4-Sama yang Lain

1228 Words
Kamera kecil itu mulai me-record, gadis berbandana pink itu seketika memulai vlog-nya. “Hai, guys. Pulang sekolah bete. Akhirnya mampir dulu ke Paradigma kafe,” ucap Auryn. Dia lalu menggerakkan kamera ke arah gedung di belakangnya. Setelahnya kamera itu mengarah ke wajahnya lagi. “Udah pada tahu Paradigma kafe?” tanyanya. “Deket Gedung Golkar. Ini tempatnya bagus banget. Dipenuhi tanaman merambat. Cocok buat hangout bareng pacar, sahabat bahkan keluarga. Pengen tahu keseruan gue di sini? check dis out,” lanjutnya setelah itu menutup lensa dengan tangannya. Auryn lalu menyimpan kameranya ke dalam tas. Dia menoleh saat mendengar suara kikikan. “Apa?” tanyanya tak suka. Redo terkekeh, lucu saja melihat gadis itu membuat vlog. Auryn terlihat lues dan tanpa canggung berhadapan dengan kamera. “Enggak. Lo pinter banget.” “Muji atau enggak?” tanya Auryn tak yakin. “Kita di sini doang nih?” “Ya udah yuk masuk.” Seperti janji Redo sebelumnya, dia mengajak Auryn ke tempat yang cukup tenang. Pilihan Redo jatuh ke Paradigma Kafe, tempatnya sering nongkrong. Paradigma kafe menyuguhkan design yang begitu aestetik dan memanjakan mata. Selain itu tempat ini juga tenang, dan seolah sedang merasa di sekitaran rumah sendiri. “Wait. Wait!” Saat melihat Bar Coffee di samping kiri, Auryn langsung mengambil kameranya lagi. Dia mulai merekam, kali ini tanpa berbicara. Redo pun kali ini tak mengganggu. Dia hanya berjalan di samping Auryn dan terus melangkah. Auryn terus menggerakkan kamera ke kafe yang didominasi warna abu-abu dan disekat dengan kaca. Kursinya pun juga warna abu-abu, tapi tak keseluruhan karena masih mempertahankan warna kayu sebagai bahan utama dari kursi itu. Redo menyenggol lengan gadis di sampingnya, membuat gadis yang sibuk dengan kameranya menoleh. Redo menunduk lalu berbisik pelan. “Mau pesan apa” tanyanya. “Kopi aja.” Setelah mengucapkan itu Auryn berjalan ke spot yang menarik perhatiannya. Di kembali keluar dan berdiri di antara jendela kayu yang memiliki dua sisi yang berbeda. Yaitu hitam dan putih. Entahlah setiap melihat jendela kayu dengan dua pintu itu Auryn selalu suka. Kesannya tradisional tapi tetap terlihat artistik. “Kalau kalian ke Paradigma kafe, sempetin foto di spot gini guys,” kata Auryn sambil men­-shoot jendela berbeda warna itu. “Top deh pokoknya.” Merasa cukup puas mengulas bagian jendela itu, Auryn kembali ke dalam kafe. Dia melihat Redo sedang duduk di depan meja bar. Gadis itu mendekat dan duduk di samping pacar keduanya itu. “Lo pesen apa?” tanyanya. Redo menoleh, memperhatikan gadis berbandana pink yang kali ini mengacuhkannya. “Kopi. Sama kayak lo.” Auryn manggut-manggut. Dia menatap bartender yang menyiapkan pesanan mereka. Arah pandang Auryn lalu tertuju ke deretan meja dan kursi yang tanpa menghuni. “Kafe ini selalu sepi?” tanyanya ingin tahu. Tangan Redo terangkat, melihat arloji bergambar puma yang baru menunjukkan pukul enam sore. “Bentar lagi rame. Kalau sore banyak yang ke sini, Ryn. Lihat kan gimana bagusnya bagunan di depan?” Sontak Auryn ingat dengan bangunan bagian depan. Bangunan yang dipenuhi dengan tanaman merambat. Lalu lampu kekuningan mulai menyala, membuat suasana senja yang pas. Secara keseluruhan tempat pilihan Redo mampu membuat bete Auryn perlahan menghilang. “Lo sering nongkrong di sini?” tanya Auryn. Arah pandang Redo tertuju ke tembok di depannya. Rahangnya tiba-tiba mengeras, tapi tak lama dan Auryn tak sempat memperhatikan rahang itu. “Ya. Tempat ini tenang. Kayak rumah tapi lebih enak dari rumah,” jawab Redo membuat Auryn tak mengerti. “Maksud lo lebih enak dari rumah?” Redo tersenyum tipis, lalu mengusap puncak kepala Auryn. “Bukan apa-apa. Intinya gue sering ke tempat ini.” “Oh.” Auryn hanya merespon singkat. Perhatiannya sekarang tertuju ke kopi dengan bagian atas terbentuk daun dan simbol cinta. Tak membuang waktu lama Auryn langsung menyalakan kamera lagi. Membidik makanan itu dan tak lupa me-review. Cowok di sebelahnya kembali memperhatikan. Redo sama sekali tak marah karena Auryn sibuk sendiri. Cowok itu justru sibuk memperhatikan Auryn. Entahlah gadis itu terlihat cantik jika sedang mengungkapkan pendapat atau argumannya. Auryn. Sampai saat ini Redo tak menyangka bisa menjadi pacar gadis itu. Yah meski hanya pacar kedua. Arah pandang Redo lalu tertuju ke rambut Auryn yang jatuh di bahu gadis itu. Refleks tangan Redo membenarkan letak rambut itu ke bagian belakang. Sebelum ke Paradigma Kafe, Redo mengajak ke mall. Dia tahu kalau Auryn pasti akan nge-vlog. Untuk menunjang pernampilan gadis itu, Redo membelikan satu stel baju. Yah, itung-itung sebagai hadiah. Selain itu juga tak enak rasanya ke mana-mana masih mengenakan seragam. “Udah,” kata Auryn menyudahi review kopi pesannya. Dia menoleh memperhatikan cowok yang mengenakan basic jacket warna navy keluaran Pull and Bear itu dengan saksama. “Lo ngelamun?” tanya Auryn sambil menggerakkan tangannya di depan wajah Redo. Sontak Redo tersadar. “Gue nggak ngelamun. Merhatiin lo yang cantik banget.” “Gombal!” Auryn menunduk, menyembunyikan senyum malu-malunya. Dia pura-pura sibuk memperhatikan off shoulder crop top dengan motif vertikal perpaduan berbagai warna dari brand sama seperti jacket yang dikenakan Redo. Lalu pandangan Auryn tertuju ke short ripped denim skirt yang juga dibelikan cowok itu. “Oh ya, makasih bajunya,” kata Auryn sambil menoleh ke cowok di sampingnya. Pandangan Redo lalu tertuju ke pakaian yang dikenakan Auryn, lalu cowok itu mengangguk. “Sama-sama.” “Emm,” Auryn bergumam. Dia bingung harus membahas topik apa. “Gue sebenernya masih bingung kenapa lo justru pengen jadi yang kedua.” Redo menyeruput kopinya. Sebenarnya dia tak siap dengan pertanyaan dadakan seperti itu. “Karena gue sayang sama lo.” “Cuma itu?” “Hmm.” Auryn menatap Redo dengan pandangan menyelidik. Gadis itu tak ingin Redo hanya memanfaatkannya atau ada sesuatu yang ingin dicapai cowok itu. “Gue beneran sayang sama lo,” kata Redo sambil mengusap puncak kepala Auryn. “Bener?” “Ya.” Senyum Redo mengembang. Dia lalu mengedip genit. “Lagian gue juga tahu kok kalau lo dulu naksir gue.” “Pede gila!” Setelah menjawab itu Auryn menyeruput kopinya, sebagai pengalihan dari rasa malunya. Ok, dia dulu memang pernah mengincar Redo. Tapi cowok itu terkesan cuek, hingga akhirnya Yohan mendekati dan Auryn nyaman dengan cowok yang menjadi pacar pertamanya itu. “Ngaku aja. Lo dulu emang naksir gue kan?” tanya Redo. “Gak.” “Nggak mau ngaku.” Auryn menutup sebagian wajahnya agar Redo tak tahu pipinya yang memerah. Karena Redo memiliki tubuh tinggi, dengan mudah melihat pipi merona Auryn. “Nggak mau ngaku tapi pipinya merah,” goda Redo terus-terusan. “Ck! Keluar aja yuk. Lo fotoin gue.” Jika diteruskan Auryn yakin wajahnya akan semerah tomat. Cewek itu turun dari kursi lalu mengulurkan kamernya. Tempat bagus seperti ini sangat disayangkan jika tak diabadikan. Redo dengan nurut menerima kamera itu dan siap menjadi fotografer dadakan.   ***   Tak! “Ck!” Auryn berdecak saat botol air mineral yang dia lempar mengenai tembok. Gadis itu  memungut botol jatuh itu dan kembali melempar ke sebuah jendela kamar. Tak! Botol itu berhasil mengenai kaca. Auryn mendongak, menunggu si pemilik kamar keluar. Namun, sampai lehernya terasa pegal si pemilik kamar belum juga menampakkan batang hidungnya. “Ck! Lampunya masih nyala, masa udah tidur,” gerutunya sebal. Auryn mengedarkan pandangan mencari botol yang tadi dia lempar. Saat melihat botol itu di dekat pot bunga, buru-buru dia mendekat. Dia mengambil botol itu lalu tangannya terangkat hendak melempar botol itu, tapi sebuah suara menghentikan kegiatannya. “Masuk lewat pintu, Ryn! Bukan lewat jendela!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD