Sanksi sosial

1250 Words
Ketika tengah berlari, aku menabrak seseorang. Buku berhamburan jatuh berserakan. "Maaf," hanya kata itu yang keluar dari mulutku tanpa berani memandang siapa, kulanjutkan berlari pulang kerumah. Kukunci rapat-rapat kamar yang tadi pintunya sempat aku hempaskan, mungkin Ayah Ibu pun kaget karena kasarnya kututup. Kumenangis sejadi-jadinya dibelakang pintu menelungkupkan wajah pada tangan yang bertumpu pada lutut. Ya Rabb, kenapa engkau berikan ujian kuseberat ini! Apakah aku dapat kuat melewatinya? Kutumpahkan segala tangis ditempat tidur tak peduli dengan seragam yang kusut, pikiranku kalut terbelenggu oleh berbagai penyesalan bahkan timbul niat untuk mengakhiri hidup! Astahfirulloh!! Kucoba membuang semua pikiran itu, aku masih punya Tuhan, pasti ada saatnya semua ini memberi hikmah. Pintu di ketuk "Nduk, ada tamu tuh!" suara Ibu didepan pintu yang masih tertutup. Segera kuhapus air mata yang mengalir tanpa henti dari tadi. "Siapa, Bu?" tanyaku begitu membuka pintu. "Anaknya Umie Salamah, Nduk," ucap Ibu ragu-ragu. "Oh... Dek Kifa, ya udah suruh duduk dulu, Intan mau salat dhuhur dulu," ucapku pada Ibu dan melihat arloji yang sudah menunjukan setengah dua. "Bu-buukan Dek Kifa." seketika langkahku terhenti mendengar ucapan Ibu. Kuberbalik lagi menghadapnya karena penasaran, apakah aku tak salah dengar tadi Ibu bilang anaknya Umi Salamah? Tapi bukan Dek Kifa! Bukankah anak Umie Salamah hanya dia? "Terus siapa, Bu? Tadi Ibu bilang anaknya Umi kan? " tanyaku lagi takut tadi aku yang salah dengar. "Iya, Nduk! Dia memang bilang anaknya Umi Salamah tapi kali ini bukan Dek Kifa?" Ibu meyakinkan aku. "Terus siapa, Bu!" tanyaku penasaran. "Dia kayanya yang sekolahh dimana itu, Nduk. Di luar negeri gitu, di gua Hiro!" spontan ucapan Ibu membuat aku tertawa terpingkal-pingkal. "Di Kairo, Bu! " ucapku masih menahan tawa. "Nah iya itu, Nduk. Maaf Ibukan ngga pernah kesana!" ucap Ibu membela diri. Baru ingat kalau Umi Salamah memang punya anak pertama yang sekolah di Kairo, karena memang selain berprestasi dia juga katanya hafidz Qur'an. Tapi selama lima tahun mengajar belum pernah dengar dia pulang! "Ya udah, Bu. Suruh nunggu sebentar, Intan salat dulu!" Kubergegas mengerjakan salat, bahkan sampai tak khusuk karena memikirkan seperti apa anaknya Umi Salamah itu? Dan kenapa dia sampai kesini! Kumelangkah ragu-ragu menuju ruang tamu, disana sudah ada Ayah yang sepertinya sedang mengobrol dengan laki-laki muda berpostur tinggi, karena seriusnya sampai tak memperhatikan kehadiranku. "Assalamualaikum," ucapku ketika tiba didepan mereka. Sontak mereka pun langsung menjawab. Ayah dan tamuku langsung berdiri. "Kenalkan, Nduk. Ini anaknya Umi Salamah yang sekolah di Kairo," ucap Ayah memperkenalkan dia. "Ini putriku satu-satu, Intan Wulandari." Ayah juga memperkenalkanku. Kutelungkupkan tangan memberi salam dia pun membalasnya dengan sama menelungkupkan tangan didepan d**a. "Azmi," ucapnya lembut. "Sebenarnya kami sudah pernah bertemu, Bah," ucapnya membuat aku kaget dan berfikir keras. Kapan aku bertemu dengannya, apa dia teman sekolahku! Aku terus berfikir tapi tak menemukan jawabanya. Kusempitkan mata, meminta jawaban atas apa yang telah dia ucapkan, bukankah kalau aku merasa belum pernah bertemu dengannya, sedangkan dia saja berangkat ke Kairo Mesir sebelum aku mengajar, dengarnya dia masuk ke sana atas beasiswa yang dia raih dari sekolah MAN dan dalam naungan pondok pesantren. Hafidz kecil itu yang dulu kudengar Umi menyebutnya. Mas Azmi tersenyum, seolah mengerti kalau aku tengah kebingungan. Dia justru kembali duduk dan kembali berbincang, sedangkan diriku yang masih pemasaran dibuat bingung? "Mas Azmi ambil kuliah apa?" tanya Ayah memecah keheningan beberapa saat. "Bahasa Arab, Bah," ucapnya sopan. "Masya Allah, hebat sekali kita punya Sarjana Bahasa Arab. Seperti Cita-cita Intan sayang dia tak seberuntung kamu,Nak," ucapan Ayah sepontan membuat wajahku memerah malu. Terlihat Mas Azmi menatapku, tak sengaja bertemu tatap dan aku kembali menunduk, Ayah ini bener-bener bikin malu, apalagi diucapkan di depan orang seberuntung Mas Azmi. "Alhamdulilah, Bah. Berkat izin Allah," ucapnya lagi dengan nada masih tetap rendah, "apa benar itu Mba?" kini dia malah menanyaiku. Mbak? Duh kenapa aku dipanggil Mbak? Apa. Aku sudah terlihat tua sekali hingga dia memanggilku Mbak, padahal kalau aku tau mungkin kita sepantaran. "Ehh... e... e, iya eh ngga kok, Mas," jawabanku tergugup entah apa yang harus kujawab. "Nopo to, Nduk. Jujurkan lebih baik!" ucap Ayah yang tau aku bingung harus jujur apa berbohong. "Bu... bukan gitu, Yah. Semua itu hanya cita-cita yang sudah kukubur dalam-dalam, sekarang Intan hanya ingin fokus dengan apa yang sedang Intan tekuni," kataku dengan tetap kutundukan pandangan. "Memang sekarang Mbak ambil jurusan kuliah apa?" kini Mas Azmi kembali bertanya. "Sastra dan Bahasa Indonesia, Mas." Ayah tersenyum, entah apa yang sedang dirasa bangga atau justru sebaliknya, memang aku dulu sangat berkeinginan untuk bisa kuliah di Al Azhar Kairo dengan jalur beasiswa tapi ternyata aku gagal dalam ujian, nilaiku tak mampu mendapatkan kesempatan itu. "Ayah, Mas Azmi aku pamit kedalam dulu." izinku pada mereka karena aku sudah merasa tak nyaman. Biar Mas Azmi dan Ayah yang melanjutkan mengobrol. "Eh... Mbak, tunggu!" kata Mas Azmi menghentikan aku yang sudah berdiri. "Tujuanku kesini sebenarnya atas perintah Umi sekalian mengembalikan tas Mbak yang tertinggal di kelas tadi," ucapnya sambil meyodorkan tas merah milikku, "diperiksa dulu, Mbak. Takut ada yang hilang, handphone juga sudah kumasukan." Kuraih tas itu, membuka sebentar dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengantar tasku. "Abah, Umi dan Mbak, sore ini untuk datang ke rumah!" ucapnya. Kali ini aku dan Ayah saling pandang. Pikirku ada acara apa Umi tiba-tiba menyuruh kami datang, mungkin acara syukuran kepulangan Mas Azmi, pikirku netral. "Baiklah sampaikan pada Umi kami akan datang," tuturku. Dianggukan oleh Ayah. "Alhamdulilahhh, maturnuwun, kulo nyuwun pamit, Bah." Mas Azmi salam takzim pada Ayah. Setelah kepergian Mas Azmi, Ayah menyuruhku bersiap-siap untuk pergi ke rumah Umi yang berjarak setengah kilo meter. Ibu masih bertanya tentang acara apa yang digelar di rumah Umi hingga mendadak seperti ini, aku dan Ayah hanya menggeleng karena memang kami juga tak tau. "Ya udah, Bu. Yang penting kita datang dulu, masa kita tadi harus tanya mendetail tentang acara apa yang digelar?" ucap Ayah dengan bersiap-siap. *** Umi menyambut kami dengan senyum ramahnya, kucium punggung tangannya dan kami dipersilahkan duduk, tak ada yang istimewa dan seperti tak akan ada sebuah selamatan atau hajatan khusus, meja kursi tamu tetap seperti biasa. Kami bingung dan saling tatap antara aku dan Ayah Ibu. Bi Nur mengeluarkan minuman dan beberapa jajan dan mempersilahkan kami menyicipinya. "Ayukk diminum!" perintah Umi. Kami pun segera meminumnya. "Bi, Azmi suruh turun kesini!" perintah Umi pada Bi Nur. Segera Bi Nur masuk kedalam dan hilang dari pandangan. Kami berbincang dengan Umi menanyakan kabar dan sedikit bercerita tentang Mas Azmi, aku hanya mendengarkan sekali ikut tersenyum mendengar cerita Umi. Seperempat jam kemudian Mas Azmi datang dan duduk persis di sebelah Umi. "Berhubung Azmi sudah disini, kita akan bicarakan apa yang akan aku utarakan, sebelumnya terima kasih karena kalian telah datang kesini memenuhi keinginanku," ucapan Umi membuat kami sedikit bingung. "Ngapuntene, Abah Rosidin. Saya mau minta putri Abah, Intan untuk dijadikan Istri bagi Azmi," ucapan Umi yang pelan tapi masih bisa kudengar jelas. Aku kaget bukan kepalang tapi kutatap Mas Azmi tetap berwajah tenang, aku menunduk tak tau harus berkata apa. "Ta-tapi, Umi. Apa tidak salah? Intan baru saja mengurus perceraian. Saya hanya takut Intan ...." hanya kata itu yang keluar dari Ayah, sambil melirikku. "Justru itu kenapa aku meminta sekarang karena kondisi seperti ini! Pikirkan lah Abah, baik buruknya semua ini," Umi kembali berkata. Kulihat Ayah dan Ibu bingung, sedangkan aku juga sangat kaget dengan semua ini. "Aku pasrahkan semuanya pada Intan saja Umi." Kali ini makin membuatku bingung harus menjawab apa. "Gimana, Nduk?" Ayah bertanya padaku. Aku hanya menggeleng, bukan menolak tapi butuh waktu untuk memikirkan semua ini, rasa trauma masih ada dalam benakku, bagaimana mungkin seorang Azmi sarjana Kairo mau menikahi janda yang ditalak karena dikira tak perawan?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD