Takdir dan Jodoh

1027 Words
Banyak yang harus aku pertimbangkan, bukan jual mahal tapi .... "Nduk?" panggil Umi Salamah. Aku tak mampu menatapnya. Apalah semua ini mimpi? "Nduk? pikirkanlah. Baik buruknya semua ini. Saya sangat ingin kamu jadi menantu saya jauh-jauh hari sebelum kamu menikah. saya pikir tak akan lagi punya kesempatan itu, tapi ... ternyata jalan Allah punya cara sendiri. maaf, bukannya bahagia atas apa yang menimpamu, Nduk. Tapi, semua sepertinya sudah dalam garis tuhan." Umi Salamah berkata. "Tapi, Umi. Saya merasa tak pantas menjadi menantu, Umi. Terlebih istri dari Anak Umi yang shaleh," jawabku jujur. "Kamu tak perlu risau. Azmi sudah setuju dengan semua ini tanpa paksaan. Bahkan dia sudah bertemu denganmu jauh-jauh hari sebelum hari ini. Iya kan, Le?" "Njih, Umi. Saya dan Intan sudah pernah bertemu lima tahun yang lalu." Aku mengadah, mendengar jawaban Azmi. lima tahun yang lalu? "Kami dulu satu pangung saat seleksi Satri-satriwati saat kompetisi mendapatkan beasiswa ke Universitas Al Azhar." Seketika ingatanku terbang. menuju ke lima tahun yang lalu. saat acara di pondok pesantren Kediri, mengadakan seleksi calon mahasiswa. aku memang kalah dari ...? Ah ya aku ingat. benar dulu seorang Santri yang berhasil mengalahkanku dengan selisih nilai lima saja. kami memang bersaing dalam satu pangung. tapi ... aku tak menyangka jika dia sekarang adalah laki-laki yang berdiri di depanku ini. "Bagaimana ini?" Tanya Umi kembali. aku masih bergeming. Bahkan saat Abah menyenggol lenganku. "Nggih, Umi." Akhirnya aku putuskan untuk menerima lamaran ini. Rasanya tak ada yang perlu di khawatirkan. Mungkin wanita seperti aku, tak harus banyak memilih. Sangat beruntung dilamar seorang laki-laki macam Azmi. *** Sejak setelah ucapan permintaan Umi Salamah tentang pembahasan lamaran setelah aku selesai bercerai. Ada rasa tak enak. Apalagi, sekarang Azmi juga ikut turun mengajar pada madrasah sebagai guru Bahasa Arab. Tampangnya yang rupawan, tentu membuat para kaum hawa terpesona. Bahkan beberapa guru yang masih single sering mencari perhatian pada sosoknya yang cool dan berwibawa. Tak ada yang tahu, jika kami sudah sepakat untuk di jodohkan hingga mereka tak pernah mengunjing tentang hubungan kami. Bahkan Azmi terkenal cuek padaku. "Hei, Tan. lihat itu! si cowok paling cool datang," ucap Shinta, guru matematika yang memang ngefans berat pada Azmi. Dia masih perawan, bahkan umurnya masih dua puluh dua tahun. Aku hanya tersenyum dan geleng kepala. Melihat betapa Shinta begitu terobsesi padanya. "Aku ke kantin dulu ya! laper," ucapku pada Shinta dan langsung beranjak dari tempat dudukku di kantor. "Intan, Eh ... Mbak!" panggil Azmi tiba-tiba. Membuat aku menghentikan langkah. "Ada yang akan saya bicarakan, apa punya waktu?" tanyanya begitu mendekat padaku. Tentu d**a ini bergemuruh. "A-ada, Pak. Mari ..." aku mengajaknya duduk di depan mejaku. Terlihat Shinta menatap tanpa berkedip. Bahkan saat aku mencubitnya untuk segera sadar. "aauwww!" rancaunya kemudian. aku meminta dia untuk bergeser. "Apa sebaiknya kita bicarakan di luar saja. Sepertinya tadi ingin ke kantin. Cukup nyaman untuk membahas." Azmi tetap berkata dengan penuh wibawa. Aku mengangguk. kemudian dia melangkah lebih dulu keluar ruangan. Aku mengikuti. "Jangan di embat incaranku, Tan!" teriak Shinta yang langsung sadar dan membekap mulut. Tentu karena di ruangan itu cukup banyak asatidz lain. Aku hanya tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan ruangan itu, mengikuti dari belakang langkah Azmi. Dia berhenti tiba-tiba hingga hampir saja aku menabrak. Tentu terkejut sekaligus reflek beristighfar. "Kenapa berhenti, Tadz?" tanyaku dengan perasaan berdebar. Tentu bukan karena jatuh cinta, tapi kaget dan hampir bersentuhan. "Kenapa harus berjalan di belakang? kenapa ngga sejajar?" tanyanya kemudian. "Maaf, Tadz, saya tak mau timbul fitnah. biar begini saja. Ditempat umum dan juga di sekolah." aku menjelaskan. "Artinya kalau tidak di tempat umum kamu mau untuk berjejer?" "Tidak, Tadz, kita masih bukan muhrim!" Setelah penjelasanku itu, dia kembali mengayunkan kaki. Aku pun ikut kembali berjalan. "Ada yang penting apa hingga Ustadz menemui saya secara pribadi?" tanyaku langsung ketika sudah duduk di kantin dengan jarak yang kubuat jauh. dia ada di bangku sebelah kanan sebrang meja dan aku memilih sebelah kiri. "Aku hanya ingin membahas perjodohan untuk kita!" timpalnya. Aku menatapnya sekilas. kemudian menunduk. Apa yang ingin ia bahas? apa dia ingin membatalkan perjodohan? "Apa yang ingin Ustadz sampaikan, maaf sebelumnya jika saya lancang menerima lamaran Umi Salamah sebelum berdiskusi dengan Ustadz." Aku berusaha menjelaskan. "Bukan masalah itu. Hanya saja disini ingin saya tegaskan, jika saya tak menolak perjodohan ini. Jadi ... kalau bisa percepat saja pernikahan kita!" aku mendelik tak percaya. Bagaimana dia ingin lebih cepat? "Sebaiknya setelah masa idah kamu selesai, kemudian lamaran dan seminggu kita menikah!" Aku tertegun. kenapa begitu buru-buru? sedangkan aku saja masih ragu dengan perjodohan ini. *** Aku berjalan dengan pelan kembali kekantor. memikirkan apa yang baru saja di sampaikan oleh Azmi. kenapa dia seolah benar-benar setuju? apa benar hatinya sudah mantap untuk melangkah dan menikahiku? Hampir aku tak dapat mengerti. Jalan Allah memang penuh misteri. Aku yang taaruf cukup lama dengan Dodi, tapi begitu menikah justru berumur pendek. Jadi ... untuk kali ini semoga sebaliknya. "Hei, Tan!" tiba-tiba Shinta memegang pundakku. Tentu aku terperanjat setengah mati. "Shinta, bikin kaget saja!" cebikku. ia justru tertawa cengengesan. "Tadi apa yang di sampaikan oleh calon suamiku sama kamu?" tanya Shinta penasaran. Aku terdiam. Tentu tak mungkin aku katakan jika dia membahas pernikahanku dengannya. Bakal gempa bumi kalau Shinta sampai tahu bahwa Azmi di jodohkan denganku. Walau suatu saat akan tahu, tapi tidak untuk saat ini. "Hei! ini anak kenapa nglamun mulu? kamu dapat teguran atau dapat surat peringatan?" ucap Shinta antusias. Aku mengeleng lemah. "Maaf ya, Shin. Aku harus masuk!" ucapku seraya langsung pergi meninggalkan Shinta yang terbengong sambil memeluk buku. Gegas aku masuk kekantor mengambil buku pelajaran dan segala perlengkapan mengajar. Sudah telat lima menit, tentu ini bukan hal baik. Berdosa dan menjadi tanggungan aku nanti di akhirat yang cukup berat. Dengan cepat dan gesit aku langsung memeluk tumpukan buku serta membawa dompet yang berisi alat tulis. Dengan sigap, tanpa memperhatikan sekitar aku langsung bergegas. Tanpa aku tahu, tepat didepan pintu yang memang tak jauh dari mejaku, aku menabrak seseorang karena buru-buru. "Aduh!" gumamku sambil memegang kening yang rasanya terbentur oleh dagu. Buku seketika berjatuhan. Aku langsung memungutinya. kemudian beranjak berdiri. "Maaf, Aku tadi gugup!" ucapku yang langsung melihat kepemilik tubuh yang masih berdiri tegak tanpa bergerak saat bertabrakan denganku. "Ustadz?" ucapku kaget melihat yang kutabrak adalah Azmi. Duh! kenapa harus dia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD