di dalam lubuk hatinya.

Lalu, di manakah Rei akan melabuhkan cintanya, Diva dengan sejuta keceriaan dan sebuah rasa baru atau Laila wanita yang dia cintai, tapi pernah meninggalkan Lika yang cukup dalam di hatinya?

chap-preview
Free preview
Rindu Abang
"bro, gue balik duluan!" Aku menoleh menatap kepergian sahabatku yang sudah siap untuk pulang. Hari sudah semakin sore dan memang sudah waktunya untuk pulang, lelah pun menyusup dalam diri saat seharian aku berdiri menyelesaikan sebuah patung pesanan pak Deswangga, seseorang pecinta seni yang sudah lama memesan sebuah patung antik padaku. Menghela nafas pelan, aku menatap kembali hasil goresan pisau pahat yang ada di hadapanku, melihat beberapa motif dan sudut yang sudah ku ukir adalah sebuah kebanggaan tersendiri yang aku dapat, seni adalah hidup, dan tanpa seni ibarat aku tanpa ibu ku. Dari seni aku bisa memuaskan hasrat yang sudah lama terpendam. Senyum masih tertahan di kedua sudut bibirku, aku menikmati sesaat sembari nyesap kopi yang sudah terasa dingin. Aku bersandar pada meja yang ada di belakang tubuh, menilik dan menerka apa lagi yang kurang dari ukiran yang aku buat. Hingga sebuah dering ponsel dengan nada spesial membuat senyumku semakin merekah, segera ku raih ponsel yang tergeletak di meja tempat aku bersandar. Tanpa menilik siapa si pemanggil aku segera mengangkat, memperlihatkan wajah cantik tertutup pasmina yang membuat kadar kecantikannya kian bertambah. "Assalamualaikum, Abang!" Aku tersenyum, menatap lekat kearah manik hitam yang selalu membuatku larut akan keindahan, sesuatu yang beberapa bulan terakhir membuatku hampir gila karena kepergiannya. "Waalaikumsalam." "Abang lagi apa?" Dia meletakan ponselnya, beranjak hingga tubuhnya menghilang dari kamera ponsel, "sebentar, bang." Aku menggeleng pelan, tingkah konyolnya memang tak pernah berubah sejak dulu, aku menunggunya sembari menilik beberapa chat masuk di dalam aplikasi chat miliki, beberapa chat pekerjaan, pesanan ukiran, dan beberapa lagi dari Diva, gadis yang saat ini masih tengah video call dengan ku. Gadis ku, sosok yang selalu aku rindukan. Dia mengirim beberapa video lucu, menggunakan sebuah aplikasi yang tengah di minati oleh banyak anak muda jaman sekarang. Aku menggeleng pelan, sekali lagi tingkah konyolnya seolah menjadi pelepas lelahku. "Bang!" Aku sedikit tersentak. Lalu kembali fokus pada layar penuh yang menunjukan wajah Diva, "lagi ngapain?" Aku mengganti mode kamera belakang menunjukan hasil kerjaku hari ini. "Lagi cari inspirasi buat nyelesain patung," Jawabku pelan, "untung kamu telpon, kalo enggak kayaknya Abang bakal mandek deh lanjutin patung Abang." Diva terlihat mengerutkan kening menatap lekat kearah patung. "Bang, tau nggak?" Diva menjeda, setelahnya aku merubah mode kamera menjadi kamera depan. "Kenapa?" "Aku tuh vc Abang buat liat wajah Abang, bukan liat patung!" Ucapnya dengan dengkusan kecil di sana. Diva membenahi telak kerudungnya, lalu menggunakan kamera untuk berkaca dan membuat ekspresi lucu di sana. Aku terkekeh pelan, gadisku ini selalu tahu apa yang aku butuhkan di saat lelah seperti ini, aku tak pernah tahu apa jadinya jika saja bulan lalu dia tak meluruhkan rasa egonya dan memilih menjauhiku, mungkin aku tidak akan pernah bisa merasakan apa yang namanya bahagia seperti saat ini. Diva duniaku, pusat perhatianku dan seluruh hidupku, tujuan kelak untuk mempersuntingnya selalu membuatku tak sabar menantikan hari itu. Hari dimana cinta kita di satukan di atas ikatan yang sah. Hanya saja menunggu tidak semudah yang aku kira. terlebih, aku masih harus menunggu dia menyelesaikan pendidikannya. Waktu yang cukup lama, aku tidak sabar untuk itu, tapi aku memilih mengunakan kesempatan itu untuk mematangkan diri. "Abang cuma kasih liat kamu hasil kerja Abang. Kan kamu tadi tanya Abang lagi apa," Ucap ku pelan sembari terkekeh, melihat wajah cemberutnya adalah hiburan tersendiri untukku. "Ya tapi nggak usah kasih tunjuk juga, cukup jawab aja Abang lagi apa!" "Iya deh iya." Aku terkekeh pelan. "Abang baru Mahat patung dan masih belum selesai." "Pesanan lagi?" Aku mengangguk pelan menjawab pertanyaannya. "Pesanan yang cukup banyak, lumayan lah buat tambahan tabungan-" "Masa depan kita? Udah hapal Diva tuh sama gombalan Abang!" Ucap Diva memotong ucapanku, aku hanya menggeleng pelan sembari terkekeh, padahal aku tak berniat untuk menggombal, hanya mengatakan apa yang sebenarnya, tabungan yang ku kumpulkan sekarang tentu saja untuk tabungan kami kelak. "Lembur lagi?" Aku mengerut kening, entahlah sepertinya aku bakal lembur, mengingat patung ini harus selesai Minggu besok, dan sekarang hari Rabu yang artinya tiga hari lagi. "Lembur deh kayaknya, Abang tinggal finishing aja. Kasih pahatan dikit buat mempercantik," Jawabku lagi. "Biar cantik kayak kamu." "Mulai ya gombalnya. Diva cubit nih nanti!" Aku meringis ngilu, cubitan Diva selalu terngiang di kepalaku, betapa pedih dan ngilu hasil jepitan tangannya itu. "Nggak deh, ampun. Ngeri Abang kena cubit kamu. Memar nanti." "Makanya jangan nakal!" "Abang, nggak nakal Diva. Cuma gemes aja sama Diva," "Iyain udah!" Aku kembali terkekeh apalagi saat melihat Diva mengerucut kan bibirnya, menatapku dengan wajah menggemaskan yang tengah kesal. Apa aku sudah mengatakan sebelumnya? jika Diva ini selalu memiliki wajah yang selalu membuatku lupa akan segalanya. Aku tidak pernah tahu kenapa, tapi aku selalu suka dengan apa yang dia lakukan. "Diva udah makan?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan, berjalan keluar ruangan untuk menilik sekitar, aku butuh udara setelah sejak tadi menghirup debu kayu yang ada di bengkel kerjaku. Di luar terlihat basah, gerimis kecil penyebabnya, beberapa hari ini memang sering turun hujan dan itu membuatku harus menunda pekerjaan, karena harus menunggu terik matahari untuk proses pengecatan pelitur di patungku. "Ini mau makan, Abang udah makan?" Aku kembali fokus pada layar ponsel dan memperhatikan Diva yang tengah mengambil nasi, sambal dan beberapa helai selada. Diva suka dengan selada, terong goreng, dan sambal. Menu yang selalu membuatnya tambah tiap kali makan. "Mak Nana masak apa?" Tanyaku lagi. "Masak tumis kangkung, Diva nggak suka!" "Yaudah makan yang ada aja. Udah di gorengin terong sama sambel kan?" Diva mengangguk sebentar lalu meletakan ponsel di atas meja, dia terlihat mengambil beberapa terong goreng dan satu sendok sambal di sana. Lalu berjalan ke ruang tamu untuk melanjutkan acara makannya. "Pake tangan?" Dia mengangguk, "makan ginian pake sendok nggak nikmat bang." "Nanti cabean loh tangannya! Cuci yang bersih pake sabun abis makan biar nggak panas." "Iya bang, bawel deh." Dia mengambil beberapa nasi dan melahapnya dengan semangat. "Bang tau nggak sih?" "Makan dulu Diva baru ngomong!" Aku memberi peringatan di sana. Lalu menarik satu kursi dan duduk di sana, bersandar sembari menikmati suasana gerimis yang membuatku lapar. Diva terkekeh pelan, mengunyah dengan cepat sebelum mengenalnya. "Udah nih." "Hem, jangan dibiasain ngomong sambil ngunyah. Telen dulu baru ngomong." "Iya, Abang." Dia terlihat berpikir sebentar, "kan Diva lupa mau ngomong apa, Abang sih!" Aku terbahak, dia begitu lucu di mataku. Apapun yang dia lakukan selalu bisa menciptakan lekuk indah di kedua sudut bibirku. "Oh iya Diva inget, Diva magang di salah satu bengkel mobil, agak jauh dari rumah sih." Aku mengerut kening, memang Diva sudah mulai magang ya? Bahkan aku lupa diva semester berapa sekarang, lupakan dan abaikan jangan sampai dia tahu aku lupa, bisa kacau nanti. Bisa-bisanya aku lupa dengan pendidikannya. "Jadi berangkatnya gimana nanti? Dianter mamah kah, atau bareng Arif, Angga?" Tanyaku mengalihkan perhatiannya Diva menggeleng pelan, lalu membenahi posisi jilbab yang dia kenakan. "Dianter mamah deh kayaknya, nggak begitu jauh soalnya." Aku mengangguk pelan, memperhatikan sekitar dan gerimis mulai mereda, beberapa anak yang berteduh di emperan bengkel pun sudah mulai berlarian untuk melanjutkan perjalanan mereka. Kami terdiam, menciptakan sebuah keheningan. Aku berpikir cukup dalam untuk segera menyelesaikan pesanan ku dan mengumpulkan pundi rupiah agar aku bisa terbang ke Kalimantan, menemui gadis yang begitu aku rindukan ini. Merengkuh dan mengecup keningnya, walau itu hanya bayangan saja, karena nyatanya Diva dan aku memiliki sebuah komitmen yang melarang keras ada sentuhan tak langsung di antara kami. Bahkan saat bergandengan di sebuah wisata yang ada di Kalimantan kami menggunakan sebuah sapu tangan untuk menautkan kedua tangan kami. Aku tidak masalah untuk itu. Menjada sesuatu yang memang aku harap menjadi milikku kelak adalah tujuan dan semangat ku. Aku ingin menjaganya, bagai mutiara yang selalu bersinar di setiap saat. Tak ingin ku gores walau hanya secuil yang tak kasat mata. "Bang!" Aku menoleh, menatap Diva yang juga menatap kearah ku. "Ngelamun apa?" Aku menggeleng kecil. "Nggak kok, Abang cuma lagi mikir aja." "Mikirin apa? Jangan bilang mikirin Diva. Abang kangen ya sama Diva!" Aku terkekeh pelan melihat bagaimana kelakuan Diva yang selalu membuatku tak bosan untuk memandangnya. "Tapi Diva juga kangen sama Abang." Ada nada sendu di sana. Bibir yang mengerucut kecil membuatku kembali terkekeh. "Iya Abang juga kangen sama Diva. Kangen banget malah." "Makanya akan buruan kesini, ajak Diva main, belikan Diva cemilan. Diva pengen jajan sama Abang lagi!" "Iya nanti Abang selesaikan pekerjaan Abang dulu, kalo udah selesai baru Abang bisa terbang kesana ketemu Diva." "Beneran?" "Iya, Abang usahakan!" "Tapi nanti ada tambahan pekerjaan lagi!" Aku menggeleng pelan, sepertinya aku harus menutup bengkel beberapa hari dan fokus untuk menyelesaikan pekerjaanku agar aku bisa terbang ke Kalimantan. Bukan hanya Diva, aku rindu dengan mama Nana yang selalu bawel dan penuh perhatian. "Iya secepatnya Abang selesaikan pekerjaan, dan nutup toko biar nggak ada yang pesan untuk beberapa hari kedepan." "Abang beneran kan ini? Nggak lagi bohongi Diva?" Aku mengangguk mantab. "Beneran dong, Abang juga kangen sama Diva." "Tapi Abang kesini sendirian kan, nggak bawa ayah ibu seperti bulan lalu? Diva tuh kaget tau, Dateng tiba-tiba ajak tunangan pula!" Aku terbahak membayangkan wajah terkejut Diva saat aku datang beberapa bulan lalu membawa serta kedua orang tuaku untuk melangsungkan niat baik hubungan kami, saat itu Diva tidak menyadari niat kedatanganku, dan terkejut saat aku melamarnya dan mengajukan sebuah ikatan dalam bentuk tunangan. Mengikat niatan tulus sebelum sah di lakukan. "Padahal Diva masih ngambek itu. Baru juga di baikin udah nekat aja. Sebel nih Diva!" Aku terkekeh pelan, menatap lekat pada bola hitam yang ada di sana. "Sebel tapi cinta kan?" "Abang ihh! Aduin Mama nih Abang godain Diva!" Aku terbahak, melihat kelakuannya terlebih saat Diva berteriak memanggil mak Nana. "Maa...! Abang Rei nih godain Dipa!" "Apaan sih Diva, berisik aja loh! Berantem mulu tiap telponan!" Aku semakin terbahak mendengar jawaban dari Mak Nana, mereka ini selalu membuatku tertawa dengan tingkah dan perdebatan lucu mereka. Aku tak pernah salah memilih, memiliki calon ibu mertua yang baik dan pengertian. Dan calon istri yang begitu setia dan tulus mencintaiku.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Ex Boss (Indonesia)

read
3.9M
bc

Rujuk

read
912.5K
bc

Loving The Pain

read
3.0M
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.8K
bc

Married with Single Daddy

read
6.1M
bc

Everything

read
278.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook