Di Talak

1255 Words
"Mas," langsung kuraih tangannya untuk aku cium, tapi dengan cepat Mas Doni menampiknya. "Panggil orang tuamu!" Mas Doni bersuara agak membentak, kulirik kedua temanku kaget . "A-ada apa, Mas, Ayah, Ibu?" kucoba meraih tangan orang yang telah jadi mertuaku, tapi keduanya sama menampik tanganku. "Tak usah sok suci kamu, Intan! Keluarga kami telah ditipu, kami kira kamu masih perawan dan ternyata!" Ibu mertuaku berkata penuh emosi. Aku tak mampu bisa berucap, bahkan air mata yang dari tadi berusaha kubendung tak dapat kutahan lagi, tumpah ruah bersama make-up yang luntur. Dari dalam Ayah dan Ibu keluar, mungkin ada yang telah memberi tahukan bahwa ada kegaduhan didepan rumah. "Ada apa ini?" tanya Ayah dengan memandang aku dan Mas Doni bergantian. "Hai... Pak Rosidin yang terhormat, kamu ini orang disegani, orang yang dihormati karena tingginya ilmu agamamu!! Tapi kenapa kamu tak bisa menjaga anak perempuanmu dan bersekongkol menipu kami! " kini ucapan Ayah Mertua menusuk jauh dilubuk hatiku. Bagaimana mungkin dia membawa-bawa ilmu agama dengan semua ini. Ini tak benar! "Apa maksud anda, Pak?" Ayahku belum paham maksud Ayah mertua. "Kami kesini mau minta balik apa yang telah kami berikan untuk seserahan, karena ternyata anak anda Intan sudah tak perawan!" kali ini ucapan Ibu mertua bagai diterjang tsunami. "Dan Kamu Intan," Kali ini Mas Doni menunjuk kearahku, "Kutalak kamu saat ini juga!" Kulihat mata Ayah dan Ibu telah berkaca-kaca, sedangkan aku sendiri mataku sudah penuh air mata, terlihat mulai pudar bentuk orang-orang disekitarku, semakin memudar dan akhirnya aku limbung semua gelap. *** "Alhamdulilahh, akhirnya kamu sadar, Nduk." Pertama kali kubuka mata, suara Ibu yang kudengar. Kutak mampu berucap hanya kupandangi satu persatu orang yang ada dikamar. Ibu, Bibi Isah, Ratna dan Rara. Tanpa bisa kutahan air mata kembali mengalir, rasa sesak didada mengingat peristiwa tadi sebelum semua gelap. Jika Mas Doni mau membicarakan baik-baik tanpa membuat malu seperti itu, mungkin masih bisa kuterima. Kelakuan keluarga Doni sungguh keterlaluan, sekarang pasti Ayah sedang menahan malu. Melihat putrinya ditalak didepan tamu dihari kedua pernikahannya. Sakit tapi tak berdarah. "Sabar, Tan, Kami ada disini," ucap Rara menguatkanku. Kutak bisa berkata-kata hanya air mata yang terus saja mengalir. "Nduk, Ibu mau tanya, apa benar yang dituduhkan Doni?" tanya Ibu. Walau dengan hati-hati tapi tetap merobek hati terdalamku. Bagaimana mungkin orang yang melahirkanku pun tak mempercayainya? "I-ibu meragukan aku?!" tanyaku tersulut emosi. "Maaf, Nduk. Bukan itu maksud Ibu," ucapnya sambil memegang tanganku, "Ibu percaya sama kamu, cuma mumpung ada Ratna dan Rara, agar mereka jadi saksi atas kebohongan mereka." "Ratna, Rara, kalian temanku dan kalian mengenalku luar dalam, bahkan kalian tahu dari awal aku pacaran sama Mas Doni! Apa aku pernah berbuat aneh?" tanyaku pada kedua sahabatku. "Iya, Tan. Aku tau kamu selalu menjaga apa yang belum halah. Jangankan untuk melakuka hal yang maksiat bahkan ketika bertemu dengan Doni pun kamu tak mau berdua takut orang ketigannya setan," jelas Rara. "Tapi... Maaf Tan, kalau boleh tau kenapa Doni menuduhmu seperti itu?" tanya Ratna. "Bu, Bi, bisa tinggalkan kami sebentar!" perintahku kepada kedua wanita yang aku hormati. Mereka pun mengerti dan meninggalkan aku dengan kedua temanku tak lupa pintupun ditutupnya, sungguh aku beruntung memiliki mereka. Akupun bercerita pada mereka tentang sebab kenapa Mas Doni menganggap aku bukan perawan, hanya karena malam pertama tanpa noda. Mereka terkejut dan berspekulasi. "Tan, yang namanya Virgin itu tak harus mengelurkan darah karena selaput itu tipis dan elastis." Ratna berpendapat. "Iya, lagian dangkal banget pikiran Dodi! Apa jangan-jangan... Punya Doni kec...? Ups banyak anak dibawah umur hahaha...(yang baca)" Kata Rara diiringe gelak tawanya. Akupun mencupit pinggang Rara, dalam kondisi seperti ini masih aja bercanda. "Kalau menurutku lebih baik kamu visum kedokter, biar jadi bukti permalukan mereka lagi agar setimpal!" Ratna merasa geram. Kuhempaskan nafas berat, "biarlah, Rat. Buat apa aku balas dendam dengan mereka, toh artinya aku sama saja dengan mereka." "Kamu terlalu baik untuk didzolimi, Tan," ucap Ratna. Aku pun tersenyum, sedikit menghias wajah agar orang-orang disekitarku yang terluka atas kejadian ini tak terlalu terpuruk. Biarlah ini jadi suatu tragedi walau aku tau akan menanggung malu oleh ocehan tetangga yang meyakini semua itu benar adanya. ???? "Ibu, Ayah, Intan mau bicara. Intan tunggu dikamar," ucapku pada mereka yang tengah duduk diruang tengah. Setengah jam kemudian mereka baru masuk, aku yang masih duduk ditepi ranjang tersenyum melihat mereka datang. Kuserahkan sekotak perhiasan dan baju-baju pemberian Mas Doni dipernikahan kemarin yang telah kupersiapkan sebelumnya. "Ini semua yang mereka bawa, akan Intan kembalikan tanpa satupun yang tertinggal," ucapku pada Ayah. Ayah menerima dengan tangan bergetar, mungkin menahan sesak didada. Kugenggam tangannya agar kekuatan ada, berharap orang yang kusayangi dapat menerima musibah ini. "Kapan semua akan dikembalikan, Yah?" tanyaku lagi. "Mungkin lusa, Nduk. Karena barang-barang yang telah dimasak harus kami beli dulu," kata itu keluar dengan sedikit sedih. Aku tau kegalauan Ayahku, pasti dia bingung untuk membeli semuanya kembali sedangkan resepsi saja dekorasinya separu masih ngutang. Kukeluarkan sebuah kotak, dimana aku selalu simpan uang yang diberikan Umi--pemilik madrasah--dimana aku mengajar. Aku telah mengajar di madrasah diniah sejak lima tahun yang lalu. Selepas keluar dari Pondok pesantren kediri, aku sudah berniat mengabdikan ilmu yang kupelajari kegenerasi penerus. Selama itu aku menerima amplop yang tak pernah aku buka isinya, sengaja kusimpan niat hati untuk pergi ke Mekah memberangkatkan kedua orang tuaku. "Jangan, Nduk. Itu semua hasil jerih payahmu! " Ayah menolak secara halus. "Ayah, Ibu, ini bukan hasil jerih payahku, karena selama ini aku lakukan dengan ikhlas, andai tak dibayar pun aku tetap semangat untuk mengajar mereka," jelasku, "Jadi terimalah untuk mengembalikan semuanya, aku tak mau kurang suatu apapun. "Ngga papa, Nduk. Nanti kita bisa cari pinjaman atau kita gadaikan sawah saja untuk menutup kekurangan." Ayah tetap bersikeras. "Yah tolong selesaikan secepatnya, aku sudah kepengen kembali mengajar, jadi jangan tunda lagi ambillah yang ada dulu, terlalu lama kalau harus cari pinjaman!" kali ini Ayah tak bisa lagi menolak. Akhirnya semua telah dikembalikan, aku dapat sedikit lega walau sebenarnya hatiku masih sangat lemah dan rapuh bahkan untuk tidur pun kesulitan karena bayang-bayang perkataan Mas Doni dan keluarganya masih terngiang-ngiang. *** Kuputuskan untuk kembali mengajar, mengalihkan rasa sakit hati dengan bertemu anak-anak didikku. Setidaknya senyum tulus mereka akan mengurangi rasa sendiriku. "Santi, Ayo pulang!" tiba-tiba seorang Ibu masuk kekelas ketika kutengah mengajar. "A-ada apa ya, Bu?" tanyaku yang melihat kejadian. "Aku ngga mau anakku diajar oleh guru yang ngga bisa njaga kesuciannya disaat masih perawan!" kata-kata pedas tak bermoral itu meluncur dihadapan semua anak-anakku, anak-anak yang masih lugu belum tau apa-apa. Kata-kata pedas seorang wali didikku membuat aku sedikit tersentak, bagaimana mungkin hanya karena pernikahanku yang gagal membuat aku tak halal untuk menurunkan ilmuku, toh semua hanya fitnah! Apalagi kata-kata itu keluar dihadapan anak-anak kelas 2 Madrasah Diniah? Tak bisakan kalau semua di musyawakahkan baik-baik! "Apa Ibu tahu? Kalau apa yang Ibu katakan itu fitnah!" ucapku padanya yang masih dengan muka garangnya menatap si anak. "Fitnah apa, Mbak? Ini real, banyak saksi disana ketika kamu ditalak Doni karena sudah tak perawan!" dia melotot kearahku. "Buu!! Apa yang Ibu pikir tak seburuk itu! Aku bisa buktikan bahwa... " ucapku terhenti menyadari bahwa aku tengah berdebat di depan anak-anakku. "Ayo pulang! Sudah ku bilang ngga usah berangkat, nanti akan Ibu pindahkan kesekolah yang bagus! Bukan seperti ini. Gurunya zina sebelum menikah masih dibiarkan mengajar!!" jeletuk wanita itu sambil menarik tangan anaknya. "Ngga mau, Buu! Dea mau belajar sama Bu Intan!" rengeknya tak digubris oleh Ibunya. Aku terpaku tak lagi dapat berkata-kata, apa yang terjadi saat ini lebih menyakitkan dari semuanya. Air mataku luluh, tumpah bersama semakin menjauhnya anak itu yang masih tetap merengek dan dengan iba menatapku. Kutak tahan lagi, hingga aku berlari meninggalkan kelas dan anak-anak. Brukk!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD